Diskusi Publik dan Pameran 21 Tahun Peringatan Mei ‘98
“Perempuan dan Gerakan Sosial di Indonesia”
Pengantar
Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan
Gerakan Perempuan dan Tantangan Otoritarianisme
Ruth Indiah Rahayu, peneliti Inkrispena
Pembangunan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Sipil
Sri Palupi, peneliti Ecosoc Institute
Peran dan Pengaruh Lembaga Donor Bagi Gerakan Sosial di Indonesia
Iswanti, peneliti
Gedung Juang ‘45,
16 Mei 2019
PENGANTAR DISKUSI Peringatan 21 Tahun Reformasi Mei’ 98
“Perempuan dan Gerakan Sosial di Indonesia”
Gedung Joeang 45, Cikini, Jakarta. Kamis, 16 Mei 2019
Gerakan sosial sejak sebelum reformasi hingga kini tidak dapat melepaskan peran besar gerakan perempuan. Apa yang disebut “people power” atau kekuatan rakyat pada waktu itu tidak hanya narasi yang menggambarkan tentang “massa yang berkumpul”, melainkan masyarakat baik kelompok, individu, akademisi, aktivis, ikut mengambil peran. Kelompok perempuan pada waktu itu menjadi bagian penting dalam Gerakan Sosial dalam narasi besar tentang “people power” tersebut. Baik dalam hal menyuarakan kepentingan perempuan dalam krisis ekonomi dan politik, maupun dalam gagasan tentang reformasi yang penting untuk melibatkan perempuan. Selain Suara Ibu Peduli, sebenarnya terdapat gerakan-gerakan yang tak tampak diliput oleh media, diantaranya pembentukan Women Crisis di berbagai daerah, terutama sejak terjadinya perkosaan massal dalam Tragedi Mei ‘98. Gerakan Sosial diantaranya pembentukan Tim Relawan untuk Kemanusiaan juga diperankan oleh para perempuan, termasuk dalam Tim Gabungan Pencari Fakta, dalam tiga tragedi bangsa pada waktu itu, yaitu kerusuhan Mei ‘98, penculikan dan penghilangan paksa, serta penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi.
Dalam diskusi-diskusi tentang reformasi kita jarang menemukan nama-nama perempuan yang menjadi narasumber, dalam ide dan gagasan, dalam analisis dalam sejarah perubahan. Diskusi ini adalah salah satu upaya untuk mengintegrasikan narasi perempuan di dalam narasi sosial maupun kebangsaan. Oleh karena itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terpanggil untuk mengadakan forum diskusi para aktivis perempuan, tentang peta gerakan masyarakat sipil yang di dalamnya terdapat gerakan perempuan, dalam kerangka HAM dan Demokrasi, serta kondisi masyarakat sipil, sepanjang 20 tahun reformasi, serta masalah-masalah apa saja yang kita hadapi dalam rentang dua dasawarsa tersebut. Tidak jarang di dalamnya kita akan menemukan masalah kekerasan terhadap perempuan, yang bertumpang tindih dalam situasi politik dan ekonomi.
Problem tersebut perlu direntangkan, dibuat pemetaan, untuk menjawab masalah-masalah di masa depan, untuk memberikan kontribusi positif bagi bangsa ini, siapapun kepemimpinannya nanti. Melalui pemetaan tersebut, Komnas Perempuan sebagai Lembaga Negara Hak Asasi Manusia yang lahir dari masyarakat sipil perempuan yang menuntut pemerintah untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta dalam kasus perkosaan, dalam problem-problem dan kendala yang terjadi, menetapkan diri dalam menjalankan mandatnya, untuk menentukan peran apa yang perlu dilakukan di masa depan.
