Menemukenali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu. Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.
Pasal 1 UU PKDRT mendefinisikan KDRT sebagai,
... perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Apakah sudah ada peraturan dan kebijakan untuk KDRT?
Sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sejak 16 tahun lalu dan telah diimplementasikan dalam pencegahan dan penanganan perempuan korban kekerasan.
Undang undang ini merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga [UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (2)].
Apa tujuan dibentuk UU PKDRT?
Tujuan dari adanya UU PKDRT, sebagaimana disebut dalam Pasal 4, meliputi:
1) mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
4) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Siapa saja yang menjadi lingkup dan dilindungi dalam UU PKDRT?
Pasal 2 UU PKDRT menegaskan bahwa ruang lingkup dari undang-undang ini tidak hanya terhadap perempuan, tapi pihak-pihak sebagaimana di bawah ini:
- Suami, istri, dan anak;
- Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga;
- Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut.
Siapa saja yang dapat menjadi korban KDRT?
Orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga [UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (3)].
Apa saja bentuk-bentuk kekerasan KDRT?
Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (General Recommendation No. 19 (1992) CEDAW Committee) menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender yang dimaksud adalah berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi yang berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat.
Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan yang tertuang di UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9).
Apakah korban KDRT memiliki hak sebagai korban?
Sesuai dengan Pasal 10, UU PKDRT, maka korban KDRT memiliki hak sebagai korban, diantaranya:
- perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
- pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
- penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
- pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- pelayanan bimbingan rohani.
Apa saja kewajiban masyarakat terkait mengenai KDRT?
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
- mencegah berlangsungnya tindak pidana;
- memberikan perlindungan kepada korban;
- memberikan pertolongan darurat; dan
- membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Apa saja dampak KDRT terhadap anak?
Anak-anak dalam keluarga yang dipenuhi kekerasan adalah anak yang rentan dan berada dalam bahaya, karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anak.
- Perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidup dapat mengarahkan kemarahan dan frustrasi pada anak.
- Anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan kekerasan dan melindungi ibunya.
- Anak akan sulit mengembangkan perasaan tenteram, ketenangan dan kasih sayang. Hidupnya selalu diwarnai kebingungan, ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan ketidakjelasan tentang masa depan. Mereka tidak belajar bagaimana mencintai secara tulus, serta menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan cara yang sehat.
- Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, boleh, bahkan mungkin seharusnya dilakukan. Anak lelaki dapat berkembang menjadi lelaki dewasa yang juga menganiaya istri dan anaknya, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak sebagai korban kekerasan. Anak perempuan dapat pula mengembangkan kebiasaan agresi dalam menyelesaikan masalah. [Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia. Komnas Perempuan, 2002. Hal 100]
Siapa saja yang dapat menjadi pelaku KDRT?
Pelaku dapat dikategorikan negara dan non negara. Pelaku yang non negara bisa berposisi sebagai: suami, pasangan, ayah, ayah mertua, ayah tiri, paman, anak laki-laki, atau pihak keluarga laki-laki lainnya. Sementara pelaku yang berposisi sebagai aktor negara, selain berposisi secara personal, mereka juga terikat dalam tugas-tugas yang seharusnya dijalankan sebagai aktor non negara. Mereka bisa jadi memiliki posisi tertentu di tingkat negara dan menggunakan kekuasaannya untuk mengabaikan atau membiarkan kasus KDRT yang terjadi pada korban atau bahkan menghambat akses perempuan terhadap layanan, bantuan, dan keadilan. Sebagai kekerasan berbasis gender, maka korban dominannya adalah perempuan, walaupun dimungkinkan adanya perempuan yang melakukan KDRT.
Apa saja sanksi dan tindakan yang dikenakan kepada pelaku KDRT?
Pengaturan sanksi di dalam Undang-Undang ini terdapat di dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana pada Pasal 44-53, di mana sanksi yang cukup meliputi kekerasan fisik yang tergolong berat, yang menyebabkan seseorang jatuh sakit atau luka berat (maksimal 10 tahun) dan yang menyebabkan korban meninggal dunia (maksimal 15 tahun), dan termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan, dan gugur atau matinya janin dalam kandungan (20 tahun).
Apa tugas dan tanggung jawab pemerintah?
Undang-Undang tersebut memberi mandat kepada Pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), untuk bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui perumusan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sensitif gender, serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
Apakah yang menjadi hambatan dalam implementasi UU PKDRT?
Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan pada tahun 2014 menemukan hambatan dalam implementasi UU PKDRT adalah: (1) Filosofi dan tujuan UU PKDRT tidak dipahami secara komprehensif sehingga UU PKDRT diimplementasikan, namun mengabaikan perlindungan bagi perempuan korban; (2) Kesulitan memahami makna penelantaran rumah tangga yang rancu antara penelantaran sebagai bahasa hukum yang telah didefinisikan dalam pasal penelantaran rumah tangga dengan bahasa sehari-hari memaknai penelantaran. Hal inilah yang banyak jadi hambatan bagi Aparat Penegak Hukum; (3) Perlindungan sementara dan penetapan perlindungan yang belum mampu dilaksanakan karena kurangnya kebijakan operasional; (4) Hukuman tambahan pelaku berupa penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu tidak dijatuhkan, karena belum adanya kejelasan lembaga yang mempunyai mandat melakukan konseling.
Apa praktik pelaksanaan UU PKDRT sepenuhnya telah membantu korban?
Pada praktiknya juga terjadi kriminalisasi terhadap korban (kekerasan terhadap istri). Data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi, 10 persen diantaranya dikriminalkan melalui Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dalam pembahasan tentang temuan akan didiskusikan bagaimana undang-undang ini juga digunakan bukan untuk melindungi perempuan tapi malah mengkriminalkan perempuan.
Bagaimana Angka KDRT yang ada saat ini?
Data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada tahun 2020, mencatat bahwa KDRT atau Ranah Personal masih menempati pada urutan pertama dengan jumlah 75,4% dibandingkan dengan ranah lainnya. Sedangkan bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang tertinggi adalah kekerasan fisik berjumlah 4.783 kasus. Dari 11.105 kasus yang ada, maka sebanyak 6.555 atau 59% adalah kekerasan terhadap istri. Kekerasan terhadap anak perempuan juga meningkat 13%, dan juga kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Diantara kasus KDRT tersebut didalamnya ada kekerasan seksual (marital rape dan inses). Kasus kekerasan seksual di ranah personal yang paling tinggi adalah inses dengan jumlah 822 kasus.
Bagaimana untuk mendapatkan layanan bagi korban KDRT?
Layanan bagi pengaduan dan penanganan korban KDRT dapat ditujukan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang terdapat di berbagi provinsi. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) ini berada langsung di bawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Informasi kontak pengaduan dan layanan bagi korban terdapat di website ini
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/58
Referensi
Komnas Perempuan, 2002, Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia. Komnas Perempuan, Jakarta, Komnas Perempuan
Komnas Perempuan, 2011, (SOP) Standard Operation Procedure Sistem Penerimaan Pengaduan Komnas Perempuan, Jakarta, Komnas Perempuan
Komnas Perempuan, 2018, Urgensi Mempercepat Optimalisasi dan Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kajian bersama Antar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan didukung oleh UN Women, Jakarta, Komnas Perempuan
Komnas Perempuan, 2020, Catatan Tahunan (CATAHU) 2020. Komnas Perempuan, Jakarta, Komnas Perempuan
Sumber Foto Ilustrasi: https://www.suara.com/news/2020/04/21/225235/problema-lockdown-angka-kdrt-terhadap-perempuan-di-malaysia-meningkat