Dalam rangka memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh di 26 Juni 2022, Komnas Perempuan bersama dengan lembaga pendamping korban Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melakukan kunjungan terhadap penyintas pelanggaran HAM berat tahun 1965, Kamis, (23/6/2022). Ketiga penyintas yang kami kunjungi bernama Purwadas (83), Mudjiati (74), dan Utati (78). Selain melakukan silaturahmi, Komnas Perempuan juga memberikan bantuan berupa sembako kepada para lansia penyintas 65 tersebut.
Meski telah terjadi hampir 57 tahun lalu, namun sejarah kelam kehidupan mereka masih terekam jelas. Trauma mental dan stigma sosial yang melekat padanya masih tersisa hingga di usia lanjut. Apa yang terjadi mereka pada saat itu merupakan bentuk penyiksaan nyata yang harus telah ditelan dan diingat kepahitannya agar tentunya tidak terulang di masa mendatang.
Purwadas berkisah, dulu ayahnya seorang menteri di era Sukarno. Namun, kehidupannya mendadak berubah 180 derajat setelah ia bersama suaminya menjadi tahanan politik (tapol) di Bukit Duri dan kemudian dipindahkan ke Plantungan.
Kisah Mudjiati pun tidak kalah membuat kelu. Di usianya yang baru menginjak 17 tahun ia pun menjadi tahanan politik ketika aktif dalam organisasi yang diangkap berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia. Padahal kala itu tujuan ia ikut organisasi hanya untuk bergabung ke dalam paduan suara karena ia suka menyanyi dan menari.
“Boro-boro ngerti politik, pacaran aja kita belum ngerti pada saat itu. Wong masih muda-muda. Malah ada yang baru umur 14 tahun sudah ditangkapin,” kenang Mudjiati.
Kisah Mudjiati ini pun ada sedikit kemiripan dengan Utati, yang juga ditangkap karena aktif di kelompok paduan suara Pemuda Rakyat yang dianggap berkaitan dengan PKI. Utati menghabiskan masa mudanya sebagai tahanan politik selama 11 tahun.
“Saya itu dulu ikut-ikut aja, karena suka nyanyi, nari juga,” Kenang Utati.
Saat ini di Indonesia, Pengakuan atas hak untuk bebas dari penyiksaan dijamin secara tegas dalam Konstitusi, yaitu Pasal 28G Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. Mengacu pada Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 013/PUU-1/2003, pengaturan tentang pembatasan haksebagaimana diatur oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 tidak berlaku bagi hak-hak yang telah dikecualikan oleh Konstitusi itu sendiri, termasuk hak untuk bebas dari penyiksaan. Perlindungan ini juga dapat ditemukan dalam berbagai undang-undang1 Karena seriusnya tindakan ini bagi martabat manusia, hak setiap orang untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sebagaimana diatur dalam UUD 1945, serta pasal 4 dan pasal 33 ayat 1 Undang - Undang HAM. Secara internasional larangan dan prinsip yang sama dapat ditemukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (pasal 5), Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (pasal 7) dan Konvensi Anti Penyiksaan yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.
Namun hingga hari ini Indonesia belum meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OpCAT) atau Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan Internasional yang menentang penyiksaan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Ratifikasi OpCAT memberi panduan untuk pembentukan mekanisme nasional dalam mencegah penyiksaan.