Komnas Perempuan dari hasil forum diskusi tersebut menetapkan tiga peneliti, aktivis sekaligus penulis dalam pemetaan ini, yaitu Ruth Indiah Rahayu, Sri Palupi dan Iswanti. Ruth Indiah Rahayu dan Sri Palupi adalah dua aktivis serta peneliti yang pernah menjadi bagian dari asistensi Tim Gabungan Pencari Fakta, yang memiliki pengalaman langsung dengan Tragedi Mei ‘98. Ruth Indiah Rahayu akan bicara tentang agenda politik, konsolidasi serta peta gerakan perempuan, sementara Sri Palupi dari segi kondisi ekonomi, budaya, dan kebijakan pembangunan baik negara maupun masyarakat sipil dalam kerangka Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Sementara Iswanti, adalah juga peneliti dan aktivis yang telah lama mendalami seluk-beluk lembaga donor serta kepentingannya, akan membagi pengalaman peta politik donor dan posisi mereka terhadap negara maupun masyarakat sipil. Politik donor ini muncul dalam forum diskusi karena memiliki peran tersendiri dalam mempengaruhi negara maupun masyarakat, termasuk dalam problem krisis yang terjadi di Indonesia.
Diskusi ini akan membawa “mau kemana gerakan sosial kita?” dan sejumlah refleksi-refleksi yang perlu kita bagi dalam rangka peringatan Mei 98 tahun ini. Hasil diskusi ini adalah awal dari rencana penerbitan buku “pemetaan gerakan masyarakat sipil dan peran Komnas Perempuan” yang akan diluncurkan ke depan sebagai dokumen penting Komnas Perempuan di tahun 2019 ini, untuk menentukan sikap secara jernih kepada pemerintahan apapun dan siapapun yang akan memimpin bangsa yang kita cintai ini.
Mariana Amiruddin, M. Hum
Komisioner-Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat
Komnas Perempuan
Gerakan Perempuan dan Tantangan Otoritarianisme
Ruth Indiah Rahayu
Gerakan perempuan Indonesia yang bangkit sejak dekade 1980-an berada dalam titik konsolidasi nasional yang solid pada akhir dekade 1990-an. Apa yang dimaksud “gerakan perempuan” adalah momentum terjadinya konsolidasi pelbagai organisasi perempuan untuk agenda politik yang sejalan. Ada dua jenis agenda politik yang diperjuangkan gerakan perempuan, yaitu agenda politik perempuan dan agenda politik yang bersifat umum sebagai warga negara.
Agenda politik perempuan berhubungan dengan ketidakadilan berbasis gender, baik dalam ranah privat maupun publik. Dalam relasi-relasi personal, keluarga, masyarakat maupun negara. Di antara semua masalah itu yang khas perempuan adalah mengenai kekerasan terhadap (seksualitas) perempuan. Ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan pada masa dekade 1980-1990 dihadirkan oleh otoritarianisme/militerisme Orde Baru dalam strategi politik nasionalnya. Itu sebabnya konsolidasi gerakan perempuan tidak hanya mengangkat ketidakadilan berbasis gender maupun kekerasan terhadap perempuan, melainkan pada akhirnya berujung pada perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.
Secara ideologis, hal yang mengonsolidasikan kebangkitan gerakan perempuan pada masa itu adalah melawan ideologi gender Orde Baru (ibuisme-negara) yang terumuskan dalam Panca Dharma Wanita. Ideologi ini masuk ke dalam strategi politik nasional guna membungkam radikalisasi politik perempuan. Itu sebabnya aktivitas berorganisasi bagi perempuan disubordinasikan seturut pekerjaan dan jabatan suami.
Secara politik, konsolidasi gerakan perempuan di dalam negeri mendapat penguatan atau legitimasi dari konferensi-konferensi internasional yang diselenggarakan PBB. Dalam situasi negara melarang perempuan berpolitik kritis, maka mandat konferensi internasional semacam itu dapat menjadi legitimasi bagi aktivis perempuan untuk bergerak. Kedua konferensi yang signifikan, pertama, adalah Konferensi Internasional HAM yang diselenggarakan di Wina (Austria) pada 1993 dan menghasilkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Kedua, adalah Konferensi Perempuan Internasional yang diselenggarakan di Beijing pada 1995 yang menghasilkan mandat untuk mengentaskan perempuan dari posisi marginalnya, baik akibat pembangunanisme (yang kapitalistik atau mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada kesejahteraan) maupun strategi politik nasional.
Perlawanan terhadap ideologi gender Orde Baru disertai penyadaran dalam bentuk training gender baik untuk perempuan maupun laki-laki. Training gender menjadi bagian dari agenda politik sejak awal dekade 1990-an. Aktivis perempuan lantas terkonsolidasi dalam jaringan kerja gender dalam skala daerah sampai nasional. Jaringan kerja ini melakukan sejumlah agenda politik perempuan di daerah dan nasional yang signifikan.
Adanya Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, membuat aktivis perempuan mempunyai legitimasi untuk mengungkap dan melawan masalah ini. Dimensi kekerasan terhadap perempuan dalam perkembangannya memperoleh fakta yang lebih luas. Masalah ini tak hanya terjadi dalam relasi antarpersonal, melainkan juga terjadi dalam relasi antara (aparatus) negara dan warga negara perempuan. Terungkapnya kekerasan seksual pada masa Perang Pasifik oleh Jepang terhadap perempuan Indonesia (jugun ianfu) pada 1942-1945 membuka wacana baru mengenai makna kekerasan. Untuk pertama kalinya, aktivis NGO (laki dan perempuan) mengungkap kejahatan perang ini ke ranah nasional dan internasional sekitar 1995. Sekali pun belum mengonsolidasi gerakan perempuan secara nasional, tapi jugun ianfu dapat dijadikan rujukan untuk menganalisis kekerasan seksual dalam operasi militer di Aceh dan Timor Leste.
Isu kekerasan terhadap perempuan benar-benar mengonsolidasi gerakan perempuan setelah Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Dari peristiwa ini lahir Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang pembentukannya mendapat restu dari Habibie selaku presiden yang menggantikan Soeharto. Komnas Perempuan selanjutnya menjadi sarana bagi pengungkapan kekerasan terhadap perempuan yang berdimensi struktural dan negara. Maka terungkaplah kekerasan seksual pada masa Tragedi 1965, kekerasan dalam konflik di Poso dan Papua, dimana kekerasan tersebut dikaitkan dengan pelanggaran hak sipil-politik. Selain itu berkaitan dengan pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya, terungkap pelbagai kasus dalam konflik sumberdaya alam, perburuhan, LGBT dan lainnya.
Meski belum sistematis dan terstruktur, aktivis perempuan telah melakukan pendampingan kepada keluarga korban (terutama ibu korban) kekerasan Orde Baru sejak kasus 27 Juli, penculikan mahasiswa (PRD), penangkapan mahasiswa (PRD), penembakan mahasiswa (Trisakti dan Semanggi) sampai kerusuhan Mei 1998. Pengalaman pendampingan korban ini mendorong lahirnya gerakan women’s crisis centre sejak 2000-an di beberapa daerah.
Agenda politik kedua yang mengonsolidasikan gerakan perempuan dan gerakan sosial adalah pada saat terjadi krisis ekonomi 1996. Krisis itu menyebabkan ketersediaan bahan pangan langka dan harganya tinggi. Maka terjadi kelaparan tersembunyi, terutama di kalangan keluarga miskin. Gerakan ibu peduli bangkit untuk menanggapi masalah tersebut, dan bersama dengan aktivis gerakan sosial lainnya membangun koperasi di kampung-kampung maupun di desa-desa. Gerakan ini sekaligus berupaya untuk memotong mata rantai distribusi pangan yang panjang dari petani ke konsumen. Pada masa pendudukan DPR-RI di Senayan oleh gerakan mahasiswa, gerakan ibu peduli mengonsolidasi ibu-ibu rumah tangga untuk membuka dapur umum dan menyuplai logistik bagi mahasiswa tersebut. Kiranya gerakan ini tak hanya di Jakarta, melainkan di sejumlah ibukota provinsi di Indonesia.
Agenda politik ketiga adalah memperjuangkan kuota 30 persen representasi perempuan dalam lembaga politik formal. Agenda ini merupakan mandat Kongres Perempuan pascareformasi di Yogyakarta, 22 Desember 1998. Sejak Pemilu 1999, gerakan afirmatif untuk kuota 30 mengonsolidasi gerakan perempuan secara nasional. Hasil yang terpenting adalah merevisi UU Pemilu memastikan jaminan kuota 30 persen bagi representasi perempuan
***
Agenda politik melawan kekerasan terhadap perempuan telah berhasil menjadi hub (simpul) yang mengonsolidasi gerakan perempuan sebelum reformasi. Namun, sesudah reformasi, simpul konsolidasi beralih kepada gerakan peningkatan representasi perempuan di parlemen. Ada harapan, peningkatan representasi perempuan di parlemen akan menjawab masalah penghapusan ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Ternyata, persentase keterwakilan perempuan di parlemen cenderung menurun, meski partisipasi perempuan untuk menjadi caleg semakin meningkat. Sementara spektrum ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks terjadi di lokal-lokal. Artinya gerakan peningkatan representasi perempuan masih sebatas mengejar kuantitas kehadiran perempuan dalam politik dan belum dapat menjawab persoalan perempuan secara kaulitatif.
Gerakan peempuan setelah 2004-an mengalami divergensi. Organisasi perempuan tidak hanya dalam bentuk NGO perempuan, melainkan telah tumbuh serikat-serikat berbasis sektoral di lokal-lokal. Serikat-serikat ini cukup aktif dalam melawan problem-problem sektoral, seperti perburuhan, kepertanian, krisis ekologi, LGBT, masalah keberagaman, dan lainnya. Selain itu juga problem teritorial sebagai warga yang mengalami perampasan tanah, menuntut jaminan sosial di tingkat kabupaten, dan sebagainya. Cukup menarik, gerakan perempuan tersebut mengalami konvergensi atau konsolidasi nasional kembali saat menghadapi tantangan RUU Pornografi dan Pornoaksi sekitar 2006 dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual 2018-2019. Rupanya isu kekerasan terhadap perempuan sampai sekarang mempunyai daya dalam mengonsolidasi aktivis dan organisasi perempuan secara nasional (lintas sektor dan teritorial).
Kini tantangan baru gerakan perempuan hadir di depan mata. Sejak beberapa tahun belakangan ini telah tumbuh kekuatan yang berupaya untuk membalikkan isu-isu yang diperjuangkan gerakan perempuan. Kekuatan ini mengatasnamakan agama dan melancarkan wacana pro poligami, antifeminis, kesetaraan gender yang syariah, membangun keluarga yang syariah (memfitnah bahwa feminis itu anti keluarga), perkawinan muda “Yes”, RUU PKS = perzinahan, dan lainnya. Dalam pola sejarah Indonesia, munculnya kekuatan anti feminis kerapkali ditujukan untuk penjinakan perempuan. Penjinakan perempuan adalah modus politik otoritarian, atau lebih jauh politik fasis. Jika para perempuan terjinakkan, dirinya dengan mudah dapat dimobilisasi ke dalam pelbagai kepentingan merawat dan men-generasi massa.
Pembangunan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Sipil
Sri Palupi, peneliti Ecosoc Institute
Dua puluh tahun reformasi sudah kita lalui. Sudah semestinya kita berhenti untuk menengok ke belakang agar dapat menentukan langkah ke depan. Apa saja yang sudah kita capai sepanjang 20 tahun perjalanan ini, problem dan tantangan apa yang tengah kita hadapi dan bagaimana kita menghadapi masa depan dengan problem dan tantangan tersebut. Berikut adalah bacaan saya atas kondisi pembangunan, demokrasi, HAM dan masyarakat sipil sepanjang 20 tahun reformasi.
Pembangunan
Deklarasi PBB tanggal 4 Desember 1986 tentang Hak Atas Pembangunan mendefinisikan pembangunan sebagai suatu proses ekonomi, sosial, budaya dan politik yang komprehensif, yang ditujukan untuk perbaikan terus menerus kesejahteraan masyarakat dan semua individu, didasarkan pada partisipasi aktif, bebas dan bermakna dari individu dan masyarakat dalam pembangunan dan distribusi yang adil atas manfaat pembangunan. Deklarasi Vienna (1993) oleh 171 negara menegaskan bahwa pencapaian tujuan pembangunan menuntut implementasi dari hak asasi manusia dalam spektrum yang utuh, mencakup hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, sebagaimana tertuang dalam hukum internasional hak asasi manusia. Yang terjadi, 20 tahun reformasi tidak mengubah cara pandang Indonesia terkait pembangunan. Pembangunan, pembangunan ekonomi dan pertumbuhan terus disamaartikan.
