...
Kabar Perempuan
Audiensi Komnas Perempuan dengan Kedutaan Spanyol Bahas Strategi Penanganan KDRT bagi Perempuan WNA


Komnas Perempuan menggelar audiensi dengan Kedutaan Besar Spanyol pada Senin, 13 Januari 2025, guna membahas sinergi penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terutama bagi perempuan warga negara asing (WNA). Pertemuan tersebut dihadiri oleh General Consulat Paloma dari Kedutaan Spanyol, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dan Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan, Theresia Iswarini, serta dua Badan Pekerja Siti Cotijah dan Filadelfia. 

Dalam pertemuan tersebut, Paloma dari Kedutaan Spanyol menanyakan penanganan KDRT, termasuk mekanisme pelaporan bagi perempuan WNA, prosedur di kepolisian, serta ketersediaan layanan pendampingan seperti bantuan hukum, rumah aman, dan dukungan psikologis. Ia juga menyoroti pentingnya akses layanan darurat, mengingat tingginya angka KDRT dan femisida di Spanyol selama delapan tahun terakhir. 

“Komnas Perempuan adalah salah satu lembaga yang kami mohonkan dialog untuk mengetahui lebih jauh tentang penanganan KDRT di Indonesia. Saat ini kami tengah mendukung pelaporan KDRT, di mana pelaku dan korbannya merupakan warga Spanyol yang tinggal di Indonesia. Kami ingin mengetahui apakah ada kebijakan penanganan KDRT, yang mungkin sama seperti di Spanyol, dan ke depannya, akan kami jadikan bahan advokasi untuk pencegahan, penanganan dan pemulihan KDRT bagi warga Spanyol di Indonesia,” ujar Paloma

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menjelaskan bahwa mekanisme penanganan KDRT pada perempuan WNI dan WNA secara umum serupa, meskipun perbedaan kebijakan dapat memengaruhi prosesnya. Ia menyoroti bahwa Undang-Undang Penghapusan KDRT (UU PKDRT) mengatur perlindungan bagi semua perempuan, baik WNI maupun WNA, tetapi implementasinya masih menghadapi tantangan besar.

“Salah satu tantangan utama adalah respon darurat terhadap KDRT yang sering kali bergantung pada layanan berbasis masyarakat, seperti rumah aman. Meski UU PKDRT mengatur tentang pertolongan segera, polisi cenderung lebih memprioritaskan pengamanan dengan cara memindahkan korban daripada membatasi gerak pelaku," ujar Andy.

Idealnya, lanjut Andy, semua kasus kekerasan harus dilaporkan ke kepolisian. Namun, keputusan penahanan pelaku membutuhkan bukti penganiayaan atau agresi. Penahanan juga hanya dalam waktu 1x24 jam, dan jika dibutuhkan waktu lebih untuk pengumpulan bukti, maka diperlukan persetujuan hakim.

Selain itu, Andy juga menyoroti kesenjangan dalam layanan darurat. Meskipun saat ini  terdapat beberapa kanal pengaduan darurat bagi korban KDRT, seperti hotline Kepolisian di nomor 110, layanan darurat Pemerintah melalui nomor 112, serta Hotline SAPA KemenPPPA di nomor 129 atau WhatsApp di 08111129129, penanganan kasus KDRT dengan korban dan pelaku WNA sering kali lebih rumit, terutama jika melibatkan perbedaan agama atau budaya dibandingkan dengan korban lokal.

Selain itu, tantangan penanganan kasus KDRT semakin berat apabila korban memilih untuk tidak melapor karena khawatir kehilangan hak atas harta bersama. 

Berdasarkan temuan Komnas Perempuan, penyelenggaraan layanan KDRT masih banyak dikeluhkan korban karena belum sepenuhnya efektif menjawab kebutuhan korban. Khususnya karena prosedur yang panjang dan rumit, ketanggapan aparat penegak hukum (APH) dalam menangani kasus, serta keterbatasan layanan pendampingan. Oleh karena itu, Komnas Perempuan terus mendorong penguatan layanan yang lebih komprehensif dan inklusif, termasuk dalam pembangunan dan penyediaan rumah aman sebagai tempat perlindungan bagi korban

Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan, mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus KDRT yang terjadi pada perempuan WNA, dampak yang ditimbulkan adalah kehilangan hak asuh anak dan membutuhkan dukungan yang lebih intensif. 

“Komnas Perempuan tidak hanya menangani satu per satu kasus, tetapi memberikan rekomendasi dalam proses hukum yang sedang berlangsung. Kami mendorong pentingnya memiliki pemahaman terhadap regulasi hak asuh anak, di mana UU No. 1 Tahun 1974 dan perubahan UU No. 16 Tahun 2019 memberikan prioritas kepada ibu dalam pengasuhan anak di bawah 12 tahun,” ungkap Theresia.

Selain mendorong rekomendasi penanganan KDRT kepada pihak-pihak terkait melalui dialog langsung atau bentuk penyikapan lainnya, Komnas Perempuan terus bersinergi dan berkolaborasi dalam mengkampanyekan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam hal ini, Komnas Perempuan mengajak Kedutaan Spanyol untuk turut ambil bagian dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) pada 25 November-10 Desember setiap tahunnya.

Langkah ini merupakan upaya bersama untuk menghapus kekerasan secara berkelanjutan, termasuk pemulihan dan rehabilitasi korban juga menjadi perhatian penting yang harus terus diupayakan dalam mekanisme penghapusan KDRT.


Pertanyaan / Komentar: