NTT – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong penguatan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, melalui rangkaian dialog strategis di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Dialog ini menjadi bagian dari kegiatan Pelatihan Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS) yang dilaksanakan di Atambua pada 19–23 Mei 2025.
Pertemuan pertama digelar bersama Keuskupan Atambua, melibatkan Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC), Komisi Keluarga, dan Komisi Tribunal. Dalam dialog tersebut, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti, menyoroti tingginya angka kekerasan seksual di wilayah NTT. “Wilayah ini dikategorikan darurat kekerasan seksual, dengan 74 persen penghuni lembaga pemasyarakatan merupakan pelaku kekerasan,” ujarnya.
Pihak Keuskupan menyampaikan upaya yang telah dilakukan dalam aspek pencegahan. JPIC, yang diwakili Vincent Wun, menjelaskan bahwa gereja aktif membentuk komisi keluarga dan mendorong peningkatan usia minimum perkawinan menjadi 19 tahun, sesuai Undang-Undang Perkawinan. Ketua Komisi Keluarga, Fridolin Teme, menambahkan bahwa sosialisasi pencegahan kekerasan telah dilakukan sejak jenjang SMP dan SMA, dengan penguatan ekonomi keluarga sebagai salah satu fokus utama.
Dialog berikutnya dilakukan bersama Pemerintah Kabupaten Belu yang diwakili Sekretaris Daerah Johanes Andes Prihatin. Dalam pertemuan tersebut, Komnas Perempuan memaparkan tujuan pelatihan APKS, yaitu meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum, organisasi perangkat daerah, dan masyarakat sipil dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Pelatihan ini menggunakan pendekatan Sistem Peradilan Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dan prinsip Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT).
Komisioner Yuni Asriyanti menjelaskan bahwa pelatihan ini diharapkan memperkuat pemahaman lintas sektor terhadap penanganan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam mengenali unsur penyiksaan dalam kekerasan seksual. “Kami ingin memastikan aparat dan penyedia layanan memiliki perspektif yang utuh dan terintegrasi,” ujarnya.
Sekda Belu mengungkapkan sejumlah tantangan, antara lain masih dominannya pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, terbatasnya layanan psikolog klinis, serta belum adanya dukungan BPJS untuk korban kekerasan. Ia menyampaikan bahwa pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) non-fisik untuk penguatan layanan. Dukungan lintas sektor, seperti dari Forum Peduli Perempuan dan Anak Atambua, dinilai penting dalam pemenuhan hak-hak korban, termasuk hak atas pendidikan.
Sebagai bentuk dukungan berbasis bukti, Komnas Perempuan menyerahkan dokumen kajian berjudul Transformasi yang Tertunda: Temuan Pemantauan Berperspektif Keadilan Gender terhadap Praktik Keadilan Restoratif di 9 Provinsi dan 23 Kota/Kabupaten. Komnas Perempuan juga menyampaikan apresiasi atas koordinasi lintas sektor yang telah dilakukan pemerintah daerah, serta menegaskan komitmen untuk terus mendorong reformasi kebijakan di tingkat nasional agar hak-hak korban kekerasan seksual dapat terpenuhi secara menyeluruh dan berkeadilan.
Menutup
dialog, Yuni Asriyanti menyampaikan bahwa Komnas Perempuan akan terus
melanjutkan dialog kebijakan di tingkat pusat, termasuk dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), guna memastikan pelaksanaan Undang-Undang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berjalan efektif dan dapat diakses
oleh para korban di daerah.