Komnas Perempuan pada tanggal 15-19
Nov melakukan konsultasi dengan Pemerintah Kab. Timor Tengah Utara (TTU) di
Kefamenanu dan Kab. Belu di Atambua tentang situasi perempuan korban kekerasan
dan layanan pemulihan dan perkembangan penanganan kasus di 2 (dua) kabupaten
tersebut. Konsultasi juga dilakukan dengan organisasi pendamping korban tokoh
masyarakat di kedua kabupaten tersebut untuk mendapatkan masukan secara
langsung mengenali hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh para pihak di
kedua kabupaten ini.
Di Kab. TTU, konsultasi dengan pemerintah daerah langsung pada tanggal 15 Nov 2024 dipimpin oleh Plt Bupati Eusabius Binsasai dan didampingi oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan juga dihadir oleh akademisi, tokoh masyarakat dan pendamping korban yang turut menyampaikan situasi korban korban yang belum sepenuhnya mendapatkan layanan pemulihan yang dibutuhkan. Keterbatasan layanan pemulihan psikologis merupakan salah satu tantangan terbesar dalam mendukung pemulihan korban secara maksimal karena keterbatasan tenaga psikolog klinis dibandingkan jumlah kasus terus meningkat.
Komnas Perempuan mendorong agar anggaran untuk dukungan pemulihan korban harus memastikan tersedia alokasi untuk non fisik seperti menyediakan tenaga psikolog klinis disamping dukungan lain seperti pemulihan dan layanan kesehatan sebagai bagian dari dari pemulihan korban. Situasi lain yang membutuhkan dukungan lebih baik dari pemerintah yaitu para legal sebagai pendamping korban baik hukum maupun psiko sosial saat ini berkurang karena kendala anggaran.
Temuan lain dalam konsultasi dengan masyarakat yang dilakukan secara terpisah yaitu bahwa praktik nikah dengan tradisi tanpa pencatatan secara negara merupakan salah satu pintu masuk kekerasan terhadap perempuan hingga kini masih kerap terjadi dan penyelesaiannyapun tidak tuntas karena kendala pencatatan administrasi pernikahan. Praktik ini disebut dengan Ingkar Janji Nikah (IJM) yang mana dalam konsultasi dengan UPPA Polres TTU kasus-kasus diproses sebagai kasus perdata.
Sementara itu, di Kabupaten Belu situasi layanan bagi korban kekerasan tidak jauh berbeda dengan Kab. TTU yang belum berlangung komprehensif sebagaimana dibutuhkan korban. Konsultasi dengan Pemerintah Kab. Belu pada tanggal 17 November 2024 dipimpin oleh Sekda Kab. Belu Johanes Andes Prihatin dan dihadiri oleh sejumlah Forkompinda yang berasal dari Kodim, Polres, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Atambua, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, P2TP2A, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan tokoh agama.
Dalam konsultasi tersebut, para pihak bersepakat bahwa pencegahan dan pemulihan perempuan korban kekerasan terutama kekerasan seksual harus menjadi bagian penting dalam perencanaan daerah seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) harus mengintegrasikan isu tersebut dan memiliki mata anggaran tersendiri. Adapun pembiayaan untuk korban kekerasan seksual menjadi tanggung jawab dinas kesehatan apabilan yang bersangkutan tidak memiliki BPJS, sebagaimana disampaikan dinas kesehatan.
Di Kab. Belu masih terdapat kasus kekerasan seksual termasuk korban dengan disabilitas yang diselesaikan di tingkat masyarakat melalui mediasi menjadi salah satu tantangan mengingat hal tersebut bertentangan dengan mandat UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Karenanya kehadiran pendamping korban yang saat ini masih kurang menjadi kebutuhan mendesak untuk membantu masyarakat dapat mengkses layanan-layanan yang dibutuhkan seperti layanan hukum dan kesehatan. Disamping tantangan penegakan hukum yang belum berjalan maksimal seperti hitung restitusi yang seharusnya sudah mulai dilakukan sejak penyidikan di kepolisian, namun hal tersebut belum terlaksana karena terbatas kapasitas penegak hukum di kabupaten ini.
Selain itu, pada konsultasi terpisah bersama jejaring masyarakat dan keluarga korban diperoleh gambaran bahwa pelaksanaan UU TPKS belum berjalan dan masih terdapat perbedaan pemahaman tentang UU tersebut sehingga dibutuhkan penguatan kapasitas bagi APH tentang UU tersebut termasuk kepada pendamping korban, termasuk koordinasi para pihak dalam penanganan kasus. Situasi lain yaitu praktik kawin dengan tradisi bayar belis (baca:mas kawin) yang dianggap cukup mahal masih berlangsung di beberapa komunitas yang mana perempuan menjadi lebih rentan mengalami kekerasan karena dianggap sudah di-belis sehingga suaminya boleh memperlakukan Ia sesukanya.
Selain situasi-situasi
sebagaimana gambaran di 2 (dua) kabupaten tersebut, terdapat kasus tindak
pidana perdagangan orang yang cukup marak dan masih membutuhkan perhatian lebih
kedua pemerintah daerah tersebut mengingat jumlah pekerja migran yang berasal
dari kedua kabupaten tersebut cukup banyak dan kerap menjadi korban tindak
pidana perdangangan orang.