...
Kabar Perempuan
38 Tahun Indonesia Ratifikasi CEDAW, Komnas Perempuan Ajak Diskusi Soal Penyelesaian Konflik SDA


Dalam rangka memperingati 38 tahun Pengesahan Konvensi  Penghapusan  Segala Bentuk  Diskriminasi  terhadap  Perempuan  (CEDAW) oleh Pemerintah Republik Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan webinar bertajuk Perempuan  dalam  Pusaran  Konflik  Sumber  Daya  Alam:  Ragam Kekerasan  Terhadap  Perempuan  dan  Pelibatan  Bermakna  dalam  Penyelesaian  Konflik”, Rabu, (27/7/2022).

 

Komnas Perempuan mengapresiasi pengesahan CEDAW yang menunjukkan bahwa Pemerintah  Republik Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekekerasan berbasis gender di semua ranah kehidupan di Tanah Air.

 

Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang mengatakan dalam sambutannya, “Kita bersyukur bahwa pada Tahun 2022 ini kita telah memiliki Undang-Undangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tentu ke depan akan ada banyak kebijakan-dan program lainnya yang juga menggunakan kerangka CEDAW di negara kita.”

 

Meski demikian, Komnas Perempuan juga menyoroti masih banyak amanat CEDAW yang belum dilaksanakan oleh Pemerintah RI terkait dengan kesetaraan gender serta penegakan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan dalam pusaran konflik Sumber Daya Alam.

 

Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Sumatera Utara Delima Silalahi menyoroti banyaknya persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam pengambil-alihan lahan. Alih-alih membawa kemaslahatan, pembangunan ironinya menjadi ancaman terbesar terhadap hak-hak masyarakat setempat khususnya perempuan.

 

“Dalam banyak kasus, perempuan menjadi korban pemiskinan strutural, karena adanya pembangunan yang tidak sensitif gender,” tutur Delima.

 

Dalam webinar Komisioner Komnas Perempuan Rainy Maryke Hutabarat pun mengamini bahwa perempuan menjadi kelompok paling rentan dalam setiap konflik Sumber Daya Alam. Menurutnya, pemerintah harus menjalankan rekomendasi yang pernah diajukan Komite CEDAW terkait perempuan adat pedesaan (indigenous rural women), yakni untuk mempercepat upaya pelindungan hak perempuan adat dalam menggunakan SDA dan Tanah, termasuk dengan memperluas cakupan Masyarakat Hukum Adat dan mencabut atau mengubah undang-undang yang melemahkan hak perempuan adat atas penggunaan tanah termasuk UU No. 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja.

 

Salah satu akar masalah adanya konflik agraria di dalam masyarakat adat, Menurut Arimbi Haroepoetri, Tenaga Ahli MPR RI, adalah ketidakpahaman Bangsa Indonesia terhadap konsep masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat kita diakui hanya sepontong-sepotong. Dari bajunya atau dari tari-tarian untuk kebutuhan tourism, tapi belum dipahami sebagai masyarakat adat yang memiliki akses terhadap lahan” kata Arimbi.

 

Menurut Arimbi, solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik agraria adalah dengan mendorong génuine participation, yakni dengan terus melakukan konsultasi, menjalin komunikasi dengan berbagai pihak terkait, dan tidak boleh ada keputusan sebelum ada kata sepakat.

 

Di sisi lain, Kasubdit Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PKTHA-KLHK), Enik Eko Wati mengatakan, saat ini Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK terus mendukung partisipasi berbagai pihak baik perempuan maupun laki-laki dalam pengelolaan lahan dan akan terus meningkatkan konsistensi dalam kualitas dan kuantitas Pengarusutamaan Gender (PUG) di KLHK.[EF]

 

 


Pertanyaan / Komentar: