...
Kabar Perempuan
Kuliah Umum Pembukaan Pelatihan Penghapusan Kekerasan Seksual Bagi Aparat Penegak Hukum, Pengada Layanan, dan Pendamping



Komnas Perempuan mengadakan kuliah umum sebagai pembuka pelatihan penghapusan kekerasan seksual dengan perspektif Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) bagi aparat penegak hukum (APH), pengada layanan dan pendamping korban pada Jumat (6/10/2023).

 

SPPT-PKKTP adalah sistem terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, yang mengutamakan kerjasama antarpihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan serta membuka akses ke pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan.

 

Penyelanggaraan pelatihan yang melibatkan 27 peserta dari Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Timur dan berlangsung secara daring maaupun luring sepanjang Oktober 2023 ini merupakan upaya keterlibatan Komnas Perempuan dalam konsorsium Akademi Penghapusan kekerasan Seksual (APKS) bersama LBH APIK Jakarta dan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera yang didukung oleh VOICE Indonesia. Konsorsium ini bersepakat untuk membangun konsep dan program Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS) untuk membangun sistem dasar penguatan kapasitas, sistem pemantauan, serta memperkuat koordinasi antar-sektor dalam mengimplementasikan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang terintegrasi dengan perspektif inklusi dan keadilan transformatif.

 

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, membuka sambutannya dengan menceritakan pengalamannya berjumpa dengan korban perkosaan yang kasusnya mangkrak selama dua tahun dan berdampak tak hanya bagi korban namun juga pada keluarganya. Ilustrasi ini menggambarkan dampak spesifik yang dialami oleh perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Untuk itu, peran aparat penegak hukum, pendamping, dan pengada layanan yang berperspektif korban dan berkomitmen sangat penting dalam perjalanan korban memperjuangkan keadilan dan pemulihannya. Pelatihan yang menjadi bagian dari program APKS merupakan tanggung jawab moral Komnas Perempuan untuk mengawal implementasi UU TPKS, dan diharapkan dapat menjadi standar minimal perspektif dan kompetensi bagi APH, pengada layanan, dan pendamping. Ketua Komnas Perempuan mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat maupun mendukung kegiatan ini.

 

Pemateri pertama kuliah umum adalah Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan. Siti Aminah menyampaikan materi bertajuk, “Mengawal Implementasi UU TPKS.” Terdapat 6 (enam) elemen kunci penghapusan kekerasan seksual yang sejak tahun 2014 diadvokasikan oleh Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil dalam proses perumusan rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan akhirnya diadopsi dalam UU TPKS. 6 elemen kunci tersebut adalah tindak pidana, sanksi (pidana dan tindakan), hukum acara khusus, hak korban, pencegahan, dan pemantauan.

 

Sebelum adanya UU TPKS, kekerasan seksual dimaknai sebagai persoalan privat dan dapat diselesaikan di luar proses hukum. Untuk itu, UU TPKS mengatur 9 (sembilan) perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Dalam memberikan sanksi terhadap tindak pidana kekerasan seksual, UU TPKS menganut sistem dua jalur, yakni sanksi pidana (penjara, denda, pencabutan hak asuh atau pengampuan, pengumuman identitas, perampasan harta, maupun pidana lainnya) dan sanksi tindakan (rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan restitusi). UU TPKS juga mengatur hukum acara pidana khusus untuk memperluas atau melengkapi ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam KUHAP, seperti persyaratan APH, cara pemeriksaan, sistem pembuktian, pendampingan korban, restitusi, pelaporan, pelindungan, pemeriksaan saksi/korban, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan.

 

Materi kedua yang bertajuk, “Urgensi HAM dan Gender dalam Penegakan Hukum” disusun oleh Tumbu Saraswati, Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan yang berhalangan hadir secara langsung untuk menyampaikan materinya. Untuk itu, Komisioner Komnas Perempuan, sekaligus penanggungjawab APKS Alimatul Qibtiyah menyampaikan bahan materi yang telah disusun tersebut.

 

HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir dan diakui secara universal dan bertujuan agar manusia merasa bebas dan terlindungi. HAM bersifat hakiki, universal, tidak bisa dicabut, dan tidak bisa dibagi. Terdapat 5 (lima) jenis hak asasi yang diatur oleh Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yakni hak personal, hak legal, hak sipil dan politik, hak subsistensi, dan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Indonesia mengatur 8 (delapan) jenis hak asasi manusia dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain HAM, terdapat pula hak khusus, yakni hak-hak yang dimiliki perempuan dan hak-hak yang dimiliki oleh anak. Selain menjelaskan mengenai HAM, Tumbu Saraswati juga menuliskan konsep gender serta 5 (lima) bentuk ketidakadilan atau diskriminasi gender yakni marginalisasi, subordinasi, stereotip/pelabelan, beban ganda, dan kekerasan. Karena adanya pengaturan khusus mengenai hak-hak perempuan yang diakibatkan oleh ketidakadilan gender, maka itu HAM dan gender harus menjadi perhatian penegakan hukum untuk memastikan terpenuhinya keadilan.

 

Kuliah umum ini tidak hanya dihadiri oleh 27 peserta pelatihan namun juga lebih dari 180 publik. Kuliah umum sekaligus pembukaan pelatihan ini mendapatkan respons positif dari peserta pelatihan sekaligus dari publik. Salah satu peserta publik menyampaikan agar peserta tidak hanya dari 27 orang peserta pelatihan, tetapi lebih banyak lagi dan berharap ada kuliah berseries yang tebuka untuk umum. Sementara itu, bagi 27 orang peserta pelatihan, kuliah umum ini sekaligus merupakan kelas pertama. Dalam pre-test yang diisi oleh seluruh peserta, terdapat temuan menarik seperti masih adanya 45,8% peserta yang setuju bahwa kepemimpinan laki-laki merupakan hak utama laki-laki namun 87,5% peserta tidak setuju bahwa perempuan yang berpakaian terbuka pantas mendapatkan pelecehan. Hal menarik lainnya adalah lebih dari sepertiga peserta menilai bahwa jalan damai dapat digunakan untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual. Juga baru sepertiga peserta yang telah menangani kasus kekerasan seksual menggunakan UU TPKS, meski telah disahkan lebih dari 1 tahun yang lalu. Harapannya, pelatihan yang akan berlangsung selama beberapa minggu ke depan dapat meningkatkan perspektif HAM, gender, dan interseksionalitas peserta yang merupakan garda terdepan dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual maupun memberikan pelindungan dan pemulihan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual.


Pertanyaan / Komentar: