...
Kabar Perempuan
Komnas Perempuan dan Putu Oka Sukanta Luncurkan Buku Mata Harumi: Cerpen sebagai Media Penyambung Rasa


Jakarta, Jumat 14 Februari 2025 – Komnas Perempuan bersama penulis Putu Oka Sukanta menggelar peluncuran buku Mata Harumi dengan diskusi bertema "Cerpen, Media Penyambung Rasa." Acara ini menjadi ruang refleksi mendalam mengenai peran sastra dalam menyuarakan pengalaman perempuan, khususnya mereka yang terjebak dalam lingkaran diskriminasi dan kekerasan. Latar belakang Putu Oka sebagai penyintas tragedi 1965/1966, menambah kedalaman refleksinya terhadap isu-isu sosial, terutama yang mempengaruhi perempuan yang terjebak dalam siklus diskriminasi dan kekerasan di dalam karyanya. 


Acara peluncuran diadakan secara hybrid di Kantor Komnas Perempuan dan disiarkan secara langsung melalui Zoom dan live YouTube Komnas Perempuan Buku Mata Harumi menghadirkan 16 kumpulan cerpen yang menggambarkan berbagai realitas sosial, terutama pengalaman perempuan dalam menghadapi ketidakadilan. Melalui narasi yang tajam dan penuh empati, karya ini mengajak pembaca untuk memahami lebih dalam dinamika kehidupan perempuan serta tantangan yang mereka hadapi dalam masyarakat. 


‘’Kami meyakini bahwa ruang budaya melalui media sastra cetak dalam hal ini juga cerpen memberikan ruang untuk menjumpai lebih banyak orang, sehingga memiliki kesempatan untuk bukan saja membaca tetapi menyimak (dan) menarik pembelajaran dan mengasah kepekaan sehingga mau melakukan sebuah tindakan yang dapat turut menghapus kekerasan terhadap perempuan.’’ Jelas Ketua Komnas Perempuan, Andy Yetriyani dalam sambutannya saat membuka acara.


Kumpulan cerpen karya Putu Oka Sukanta ini menyoroti isu-isu sosial yang kritis, mendorong kesadaran yang lebih dalam tentang topik-topik yang sering terpinggirkan. Kumpulan cerpen tersebut berfungsi sebagai media untuk memorialisasi, memastikan bahwa tragedi masa lalu dikenang dan tidak terulang kembali.


Putu Oka Sukanta menegaskan meskipun ceritanya berangkat dari kejadian nyata atau pengalaman masyarakat, buku ini bukanlah catatan sejarah atau pembelaan (pledoi) terhadap suatu kasus tertentu, melainkan sebuah karya sastra yang memiliki kebebasan interpretasi bagi pembacanya, sehingga setiap orang dapat menafsirkan dan memaknai cerita-cerita di dalamnya sesuai dengan sudut pandang dan pengalaman masing-masing. Buku ini, seperti karya sastra pada umumnya, akan "berjalan sendiri" dan menemukan jalannya dalam memengaruhi pembaca maupun perbincangan sosial di sekitarnya.


‘’Cerpen-cerpen di dalam Mata Harumi ini adalah cuplikan realitas sosial masyarakat yang kemudian diolah oleh imajinasi saya sehingga dia lahir sebagai fiksi, dia bukan buku sejarah, dia bukan buku pledoi, tetapi sebuah buku yang terserah Anda mau menggunakan untuk apa buku itu akan berjalan sendiri ke mana dia mau, tidak bisa lagi dikendalikan,’’ ujar sang penulis, Putu Oka Sukanta. 


Menanggapi buku Mata Harumi karya Putu Oka Sukanta, Saras Dewi seorang akademia yang mengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Filsafat UI dan juga seorang seniman, sering menggunakan karya dari Putu Oka Sukanta sebagai pengantar dan bahan diskusi di kelas. 


‘’Saya banyak belajar dari membaca karya-karyanya Pak Putu selama ini, selalu yang menyegarkan kembali gairah untuk terus berdiskusi membicarakan tentang hak asasi manusia tentang kesetaraan dan keadilan, [dan] melalui karya ini banyak sekali saya belajar dari Pak Putu,’’ terang Saras. 


Senada dengan hal tersebut, Luviana sebagai perwakilan dari jurnalis yang terfokus terhadap isu kesetaraan gender dan hak asasi perempuan yang dituangkan di dalam media bernama Konde.co.


‘’90% dari yang ditulis Pak Putu adalah perempuan kelas bawah [yaitu] problem masyarakat marginal. Mereka adalah pekerja perempuan yang bergulat dengan nasib tapi tidak lelah berjuang,’’ ungkap Luviana. 


Fathul Rizqoh seorang jurnalis dan reporter di detik.com juga merupakan pengurus dan aktivis di aliansi jurnalis independen mewakili suara generasi z mengungkapkan bahwasanya generasi muda memiliki cara pandang yang berbeda terhadap sejarah karena tidak merasakan sejarah setelah dilahirkan dan mendapatkan pandangan sejarah berdasarkan dari buku pelajaran maupun cerita orang tua. 


‘’Kalau ternyata pengetahuan yang ada di sekolah dulu itu bukan satu kebenaran mutlak, ada banyak sumber-sumber lain yang bisa kita baca, kita ulas, [hingga] akhirnya kita punya perspektif yang berbeda. Nah, karya-karya Pak Putu Oka Sukanta ini jadi salah satu ruang bagi saya, khususnya untuk kembali mengenal isu-isu yang mungkin sudah lama tapi masih relevan dan bahkan apa yang ditulis itu beneran  yang sangat dekat sama kehidupan kita,’’ jelas Fathul. 


Peluncuran buku Mata Harumi ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi terhadap karya Putu Oka Sukanta, tetapi juga membuka diskusi yang menggambarkan bahwa Mata Harumi bukan sekadar kumpulan cerita fiksi, melainkan juga bentuk kepedulian terhadap realitas sosial, terutama persoalan diskriminasi dan kekerasan yang masih terus dihadapi perempuan. Para pembicara menekankan pentingnya sastra sebagai alat untuk membangun empati dan kesadaran publik, serta sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang masih berlangsung di masyarakat.


Penulis: Alifvia



Pertanyaan / Komentar: