Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang dilaporkan tidak berbanding lurus dengan jumlah kasus yang terjadi yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada 2001, jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan adalah sebanyak 3.169 dan meningkat 10.681% atau menjadi 338.496 di tahun 2021 dan bentuk kekerasan psikis, menempati jumlah yang paling tinggi yaitu 6,978,719 kasus (48%). Penanganan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pun menjadi tidak sederhana, karena membutuhkan keterpaduan layanan dan melibatkan banyak pihak, baik itu institusi penegak hukum dan juga layanan psikososial.
Sebagai Lembaga Nasional HAM, Komnas Perempuan memiliki mandat untuk menciptakan kondisi kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan serta mempromosikan HAM Perempuan. Merespon masih lemahnya akses keadilan dan pemulihan korban, pada tahun 2003, Komnas Perempuan bersama LBH Apik Jakarta dan LBPP DERAP Warapsari menyusun sebuah konsep yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Konsep ini disusun untuk memperkuat perspektif keadilan dan perlindungan hak perempuan korban kekerasan, mengingat tanggung jawab keadilan dan pemulihan korban bukan hanya menjadi tanggung jawab salah satu pihak, namun melibatkan semua pihak.
Keterpaduan layanan terkait penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan korban kekerasan berbasis gender sudah diatur mulai dari UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun Komnas Perempuan menemukan bahwa dari 285 kebijakan layanan di daerah, hanya 128 kebijakan yang didalamnya mencantumkan konsep layanan terpadu, sedangkan 157 kebijakan tidak secara eksplisit mencantumkan maupun memasukkan konsep layanan terpadu (Komnas Perempuan, 2021). Situasi ini tentu saja sangat berpengaruh pada kualitas layanan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan yang seharusnya mendapatkan layanan terpadu dan komprehensif.
Pemikiran tentang urgensi penanganan yang komprehensif bagi korban pula yang menjadikan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengadopsi SPPT PKKTP sebagai pendekatan penanganan korban. Hingga saat ini sistem peradilan pidana kita belum sepenuhnya berperspektif pada pemulihan korban, apalagi perempuan korban kekerasan seksual. Ketika perempuan korban melaporkan kasusnya ke institusi penegak hukum, dampak kekerasan yang mereka alami sering terabaikan atau ditunda dengan mendahulukan proses hukumnya. Padahal, untuk meminimalisir dampak lebih jauh maka dibutuhkan upaya untuk menyertakan aspek pemulihan sedari awal dalam sistem peradilan pidana pada penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Layanan yang diberikan pada korban harus diberikan sejak awal mereka dating atau melapor pada lembaga layanan dan atau aparat penegak hukum. Salah satunya adalah dengan memberikan dukungan psikologis awal (DPA) bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender. Diharapkan DPA ini dapat dilakukan oleh semua petugas layanan, baik institusi penegak hukum maupun pendamping korban, yang bertujuan untuk membuat perempuan korban merasa aman dan nyaman.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan bekerjasama dengan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia, melahirkan modul ini sebagai panduan bagi banyak pihak terutama para petugas lembaga layanan dan pendamping dalam penanganan korban. Para Lembaga layanan dan pendamping ini adalah mereka yang bekerja di lembaga layanan pemerintah maupun yang dikelola masyarakat sipil. Hal ini juga sejalan dengan salah satu misi Komnas Perempuan yaitu mendorong lahirnya daya dukung organisasi masyarakat sipil dalam mengembangkan sistem pemulihan yang komprehensif dan inklusif bagi perempuan korban kekerasan.