Hukum bagi perempuan dengan demikian tidak hanya berupa peraturan semata, melainkan menyangkut sebuah sistem hukum meliputi subtansi, struktur, dan kultur hukum. Sistem hukum yang tidak berkeadilan jender telah meminggirkan pengalaman perempuan dan dengan demikian tidak akan mampu menjawab kebutuhan perempuan. Untuk itulah, para perempuan berjuang agar sistem hukum menjadi berkeadilan jender, tidak hanya bagaimana mendorong lahirnya kebijakan hukum yang berkeadilan jender, melainkan juga mengubah paradigma yang tidak adil jender menjadi berkeadilan jender. Salah satunya, adalah dengan mewujudkan instansi penegakan hukum dan budaya hukum masyarakat yang berkeadilan jender.
Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, berkaitan dengan hukum pidana dan hukum acara pidana, semestinyalah penegakan hak asasi perempuan menjadi dasar dari upaya pembaharuan (reformasi) hukum. Didalamnya, tercangkup pengakuan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti yang telah ditegaskan dalam instrumen hukum internasional, yang juga telah diadopsi oleh pemerintah Indonesia.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi dan kebebasan fundamental perempuan. Penegasan terhadap hal ini telah disepakati oleh masyarakat internasional melalui Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1979. Sebagai bentuk komitmen terhadap konvensi ini, Negara peserta konvensi memiliki kewajiban untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di negaranya, termasuk pemerintah Indonesia.