Komnas Perempuan mengajukan 15 rekomendasi RUU kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang berkaitan dengan mandatnya sebagai Lembaga Nasional HAM dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan. Rekomendasi ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Ch. Salampessy dan Komisioner Maria Ulfah Anshor dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Indonesian Parliamentary Center (IPC) terkait penyusunan Prolegnas RUU 2025-2029 dan Prolegnas RUU Prioritas 2025, pada Selasa, 29 Oktober 2024, di gedung DPR RI.
Mengawali paparannya Olivia Ch. Salampessy menyampaikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang perlu menjadi prioritas dan mendesak untuk segera disahkan adalah RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
"RUU PPRT telah diperjuangkan selama 20 tahun oleh para pekerja rumah tangga (PRT) bersama jaringan masyarakat sipil dan Komnas Perempuan. Perlindungan bagi pekerja perempuan di sektor informal, khususnya PRT, masih sangat minim. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2008, terdapat 1.714.437 PRT di Indonesia, di mana 90% di antaranya adalah perempuan. Jumlah ini meningkat menjadi 2,6 juta pada 2011, termasuk PRT anak yang masih berusia di bawah 18 tahun,” ungkap Olivia.
Olivia menambahkan bahwa UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dinilai belum mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi PRT karena tidak mencakup perlindungan sesuai standar perburuhan, khususnya bagi perempuan pekerja yang rentan.
Selain RUU PPRT, terdapat beberapa 14 RUU lain yang penting untuk dibahas dan segera disahkan DPR RI karena memiliki pengaruh signifikan terhadap perlindungan hak-hak perempuan di berbagai sektor kehidupan. RUU-RUU tersebut mencakup isu masyarakat adat, kesetaraan gender, hukum acara pidana, hingga perlindungan lingkungan hidup.
RUU Masyarakat Adat merupakan salah satu prioritas yang bertujuan mengharmonisasikan regulasi yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat. RUU ini diharapkan mampu menjamin kelangsungan ruang hidup masyarakat adat, termasuk perempuan adat, yang selama ini terancam oleh tumpang tindih kebijakan seperti UU Agraria, UU Kehutanan, dan UU Minerba.
Sementara dalam isu Kesetaraan Gender, Komnas Perempuan menilai kehadiran undang-undang yang secara komprehensif melindungi hak perempuan sangat diperlukan, sejalan dengan Perpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. RUU ini diharapkan memberikan dasar hukum bagi lembaga negara untuk merancang kebijakan berbasis kesetaraan gender dan menjadi langkah konkret negara dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
Pada bidang hukum, revisi atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diharapkan mempertimbangkan perlindungan khusus bagi perempuan, baik sebagai korban maupun sebagai pihak yang rentan terhadap pelanggaran HAM, seperti kekerasan seksual. Perubahan ini juga diharapkan mengintegrasikan pendekatan keadilan restoratif serta larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh melalui penyiksaan.
Komnas Perempuan juga mendorong pengesahan beberapa perjanjian internasional yang dapat memperkuat pelindungan korban, seperti Konvensi Perlindungan dari Penghilangan Paksa, dan ratifikasi Protokol Opsional CEDAW serta Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (OPCAT).
Pada sektor lingkungan hidup, Komnas Perempuan menyatakan pentingnya RUU Pengelolaan Perubahan Iklim dan revisi UU Nomor 32 Tahun 2009. Keduanya diharapkan mengakomodir perspektif perempuan dalam manajemen perubahan iklim dan pemulihan akibat krisis lingkungan. Selain itu, RUU tentang Sistem Penyelesaian Konflik Agraria dinilai relevan mengingat konflik sumber daya alam seringkali berdampak pada perempuan yang kehilangan ruang hidup dan menghadapi kekerasan berbasis gender.
RUU lainnya yang juga didorong untuk diutamakan adalah revisi UU Narkotika, UU Penyiaran, dan RUU Energi Baru Terbarukan. Komnas Perempuan menekankan pentingnya pendekatan berbasis gender dan inklusif di dalam setiap kebijakan baru, guna memastikan kelompok rentan mendapatkan akses dan perlindungan yang setara.
Komnas Perempuan menilai keseluruhan RUU ini sebagai bentuk nyata komitmen negara dalam memastikan terpenuhinya hak-hak perempuan di semua sektor, guna membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan setara.
Tanggapan dan Apresiasi dari Baleg DPR RI
Menanggapi saran dan masukan Komnas Perempuan kepada DPR periode 2024-2029, Anggota DPR RI, Habib Syarif Muhammad menyatakan dukungannya terhadap Komnas Perempuan. Ia menyoroti laporan Komnas Perempuan menyoroti dua isu utama yakni peningkatan kasus pelecehan seksual di pendidikan tinggi dan indikasi angka bunuh diri yang tinggi.
Selain itu, Habib Syarif menyatakan keprihatinannya terhadap proses panjang pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Ia menyebut RUU ini sebagai upaya "memanusiakan manusia," meskipun terdapat dua isu yang masih menjadi perdebatan, yaitu perubahan persepsi dari pembantu ke pekerja serta regulasi jam kerja.
Habib menambahkan bahwa Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah mengatur tentang jam kerja sejak 1919, dan RUU PPRT sudah melalui proses panjang, mulai dari 2012 hingga menjadi usulan inisiatif DPR pada 2023, namun tetap belum ada kepastian. Habib juga mengingatkan peran Komisioner Maria Ulfah Anshor yang memperjuangkan pengesahan RUU ini pada 2021, dan berharap agar RUU PPRT dapat segera disahkan.
Sejalan dengan rekomendasi Komnas Perempuan, Anggota DPR RI Muhammad Kholid menekankan pentingnya pelibatan publik dalam isu perubahan iklim serta keadilan bagi kelompok rentan. Ia menyoroti bahwa diskusi terkait iklim harus mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar karbon atau perdagangan emisi.
Menurut Kholid, "Yang paling penting adalah sense of justice bagi yang terdampak dan kelompok rentan. Sering kali, isu perubahan iklim dibahas terlalu elitis dan hanya difokuskan pada perdagangan karbon, padahal yang kita inginkan adalah visi ketahanan ekologis yang komprehensif dan memberi afirmasi kepada kelompok rentan." pungkasnya.
Ia juga mengusulkan penggunaan pendekatan "keadilan iklim" atau "keadilan ekologis," karena konsep tersebut membutuhkan instrumen kebijakan yang berbeda dari sekadar pendekatan teknis. Kholid menekankan pentingnya mengintegrasikan keadilan iklim dengan visi pemerintah yang mencakup ketahanan pangan. Sektor pangan dan pertanian, menurutnya, adalah sektor yang multidimensional dan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Anggota DPR RI, Hindun Anisah menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap rekomendasi Komnas Perempuan untuk percepatan pengesahan RUU PPRT. Hindun menegaskan, "Saya sangat mengapresiasi Komnas Perempuan atas usulan RUU PPRT. Ini memang mendesak untuk disahkan."
Dia menyoroti pentingnya perlindungan bagi PRT, terutama mengingat Indonesia adalah negara pengirim pekerja domestik ke hampir 12 negara penempatan. Menurut data dari Januari hingga Agustus 2024, jumlah pekerja domestik Indonesia di luar negeri mencapai 108.477 orang, mayoritas perempuan.
Hindun menekankan pentingnya amanat UU No. 18 Tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI) yang mengharuskan adanya undang-undang perlindungan bagi PMI di negara penempatan.
"Kalau tidak ada, maka kita tidak bisa mengirimkan," ujarnya,
Ia menambahkan bahwa RUU PPRT sejalan dengan misi Baleg tentang peran keluarga. Dia menyatakan, "Kita tahu, PRT kita tiap hari ada di lingkungan keluarga dan tentunya harus diberikan rasa aman serta dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan."
Anggota DPR lainnya, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga turut menyampaikan apresiasi khususnya pada konteks KUHAP. Menurutnya kehadiran amicus curiae penting karena memiliki pengalaman dan keahlian di bidang tertentu dan dapat memberikan pencerahan dalam proses persidangan.
Umbu Kabunang juga sepenuhnya mendukung usulan Komnas Perempuan tentang RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA), bahwa Di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Sumba, terdapat banyak Hak Guna Usaha (HGU) yang perlu dikaji agar tidak merambah wilayah masyarakat. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan taman nasional agar tidak terjadi tumpang tindih dengan RUU MHA, di mana hak atas tanah dan air masyarakat tidak tergerus.
Mengenai RUU PPRT, ia menambahkan perlu ada sinkronisasi fakta dalam advokasi terhadap PRT. Persoalan utama yang dihadapi adalah rendahnya sumber daya manusia.
“Kita perlu memastikan bahwa jika kita memenuhi hak-hak mereka, ada kewajiban untuk melakukan pendidikan bagi pekerja ini. Kita perlu mewajibkan seluruh calon pekerja untuk mengikuti pendidikan khusus, karena banyak persoalan hukum muncul akibat adanya komunikasi yang tidak sejalan,” tandasnya.
Tanggapan terakhir mengenai kesetaraan gender dan rekomendasi terkait narkotika disampaikan oleh Anggota DPR RI, Bob Hasan. Ia menekankan bahwa perempuan juga harus setara. Kemudian, Bob Hasan mengapresiasi masukan dari Komnas Perempuan mengenai Undang-Undang Narkotika.
"Saya pribadi pernah menjabat sebagai Ketua Umum organisasi anti-narkoba, dan saya menyerukan gerakan amnesti. Mengapa obat-obatan ini harus diberikan amnesti? Karena ada Undang-Undang rehabilitasi, di mana seseorang yang terjerat narkoba hanya memiliki tiga pilihan: rehabilitasi, tidak mau rehabilitasi, atau penjara, dan dalam kasus terburuk, menghadapi kematian. Hal ini menjadi bahan rujukan saya untuk menyusun opini mengenai perlunya gerakan amnesti," jelasnya.
Bob Hasan juga menyatakan ketertarikan terhadap pandangan Komnas Perempuan, khususnya mengenai kesetaraan gender dalam konteks narkotika. Bagi Bob Hasan penting untuk merujuk pada penanganan kasus perempuan yang terjerat narkoba, mengingat situasi yang mereka hadapi seringkali berbeda dari laki-laki.