Selasa, 27/06/2023, Komnas Perempuan menyelenggarakan seminar publik yang bertajuk, “Memerangi Penyiksaan dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang terkait Kekerasan Seksual”. Diskusi yang dimoderatori oleh Putu Elvina Komisioner Komnas HAM tersebut diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional, sekaligus 25 tahun ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan.
Hak untuk terbebas dari penyiksaan merupakan hak seluruh manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan dalam sambutannya menyatakan bahwa sebagai komitmen untuk menentang penyiksaan, Komnas Perempuan menempatkan isu ini sebagai salah satu isu prioritas setiap periodenya.
“Harapannya seminar publik ini dapat memperdalam pengetahuan mengenai kerangka konvensi menentang penyiksaan sehingga dapat menguatkan strategi advokasi ke depan,” tutur Andy.
Komnas Perempuan juga menggunakan kesempatan seminar publik ini sebagai ruang untuk kick off atau mempublikasikan kerja bersama Komnas Perempuan dengan European Union (EU) yang akan dilakukan selama hampir 2,5 tahun ke depan untuk penguatan peran Komnas Perempuan sebagai Lembaga nasional hak asasi manusia yang berfokus pada penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan seksual.
Sebelum memulai diskusi, Deputy Head of Mission Delegasi EU untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Stephane Francois mengutarakan bahwa EU mendukung agar para korban mendapat keadilan termasuk melawan penyiksaan dari semua konteks di seluruh dunia. Selain itu juga turut melawan isu terkait kekerasan seksual serta menyatakan bahwa kekerasan domestik sebagai bagian dari penyiksaan, sehingga dibutuhkan kampanye bersama terkait kesetaraan gender. Selain itu, agar adanya efektivitas hukum perlu dukungan agar pelayanan bagi para penyintas dapat berjalan serta jaringan dukungan yang komprehensif bagi para penyintas.
Dalam sesi diskusi, Rainy Hutabarat Komisioner Komnas Perempuan sekaligus panelis menegaskan bahwa penyiksaan berbasis gender merupakan bentuk kekerasan. Sehubungan dengan UU TPKS, dirinya menekankan itu sebagai cerminan dari uji cermat tuntas oleh negara untuk melarang, mencegah, dan memulihkan penyiksaan, pun perlakuan kejam lainnya.
Sri Wiyanti Dosen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada menambahkan bahwa terdapat dua level norma hukum yang berbicara mengenai penyiksaan, yakni UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP
dan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. KUHP sendiri menekankan aktor negara sebagai inti dari penyiksaan.
“Bukan berarti hanya aktor negara yang melakukan, tetapi aktor negara juga bisa membiarkan penyiksaan yang dilakukan oleh pihak lain,” tegas Sri.
Sesi diskusi perihal penyiksaan ini juga menghadirkan Dian Novita, Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta dan Ema Rahmawati Kanit II/PPA Bareskrim POLRI sebagai panelis.
Dalam paparannya, Ema Rahmawati, menyampaikan bahwa tantangan Polri salah satunya yakni adanya potensi penyiksaan seksual ketika di proses pemeriksaan, penangkapan, serta penahanan yang dilakukan oleh penyidik /penyelidik. Padahal larangan penyiksaan seksual tersebut juga termasuk dalam pasal 13 Perkap 8/2009 serta pasal 10 Perpol 7/2022. Selain itu dalam terminologi UU TPKS perlu dirumuskan mengenai pejabat, apakah pejabat dalam konteks yang lebih luas atau secara spesifik.
Di samping itu Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK, Dian Novita, menyampaikan bahwa Masih banyak anggota DPR yang belum mengetahui terkait ciri maupun definisi penyiksaan seksual. Hal ini berdampak ketika penyusun UU belum paham terkait Konvensi Anti penyiksaan serta belum bisa membedakan perilaku seksual dengan penyiksaan seksual. Sehingga perlunya sosialisasi Konvensi Anti Penyiksaan kepada Anggota Dewan atau pembuat UU serta pelatihan bagi penegak hukum terkait penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual.
“Mengingat UU tersebut baru disahkan sehingga penegak hukum banyak yang belum mendapat pelatihan. Tantangan lainnya yakni dalam KUHP belum terdapat sinkronisasi dengan UU TPKS. Serta bagaimana penegak hukum nantinya menggunakan KUHP atau UU TPKS mengingat dalam KUHP, pejabat yang memaksa seseorang untuk mengaku atau memberi keterangan dipidana paling lama 4 tahun sementara dalam UU TPKS adalah 12 tahun,” jelas Dian.
Penulis:
Ni Putu Putri Wahyu Cahyani