Adanya sistem yang mampu memberi perlindungan bagi buruh migran Indonesia merupakan hal yang diharapkan oleh banyak pihak. Harapan ini terutama dirasakan oleh buruh migran dan anggota keluarganya yang selama ini menghadapi berbagai masalah baik ketika akan berangkat ke luar negeri, saat bekerja, maupun saat kembali dari tempat kerjanya. Undang-Undang Republik Indonesia No 29 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004 memberikan satu harapan baru tentang dimungkinkannya daerah-daerah melakukan perbaikan sistem perlindungan dan penempatan buruh migran dimulai dari asalnya.
Perbaikan tersebut dapat diupayakan melalui Peraturan Daerah (Perda). Perda sangat berpeluang untuk memberikan perlindungan kepada warganya yang bermigrasi dengan sejumlah asumsi diantaranya adalah: (1) daerah lebih mengetahui keadaan dan kebutuhan dasar warga mereka yang menjadi buruh migran termasuk anggota keluarganya, (2) masalah-masalah dalam persiapan keberangkatan berasal dari daerah asal buruh migran; begitu juga (3) jika terjadi permasalahan pada buruh migran maka pihak yang langsung ikut menanggung masalah tersebut adalah keluarga buruh migran bahkan perangkat pemerintahan di daerah tersebut.
Studi Komnas Perempuan beserta mitra-mitranya1 terhadap 4 Peraturan Daerah (Karawang, Cianjur, Sumbawa, dan Jawa Timur), serta 3 Rancangan Peraturan Daerah (Pontianak, Bone dan Blitar) menunjukkan bahwa semangat pembentukan Perda belum memberikan porsi pada perlindungan HAM buruh migran, bahkan salah satu diantaranya lebih banyak mengatur soal retribusi. HAM buruh migran yang dimaksud diantaranya seperti hak atas informasi yang jelas dan benar, kepastian atas standar upah, hak terbebas dari diskriminasi melalui penyelesaian masalah dan penanganan korban khususnya bagi kelompok yang rentan mengalami kekerasan seperti perempuan.