Komnas Perempuan pada tanggal 21-23 November melakukan serangkaian konsultasi dengan para pihak di Timor Leste yaitu; Centro Nacional Chega (CN) yang merupakan lembaga yang pemerintah Timor Leste untuk menyelenggarakan reparasi mendesak bagi korban pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi pada periode 1974-1999. Selain itu, Komnas Perempuan juga bertemu dengan Provedoria dos Direitos Humanos e Justiça(PDHJ), lembaga negara yang menyelenggarakan tugas-tugas pemantauan terhadap penyelenggara administrasi negara dan hak asasi manusia (HAM) atau Ombudsman Hak Asasi Manusia, dan diskusi dengan organisasi perempuan tentang situasi perempuan dan kekerasan korban kekerasan dan pelaksanaan penanganannya. Tidak hanya itu, Komnas Perempuan juga menghadiri reuni Stolen Children sebanyak 7 (tujuh) orang yang akan bertemu dengan keluarganya di Timor Leste sejak terpisah pada era 1974-1999, dan pertemuan dengan penyintasi korban kekerasan seksual di Distrik Ainaro.
Kehadiran Komnas Perempuan dalam rangkaian konsultasi dan diskusi terkait upaya-upaya pemulihan bagi korban kekerasan seksual peristiwa pelanggaran HAM masa lalu dan gambaran/peta gerakan perempuan di Timor Leste tentang penanganan perempuan korban kekerasan baik dalam lingkup domestik, publik dan negara. Pertemuan dengan CNC diterima langsung oleh Direktur CNC Hugo Maria Fernandes di kantor CNC, Dili. Hugo menyampaikan bahwa saat ini CNC tengah mengembangkan sejumlah program diantaranya materi pendidikan sejarah tentang pelanggaran HAM termasuk kekerasan seksual di tingkat Perguruan Tinggi, melakukan pelatihan bagi guru kerjasama dengan Kementrian Pendidikan, serta advokasi administrasi kependudukan bagi anak-anak korban kekerasan seksual pelanggaran HAM masa lalu yang sulit memperoleh akta kelahiran. Saat ini, CNC juga sedang mendorong adanya Undang-Undang Reparasi bersama Asia Justice and Rights (AJAR).
Selain CNC, Komnas Perempuan juga melakukan konsultasi dengan PDHJ. Hasil konsultasi menemukan sejumlah gambaran menarik terkait perkembangan pemenuhan hak asasi manusia di Timor Leste diantaranya, bahwa saat ini PDHJ sedang mendorong judicial review atas UU Perkawinan yang dianggap diskrimintatif terhadap kelompok agama selain katholik. UU Perkawinan saat ini hanya mengakui pernikahan katholik untuk mendapatkan pencatatan negara, dan kebijakan tentang alat kontrasepsi yang hanya diperuntukan bagi pasangan menikah dan dicatatkan oleh negara dan pasangan perempuan yang hendak menggunakan alat kontrasepsi harus atas persetejuan suami. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, sebagaimana disampaikan ketua PDHJ Virgilio da Silva Gutteres. Tantangan lain terkait penegakan hukum di Timor Leste yaitu terbatasnya jumlah aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim dan tidak berbanding dengan jumlah kasus yang harus diproses termasuk kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi ini sangat berpotensi terjadinya delay in justice yang menyebabkan tertundanya atau terhambatnya pemenuhan pada hak-hak korban.
Bersama sejumlah CSO, gambaran serupa juga disampaikan oleh pendamping korban, bahkan karena merasa tidak ada kepastian menyebabkan sejumlah kasus termasuk kekerasan seksual diselesaikan di tingkat masyarakat melalui mediasi. Situasi lain yang juga dihadapi perempuan Timor Leste yaitu perkawinan adat yang kerap membuat perempuan rentang mengalami kekerasan berulang karena dianggap menjadi milik suaminya dan keluarganya setelah mereka membayar mas kawin (belis), selain kekerasan berbasis syber yang makin marak namun belum ada perangkat hukum atau mekanisme yang siap meresponnya. Situasi tersebut disampaikan baik PDHJ maupun organisasi pendamping korban yaitu ALfeLa dan Judicial System Monitoring Program (JSMP) yang aktif sebagai pendamping korban baik untuk dukungan psiko sosial maupun proses peradilan.
Selain konsultasi dengan para pihak diatas, Komnas Perempuan juga bertemu dengan penyintas korban kekerasan seksual di Distrik Ainaro dan mendengar langsung kondisi mereka yang saat ini tengah menjalankan program Bukae untuk pemulihan mereka bersama AJAR. Komnas Perempuan juga turut menghadiri reuni 7 (tujuh) orang Stolen Children di kantor CNC yang diiniasi oleh AJAR. Pada kesempatan tersebut, Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan menyampaikan bahwa kedua inisiatif ini harus diapresiasi setinggi-tingginya dan menjadi isu penting untuk ditindaklanjuti oleh Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM Nasional dan rekomenasi laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste tahun 2007.