Di tengah situasi konlik dan upaya mengatasinya, perempuan terus berhadapan dan berjuang atas kerentanan dirinya pada kekerasan dan diskriminasi. Situasi ini hadir sebagai akibat terus tumbuh dan berakarnya hirarki gender dalam dinamika konlik maupun proses perdamaian. Ketimpangan struktural antara laki-perempuan dan peran gender yang telah lama membaku di masyarakat menjadi pendorong terjadinya kekerasan seksual dalam situasi konlik. Diskursus tentang maskulinitas dan femininitas menjadi narasi dalam membangun alat penindasan maupun sebagai sarana untuk mengambil klaim atas kuasa, bahkan dalam proses perdamaian. Situasi ini termanifestasi dalam pelibatan minim perempuan terhadap proses perdamaian; kalaupun ada terlibat, perempuan tidak dapat berpartisipasi secara substantif.
Sejak reformasi bergulir 21 tahun yang lalu, kelompok perempuan bersama-sama kelompok masyarakat sipil lainnya terus mendsakkan perbaikan penyikapan negara dan masyarakat terhadap penyelesaian pelanggaran HAM, pemulihan korban dan pencegahan keberulangan konlik. Perbaikan penyikapan yang dimaksud baik berupa kebijakan, program, dan aksi. Namun, penyelesaian konlik terasa sepenggal dan menyisakan residu persoalan yang menyebabkan konlik rentan terulang kembali. Konlik juga berubah wajah, bertaut dengan berbagai persoalan pembangunan dan pendekatan keamanan, di tengah maraknya intoleransi berbasis SARA dan pertarungan politik praktis. Sementara itu, perjanjian damai hampir-hampir tidak melibatkan perempuan.
Perjanjian damai pun justru menjadi tempat persembunyian pembakuan hirarki gender. Perjanjian damai menjadi sekedar kesepakatan antar elit tentang ‘aturan main’, distribusi kuasa dan proses politik yang menata hubungan antara negara dan masyarakat. Kesepakatan politik ini berlangsung melalui proses formal (perjanjian damai dan konstitusi) dan informal yang dikendalikan oleh elit politik dan tradisional (laki-laki) yang menolak pemajuan hak-hak perempuan.
Pada lima belas tahun pertama upaya pemantauan Komnas Perempuan memfokuskan diri pada penggalian informasi untuk dapat mengenali apa yang dialami perempuan pada masa konlik dan segera setelah kontak senjata/kekerasan berlangsung. Komnas Perempuan bersama tim dokumentator dengan cermat mencatat peristiwa-peristiwa, menganalisa dan menarik kesimpulan pada pola-pola kekerasan dan dan diskriminasi yang dialami perempuan pada berbagai konteks konlik yang dipantaunya itu.
Rentang waktu 20 tahun, sejak tahun 1998 hingga 2018, dipandang memadai untuk menggambarkan perkembangan kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks konlik serta penanganannya. Kurun waktu tersebut dianggap penting karena menggambarkan perubahan peta politik di tingkat lokal hingga nasional. Fase reformasi yang ditandai dengan pemberlakukan otonomi daerah, otonomi khusus di Papua dan Aceh, hingga menguatnya fundamentalisme agama di beberapa wilayah, yang merupakan dinamika yang dihadapi Komnas Perempuan dalam upaya pemenuhan Hak Asasi Perempuan di Indonesia.
Instrumen Tinjau Ulang di Komnas Perempuan disusun sebagai pedoman dalam menjalankan proses tinjau ulang sehingga dapat mencapai tujuannya, yaitu membangun pijakan baru dalam mempercepat pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan dan diskriminasi, yang sekaligus berkontribusi pada pembangunan perdamaian di Indonesia. Instrumen Tinjau Ulang ini meliputi pemantauan Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam konteks a) Konlik bersenjata dan pelanggaran HAM masa lalu, b) Konlik sumber daya alam, c) Penggusuran paksa, dan d) kebebasan beragama dan tindak intoleransi. Pada keempat konteks konlik ini, perhatian khusus diberikan pada 1) pengungsian, 2) tahanan dan serupa tahanan, serta 3) perempuan pembela HAM. Dari wilayah, maka secara khusus kegiatan revisit ini akan berproses di Aceh, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Poso. 1 Dari tematik, kegiatan revisit akan meninjau ulang proses yang telah terjadi seperti Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), Sumber Daya Alam (SDA) dan Pelanggaran HAM Masa Lalu.
Instrumen Tinjau Ulang ini yang dikembangkan Komnas Perempuan ini sebenarnya tidak hanya sebagai pijakan baru dalam mempercepat pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan dan diskriminasi kepada Negara, tetapi menjadi kepemilikan bersama multi-stakeholder, termasuk Komnas Perempuan juga Gerakan Perempuan dan Sipil di Indonesia. Karenanya, berterima kasih sangat dan mendalam kepada Tim Tinjau Ulang Komnas Perempuan, yang telah duduk bersama dan terlibat dari tiga (3) generasi periode Komisioner dan Badan Pekerja.