Dalam
mendorong pendiskusian RUU Penyiaran secara lebih komprehensif, Komnas
Perempuan telah mengirimkan surat dan kertas kebijakan respon atas RUU
Penyiaran ke fraksi-fraksi DPR RI Periode 2020-2024. Komnas Perempuan merespon
baik fraksi Nasdem Komisi 1 DPR RI Periode 2024-2029, Amelia Anggraini yang
menindaklanjuti surat Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan diwakili oleh para komisioner yakni bapak Veryanto Sitohang, Rainy Hutabarat, Alimatul Qibtiyah, Maria Ulfah Ansor didampingi badan pekerja Yulita, Anjani, Desi dan Vanya menerima serangkaian pertemuan dengan Amelia Anggraini Fraksi Nasdem komisi I DPR RI pada 3 Februari dan 10 Februari 2025 untuk mendiskusikan lebih lanjut masukan-masukan Komnas Perempuan terkait RUU Penyiaran yang sedang dibahas kembali oleh Panja RUU Penyiaran.
Beberapa pasal
yang menjadi masukan dari draft revisi RUU Penyiaran per 27 Maret 2024 yakni
terkait pasal 1 tentang definisi Penyiaran, Platform Digital Penyiaran, dan Penyelenggara Paltform Digital yang perlu diatur secara jelas jika akan
diperluas hingga ke ranah sosial. Komnas Perempuan mengingatkan jangan sampai
mengkriminalisasi kepentingan korban, pendamping korban, media atau publik yang
ingin menyuarakan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan ataupun kasus HAM
pada umumnya. Pasal 8 berkaitan dengan kewenangan KPI diharapkan tidak tumpang
tindih dengan wewenang lembaga lain dalam mengeluarkan tanda lulus kelayakan
isi siaran. Termasuk pada verifikasi pelanggaran konten (pasal 51 B) KPI dapat
melibatkan lembaga terkait (panel ahli), juga lembaga HAM.
Komnas Perempuan juga mencermati pada pasal 10 terkait ketentuan syarat menjadi anggota KPI mengenai syarat anggota KPI yang sehat jasmani dan rohani serta tidak mengalami penyimpangan orientasi dan/atau perilaku seksual. Usulan ini berpotensi mendiskriminasikan kelompok disabilitas termasuk perempuan disabilitas yang memiliki kualitas dan pengalaman yang baik di isu media dan penyiaran. Selain itu syarat tidak mengalami penyimpangan orientasi dan/atau perilaku seksual adalah syarat yang tidak dapat diukur.
Pada pasal 35, Komnas Perempuan memastikan untuk tidak ada tumpang tindih tupoksi dengan
kelembagaan lain terhadap pengaturan kewenangan memverifikasi konten terutama
pada konten yang berkaitan dengan jurnalisme investigasi yang seharusnya
menjadi peran dewan pers. Selanjutnya pada Pasal 36 ayat 5 disebutkan hal-hal
yang dilarang untuk ditayangkan sebagai konten siaran. Namun, dalam larangan
isi siaran tersebut belum ada cakupan yang menjawab permasalahan-permasalahan
penggambaran perempuan di siaran televisi terkait seksisme, diskriminasi, dan
misogini. Seperti yang sudah dibahas sebelum-sebelumnya, siaran hiburan
televisi mereproduksi ketiga nilai tersebut melalui penayangan
stereotipe-stereotipe yang sempit untuk perempuan, peminggiran dan diskriminasi
perempuan, dan menormalisasi kekerasan, pelecehan, dan objektifikasi perempuan.
Untuk itu, penting untuk menambahkan larangan pada Pasal 36 ayat 5 yang dapat
mencakup permasalahan-permasalahan tersebut. Hal ini terkait dengan tayangan
yang memperkuat dan melanggengkan stigmatisasi, stereotipe, dan diskriminasi
terhadap perempuan dan kelompok dengan orientasi seksual atau identitas gender
tertentu; dan tayangan yang menormalisasi eksploitasi seksual, kekerasan, dan
pelecehan terhadap perempuan.
Selanjutnya pada Pasal 50 A Ayat (1) e dan f kerap kali diimplementasikan dengan cara yang salah. Penghormatan, terhadap kesopanan, kepantasan dan kesusilaan kerap kali hanya berpatok pada standar moral budaya atau ajaran agama tertentu. Padahal Indonesia memiliki keberagaman budaya dan tradisi yang perlu dihormati dan lestarikan. Dalam prakteknya saat ini masih kerap ditemukan penyensoran pada cara berpakaian adat tertentu yang dianggap vulgar padahal merupakan bagian dari ciri khas suatu suku. Yang tentu bertentangan dengan ketentuan e pada pasal ini. Dan pada pasal 50 A ayat 2 Komnas Perempuan memberi perhatian pada pelarangan penanyangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal ini bepotensi membungkam kebebasan pers dan kebebasan berpendapat khususnya jika dalam konten tersebut mengangkat kasus-kasus Hak Asasi Manusia terutama Hak Asasi Perempuan.
Pertemuan ini juga menyinggung tentang Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 522 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 172 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Pengenaan Sanksi Denda Administratif Atas Pelanggaran Pemenuhan Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat User Generated Content untuk Melakukan Pemutusan Akses, dinilai Komnas Perempuan semakin mempersempit ruang publik, Absennya perspektif perlindungan terhadap perempuan dari kejahatan KBGO, utamanya dalam mekanisme denda. Serta, menetapkan time-frame yang tidak memungkinkan platform melakukan analisis pembuktian dan banding, mewajibkan take-down sejak surat teguran pertama dengan banding baru dapat diajukan setelah surat teguran kedua, membatasi banding hanya pada keberatan atas denda administrasi final dan bukan terhadap konten, serta tidak menyediakan mekanisme transparansi, akuntabilitas, maupun mekanisme banding bagi pengguna terhadap platform pasca notifikasi take-down.
Amelia
Anggraini dari Fraksi Nasdem DPR RI menyatakan persetujuannya terhadap
rekomendasi Komnas Perempuan terkait RUU Penyiaran. Ia menegaskan bahwa dalam
menciptakan ekosistem penyiaran di ranah digital, diperlukan mekanisme
pengawasan yang memastikan ruang digital yang aman dan berkualitas, terutama
bagi generasi muda. Kesepahaman ini menjadi langkah awal dalam mendorong RUU
Penyiaran yang lebih inklusif dan berpihak pada perlindungan perempuan serta
kelompok rentan di ruang digital.
Diakhir
pertemuan Komnas Perempuan menyampaikan penting untuk melibatkan partisipasi aktif
masyarakat sipil dalam ruang masukan untuk Panja RUU Penyiaran agar dapat
memperkuat sinergi dalam menciptakan iklim penyiaran dan jurnalistik televisi
yang sehat dan inklusi.