Mengingat
pentingnya menyosialisasikan Concluding Observation CEDAW khususnya terkait isu kekerasan terhadap
perempuan, konflik Sumber
Daya
Alam
(SDA), kebijakan diskriminatif serta tanggapan publik terkait
pengawalan terhadap rekomendasi, Komnas Perempuan menggelar diskusi publik
dengan tema “Sosialisasi, Tanggapan dan Tindak Lanjut Kesimpulan Pengamatan
Komite CEDAW tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Kebijakan Diskriminatif dan
Konflik SDA” pada Rabu, 08 Desember 2021 dengan mengundang narasumber Rainy M.
Hutabarat (Komisioner Komnas Perempuan), Satyawanti Mashudi (Komisioner Komnas
Perempuan), Martha Hebi (Penulis dan Pegiat Kemanusiaan), Amelia Puhili
(Yayasan Pusaka Bentala Rakyat) Valentina Ginting (Kementerian PPPA) hingga
Arieska Kurniawaty (Solidaritas Perempuan).
Alimatul Qibtiyah dalam pembukaannya menyampaikan bahwa pada tanggal 15
November 2021
Komite CEDAW telah mengeluarkan
concluding observation terhadap
laporan yang sudah dilakukan oleh pemerintah, sehingga diskusi ini bertujuan untuk mencermati dan menggali lebih dalam
dari concluding
observation
yang telah dilakukan oleh Komite CEDAW untuk
mengawal implementasi CEDAW di Indonesia demi menjadikan situasi yang lebih
kondusif terhadap upaya penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan upaya pemenuhan hak-hak
perempuan
Rainy M. Hutabarat dalam pemaparan materinya,
menyampaikan terkait hasil dari concluding observation yang telah dilakukan, di mana Komite CEDAW mencatat
bahwa terdapat 421
perda diskriminatif terhadap perempuan seperti kewajiban
menggunakan jilbab, adanya RUU KUHP
yang mengkriminalkan hubungan
seks diluar perkawinan yang berpotensi untuk mendiskriminasi kaum minoritas
seksual, adanya pembatasan hak kesehatan reproduksi dari perempuan, adanya
wewenang pemda untuk mengeluarkan peraturan
yang mengkriminalkan perilaku seksual tertentu berdasarkan hukum adat, hingga terkait pembatasan
umur minimal untuk perempuan pekerja migran yang tidak berdasarkan hukum nasional namun sesuai
dengan negara tujuan. Sehingga terkait rekomendasi Komite CEDAW kepada pihak negara, yakni seperti merevisi
kebijakan yang bersifat diskriminatif dalam skema
waktu yang jelas, menjamin bahwa RUU KUHP tidak
mendiskriminasi perempuan, hingga dalam proses penyusunan melibatkan secara penuh partisipasi perempuan, mengingat sejak
2007 Komnas Perempuan memantau
kebijakan diskriminatif, di
mana pada tahun 2009 terdapat 154 kebijakan, kemudian melonjak
pada 2019 menjadi 421 kebijakan. Tanggapan
Komnas Perempuan terkait rekomendasi tersebut yakni Komnas
Perempuan mendukung untuk merevisi perda yang diskriminatif dalam skema waktu yang ditetapkan dengan jelas, peningkatan
koordinasi lintas kementerian untuk melakukan percepatan langkah-langkah,
pembentukan tim ad hoc dengan tugas
mengulas penanganan kebijakan diskriminatif agar dapat
ditindaklanjuti oleh pemda, hingga menguatkan mekanisme
judicial review di MA.
Menyambung pembicara pertama, Satyawanti Mashudi
menyampaikan terkait
kekerasan berbasis gender kepada perempuan di mana Komite
CEDAW sangat concern terkait kenaikan kasus yang terjadi kepada kelompok marginal khususnya selama pandemi, mengingat terdapatnya hambatan seperti pendefinisian
perkosaan yang sangat terbatas di KUHP sehingga
terjadi kesulitan dalam upaya pemenuhan keadilan, adanya kebijakan mengkriminalkan
korban KBGO melalui adanya pasal karet UU ITE dan pornografi, keterlambatan pengesahan
RUU TPKS, hingga kurangnya SDM dalam program terpadu untuk
penaganan
korban kekerasan seksual. Sehingga Komite CEDAW merekomendasikan
untuk segera mengamandemen KUHP, UU PKDRT, maupun kebijakan lain yang relevan yang dalam pelaksanaannya
berpotensi mengkriminalisasi perempuan, termasuk dengan mengamandemen
UU ITE dan pornografi yang juga untuk memastikan
bahwa korban KBGO tidak dikriminalisasi. Sehingga rekomendasi yang bisa diberikan yakni: mengalokasikan sdm, financial, maupun technical
yang memadai untuk rumah aman bagi korban serta mengimplementasikan
secara efektif layanan terpadu
terutama untuk rural
area, serta memastikan bahwa korban memiliki akses yang adil baik pemulihan
psikis hingga pemberian bantuan hukum. Kemudian tanggapan
Komnas Perempuan terkait hal ini yakni mendukung secara penuh dan
memberi penekanan kepada DPR terkait revisi RUU
PKS maupun revisi KUHP, mendukung sepenuhnya
revisi UU ITE dan UU Pornografi agar tidak mengkriminalisasi perempuan korban KBGO hingga mendukung terhadap rekomendasi untuk
menolak praktik terapi konversi terhadap kelompok minoritas
seksual. Dalam hal ini, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi, yakni meningkatkan
kesadaran perempuan tentang hak mereka dan cara mengaksesnya, memberikan
pelatihan kepada para APH agar terdapat budaya hukum yang mendukung kesetaraan
perempuan, bekerjasama dengan lembaga pemulihan korban, hingga mengintegrasikan
kerja-kerja sistem peradilan pidana dengan sistem layanan pemulihan korban.
Martha Hebi menyampaikan terkait kekerasan berbasis budaya,
seperti persoalan kawin tangkap, praktik perkawinan
anak dan perjodohan, yang bahkan terjadi dalam
hubungan kekerabatan serta dianggap sebagai suatu hal yang wajar, hingga dilakukannya kekerasan seksual, serta praktik perbudakan tradisional
kepada perempuan yang diakibatkan oleh adanya strata sosial, khususnya di
daerah Sumba yang masih sangat kental praktiknya, namun mirisnya, banyak data terkait perkawinan tangkap hingga perjodohan yang tidak tercatat, sehingga penting untuk dilakukan upaya edukasi baik melalui kampanye, menulis
hingga mempublikasikan terkait praktik tersebut sehingga publik akan lebih concern, kemudian dengan cara
melaksanakan
dialog dengan tokoh adat bahkan tokoh adat
perempuan, memberikan ruang
bicara untuk para penyintas, serta memberikan dukungan
psikologi baik untuk penyintas maupun
pendamping korban. Lebih dari itu, juga membentuk jejaring serta menelusuri
motif pelaku untuk dijadikan bahan dalam mengedukasi, hingga upaya peningkatan kesadaran
terhadap APH.
Arieska
kurniawati menyampaikan bahwa berdasarkan catatan pada tahun 2020,
dalam peta sebaran kasus agraria yang ditangani oleh Solidaritas Perempuan,
terjadi berbagai konflik SDA, seperti kasus penghancuran dan penguasaan sumber
air, kasus konflik lahan, kasus pembangunan pembangkit listrik tenaga air,
konflik tanah adat, dari catatan monitoring,
terdapat tren peningkatan kasus konflik SDA, khususnya yang dihadapi oleh
perempuan, bahwa perempuan tidak hanya berhadapan dengan kuasa korporasi,
bahkan juga berhadapan dengan BUMN yang notabene nya negara juga punya tanggung jawab untuk menghormati serta melindungi hak
asasi perempuan. Namun berdasarkan peta sebaran, menandakan bahwa Pemerintah
masih mempertahankan konsep perkebunan skala besar warisan kolonial, yang
berkeyakinan bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian maupun
perkebunan, perlu konsep skala besar yang artinya perempuan tidak punya kuasa
baik dari modal maupun pengetahuan untuk memproduksi pangan dalam skala besar,
hal ini merupakan konsep patriarki yang berkeyakinan bahwa kuasa modal dan
pengetahuan dipercayakan kepada korporasi yang berskala besar. Dimana dengan
adanya berbagai konflik agraria inilah, berdampak negatif secara berlapis
terhadap perempuan, namun ketika perempuan berada di garis depan untuk
mempertahankan haknya, maka yang didapat adalah kekerasan oleh aparat, kemudian
apabila diadakan proses resolusi konflik, maka perempuan juga tidak dilibatkan
dalam proses diskusi.
Lebih lanjut, Amelia Puhili menyampaikan bahwa masih
terdapat keterbatasan perempuan dalam mendapatkan hak sebagai masyarakat adat,
berkaitan dengan investasi, perempuan juga sebagai kelompok yang paling
terdampak, mengingat perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan,
serta rentan terhadap kekerasan seksual, termasuk dalam kasus yang terjadi
kepada masyarakat adat di Papua. Valentina Ginting sebagai pembicara terakhir
menyampaikan bahwa banyak hal yang perlu menjadi catatan, baik terkait
kebijakan diskriminatif, kekerasan berbasis gender hingga konflik sosial, untuk
itulah dalam hal ini pemerintah melakukan berbagai upaya yang difokuskan untuk
perlindungan dan pemberdayaan perempuan, baik melalui rapat koordinasi, rencana
aksi nasional, memperkuat literasi digital, pemberian pelayanan rujukan akhir,
hingga MoU dengan pemerintah daerah untuk bersama-sama berkomitmen dalam upaya
pemenuhan hak-hak perempuan. Sehingga langkah yang
proaktif dan berkelanjutan untuk menghapus nilai-nilai patriarki sangat diperlukan secara maksimal oleh banyak pihak, baik
melalui penghapusan
kebijakan diskriminatif untuk memastikan
kebijakan yang responsif gender serta
penguatan daya dukung untuk penindaklanjutan kasus kekerasan dan pemulihan
kondisi korban dapat diupayakan secara komprehensif.