Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan Diskusi Publik bertema “Memastikan Kebebasan Menyuarakan Aspirasi Tanpa Penyiksaan” secara hibrid dari Kantor Komnas Perempuan pada 26 Juni 2025.
Diskusi ini menjadi bagian dari rangkaian Pekan Anti Penyiksaan 2025, yang mengusung tema “Indonesia Tanpa Penyiksaan” dan tagline “No Justice in Pain”, hasil kolaborasi Komnas Perempuan bersama Kementerian/Lembaga dan masyarakat sipil dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP).
Tegaskan Pentingnya Perspektif Gender dalam Pencegahan Penyiksaan
Dalam sambutannya, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat, Daden Sukendar menegaskan bahwa penyiksaan, terutama terhadap perempuan dan kelompok rentan, kerap terjadi dalam diam.
“Kasus-kasus kekerasan yang kejam dan tidak manusiawi seringkali menimpa perempuan tanpa pengakuan dan pemulihan yang memadai,” ujarnya.
Catatan Komnas Perempuan menunjukkan kasus serius seperti perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan hamil yang dipenjara tanpa pendampingan hukum, dan pelecehan seksual terhadap perempuan dalam aksi massa. Bahkan di wilayah konflik seperti Papua, perempuan mengalami berlapis-lapis penyiksaan dan trauma lintas generasi, sebagaimana ditandai oleh kasus tragis kematian perempuan pembela HAM (PPHAM) di Papua.
Suara dari Lintas Sektor: Dari Paramedis hingga Media
Sesi diskusi panel menghadirkan narasumber dari beragam latar belakang di antaranya adalah Jorgiana Augustine dari tim paralegal paramedis perempuan sekaligus penyintas dalam kasus kekerasan terhadap tenaga medis perempuan saat menyuarakan aspirasi di aksi massa Hari Buruh 2025.
Ia menceritakan pengalamannya menjadi korban kekerasan fisik, verbal, hingga seksual dalam aksi Hari Buruh 2025.
“Peristiwa itu sungguh membuat saya trauma, terlebih ketika mendengar kata-kata yang memicu memori saya, saat terjadi pemukulan kepada saya, juga tindakan pelecehan seksual meski telah saya tegaskan kami adalah tim medis,” ucapnya, suaranya sempat bergetar.
Selain penyintas, Komnas Perempuan juga menghadirkan Christine Constanta dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyoroti lemahnya respons hukum terhadap kasus-kasus penyiksaan dalam konteks pembungkaman kebebasan berpendapat.
“Tindakan penyiksaan, perlakuan sewenang-wenang, dan perendahan martabat manusia tidak dapat dibiarkan dalam upaya untuk menyampaikan aspirasi,” tegasnya.
Temuan Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta, tempatnya bekerja, mencatat bahwa perempuan pembela HAM kerap menjadi sasaran, ditambah stigma yang memperparah ketidakadilan.
Dari ranah akademik, Ikhaputri Widiantini dari Universitas Indonesia mengurai dimensi gender dalam penyiksaan.
“Di dunia yang patriarkis, tubuh perempuan kerap dijadikan lokasi penghukuman kolektif. Mereka dipaksa membuktikan kesaksiannya karena sistem tidak mempercayai emosi dan pengalaman mereka,” kata Ikha.
Ia juga mencatat bagaimana kekerasan terhadap perempuan kerap disamarkan sebagai pembinaan atau pendisiplinan.
Sementara itu, Wakil Ketua Transisi Komnas Perempuan, Sondang Frishka menegaskan bahwa penuturan pengalaman penyintas, pendamping korban, dan akademisi telah melengkapi pengalaman nyata praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang aparat terhadap masyarakat. Dalam upaya pencegahan praktik ini, Komnas Perempuan yang tergabung dalam KuPP bersama Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman RI, dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) melakukan pemantauan dan memastikan implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia atau Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) sebagai payung hukum pencegahan penyiksaan nasional.
“Komnas Perempuan juga menyerukan percepatan ratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) sebagai bentuk komitmen negara untuk mencegah penyiksaan secara sistemik dan kolektif,” tegas Sondang.
Hadir juga dalam diskusi ini perwakilan media, Lia Hutasoit, jurnalis dari IDN Times, yang menyoroti peran media dalam menyebarkan kesadaran tentang penyiksaan dalam konteks aksi massa.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam itu diakhiri dengan seruan agar negara menjamin perlindungan dan pemulihan bagi korban, serta mendorong penghentian penyiksaan dalam segala bentuknya. Tak hanya sebagai wacana, forum ini juga diharapkan melahirkan rekomendasi konkret bagi pembuat kebijakan, sekaligus memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam menjaga ruang demokrasi yang inklusif dan bebas dari kekerasan.