Indonesia masih mempertahankan hukuman mati meskipun ada tren internasional yang semakin mengarah pada penghapusannya. Sejak 1977, jumlah negara yang menghapus hukuman mati meningkat drastis menjadi 112 negara, lebih dari setengah jumlah negara di dunia. Penerapan hukuman mati dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan. Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menegaskan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pemberlakuan hukuman mati di Indonesia berlandaskan pada hukum positif yang mengatur penerapan hukuman mati dalam kasus tertentu. Namun, hal ini sering dipandang sebagai bentuk pembalasan (retributive justice) yang tidak sejalan dengan perkembangan hukum pidana modern yang mengarah pada keadilan restoratif. Meskipun demikian, hukuman mati masih berlaku di Indonesia, dengan sejumlah kasus baru yang terus meningkat setiap tahun, termasuk peningkatan jumlah terpidana mati yang menunggu eksekusi.
Di antara terpidana mati, perempuan seringkali menjadi kelompok yang terpinggirkan, dengan sebagian besar terpidana mati adalah laki-laki. Para perempuan terpidana mati seringkali mendekam dalam lembaga pemasyarakatan umum, yang tidak dirancang khusus untuk menangani kasus hukuman mati. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai penting untuk memantau kondisi perempuan terpidana mati ini, mengingat mereka menghadapi situasi yang berbeda dengan terpidana lainnya yang masih memiliki harapan untuk bebas. Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi kondisi mereka dalam lembaga pemasyarakatan untuk memastikan perlindungan hak-hak dasar mereka.