Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menjadi pembicara dalam kegiatan Ekskursi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia bertema “Napak Tilas Peristiwa 1998” di Universitas Trisakti pada Sabtu (4/11/2023). Hadir sebagai pembicara juga Ahli Forensik RSCM Djaja Surya Atmadja dan Dosen Fakultas Hukum Trisakti Bhatara Ibnu Reza. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang akar masalah dan dampak dari Tragedi Mei '98 dan seluruh rangkaian peristiwa yang menjadi penanda bergulirnya reformasi, sekaligus mengidentifikasi peluang dan tantangan yang dihadapi oleh gerakan perjuangan reformasi.
Diskusi panel diawali dengan menonton film dokumenter berjudul “Ceritakan Sekali Lagi”, yakni sebuah film yang memperdengarkan cerita-cerita dari beberapa narasumber tentang apa yang terjadi pada tragedi Mei 1998.
“Kita butuh sesuatu untuk mengingatkan bahwa kita bisa saja ada dalam ruang-ruang tertentu, tetapi kita punya interpretasi yang berbeda dari peristiwa yang sama-sama kita alami. Media film bisa menjadi narasi, bukan hanya sekedar tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi narasi tentang apa yang bisa kita lakukan dalam ruang kita sendiri, baik di hari ini maupun ke depan,” tutur Andy membuka paparannya tentang kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan-perempuan saat Tragedi Mei 98.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan 13-15 Mei 98 menemukan setidaknya ada 85 kasus kekerasan seksual yang korbannya bisa diidentifikasi keberadaannya, 52 di antaranya adalah korban tindak perkosaan dalam definisi yang sangat terbatas menurut KUHP. Sebagian besar korban kekerasan seksual adalah perempuan dari etnis Tionghoa dari lintas kelas sosial.
“Sejarah kerusuhan di Indonesia itu secara berulang-ulang seringkali menyasar pada satu etnis tertentu, dalam hal ini etnis Tionghoa,” ungkapnya.
Dalam diskusi ia juga menggaris bawahi kerentanan berlapis perempuan dalam situasi konflik. Dalam dunia patriarki, perempuan ditempatkan sebagai orang yang harus dilindungi. Karena itu perempuan kerap menjadi target kekerasan, khususnya kekerasan seksual, sebagai upaya merebut kehormatan pihak lawan.
“Karena apabila kekerasan seksual terhadap perempuan itu terjadi, menandakan pihak laki-laki tidak berhasil melindungi orang yang lemah di dalam kelompoknya. Hal ini tentu memberikan rasa takut yang amat besar, bukan hanya pada komunitas yang diserang tapi juga seluruh kelompok perempuan yang lain. Karena tiba-tiba kita paham bahwa karena kita perempuan kita dengan gampang bisa menjadi korban kekerasan seksual,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perempuan dengan segala kerentanannya juga diidentikkan sebagai simbol moralitas yang diukur dari pengalaman seksualnya. Karena itu mengalami perkosaan dianggap sebagai aib yang luar biasa, sehingga untuk menggugurkan aib itu adalah dengan mengawinkan korban. Bahkan menurut hasil pemantauan Komnas Perempuan di 9 provinsi 23 kabupaten/kota tentang pelaksanaan mekanisme restorative justice, ditemukan masih banyak yang percaya cara keluar dari perkosaan adalah dengan mengawinkan korban dengan pelakunya.
“Tragedi Mei 98 adalah peristiwa kelam yang menorehkan luka. Namun dari luka itu, kita bisa menyemai asa. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang kita miliki saat ini adalah salah satu rekomendasi kunci dari tragedi Mei 98,” pungkasnya.
Komnas Perempuan yang memang lahir dari kerusuhan Mei 98, berupaya memastikan adanya transformasi hukum dengan menghadirkan aturan-aturan yang melindungi perempuan. Sebelum UU TPKS, Komnas Perempuan turut terlibat bersama-bersama mendorong pengesahan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Saksi dan Korban yang juga melahirkan Lembaga Perlindungan Saksi dan korban, UU Penanganan Konflik Sosial, dan yang lainnya. Aturan-aturan ini untuk memastikan perempuan korban dapat dengan aman bersuara dan mendapatkan keadilan.
Di akhir diskusi, Andy mengucapkan apresiasi kepada Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti atas terselenggaranya ekskursi ini. Ia berharap, diskusi terkait pelanggaran HAM masa lalu dapat terus dilakukan, sebagai pengingat kepada generasi bangsa untuk mencegah keberulangan. [ELS]