Di era reformasi paska jatuhnya Soeharto, ekonomi Indonesia banyak dipuji dunia internasional. Sebab di saat dunia mengalami krisis, perekonomian Indonesia dinilai tetap baik. Secara ekonomi, Indonesia merupakan bagian dari negara berpenghasilan menengah papan bawah yang telah mengalami pertumbuhan ekonomi sejak krisis keuangan pada tahun 1998. Status sebagai negara dengan penghasilan menengah papan bawah masih bertahan hingga sekarang. Indonesia juga menjadi anggota G-20, satu-satunya dari Asia Tenggara.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tren pelambatan. Pada era 1970-an, pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun. Tahun 1990-an, pertumbuhannya rata-rata 7% per tahun. Selanjutnya, pada era 2000-an, lajunya melambat menjadi rata-rata 6% per tahun. Sejak 2012 sampai sekarang, rata-rata 5% per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun, Indonesia terancam masuk dalam perangkap negara berpendapatan menengah. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat karena berbagai persoalan, di antaranya adalah: (1) Pertumbuhan ekonomi yang melambat; (2) Pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas; (3) Ketimpangan ekonomi yang buruk; (4) Pengurangan kemiskinan yang lambat dan tingginya jumlah rumahtangga yang berada di sekitar garis kemiskinan; (5) Korupsi; (6) Degradasi lingkungan dan tantangan perubahan iklim.
Otonomi daerah yang merupakan salah satu capaian penting Indonesia paska jatuhnya Soeharto tidak mencapai sasaran. Otonomi daerah dimaksudkan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam membangun daerahnya yang selama ini didikte oleh pusat. Otonomi daerah yang dimaksudkan agar program pembangunan dapat menjawab kebutuhan masyarakat di daerah justru dijadikan sasaran untuk kepentingan kekuasaan politik. Peningkatan dana yang di transfer ke daerah tidak disertai dengan kualitas belanja daerah yang baik. Dampaknya, otonomi daerah tidak berhasil mengoreksi ketimpangan.
Pembangunan di sektor layanan publik berhasil meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Namun peningkatan IPM ini sifatnya semu karena tidak menggambarkan ketimpangan layanan publik antar daerah, rendahnya kualitas layanan publik terutama di daerah-daerah tertinggal dan terpencil dan rendahnya akses terhadap layanan publik pada kelompok rentan, yaitu perempuan, kelompok minoritas dan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil. Kualitas layanan publik tetap rendah dan tidak memadai.
Kerjasama internasional terkait pembangunan terwujud dalam bentuk utang, hibah, dan program-program yang langsung dijalankan lembaga internasional bersama mitranya. Kerjasama pembangunan dalam bentuk utang menunjukkan bahwa sebagian besar (71,4%) proyek yang dibiayai dengan dana utang tidak terkait langsung dengan kebutuhan dasar rakyat dan dilihat dari area proyeknya condong terfokus di Jawa dan Sumatera. Sementara dana hibah condong untuk proyek-proyek yang langsung terkait dengan hak dasar warga. Sementara program lembaga internasional terkonsentrasi untuk proyek kesehatan dan tanggap darurat bencana. Dana untuk penguatan pelaksanaan HAM dan penguatan masyarakat sipil sangat kecil. Sementara tak tampak ada program penguatan masyarakat sipil pada dana utang dan hibah.
Demokrasi dan HAM
Indonesia telah mengalami perubahan signifikan sejak pergantian rezim tahun 1998 dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. Namun dalam perkembangannya Tak ada peningkatan dalam kualitas demokrasi dan kualitas pelaksanaan hak asasi manusia. Instrumen yang dibutuhkan untuk melaksanakan HAM secara normatif sudah memadai, namun penerapan norma dan standard HAM masih sangat lambat dan bahkan terjadi kemunduran. Pemerintah memang sudah meratifikasi berbagai instrumen HAM, namun pemerintah tidak sepenuhnya menerima norma dan standard HAM. Bahkan pemerintah masih meragukan UNIVERSALITAS HAM. HAM dipahami dan diterima secara setengah hati. Ini bisa dinilai dari beberapa indikasi berikut: (1) Dalam RANHAM masih ditekankan pertimbangan nilai-nilai agama, budaya, adat istiadat; (2) RANHAM dibuat bukan mengacu pada norma dan standard HAM melainkan pada UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yg memuat 10 hak dasar. Padahal pemerintah sendiri sudah menyatakan akan mengharmonisasikan UU tersebut sesuai dgn standard HAM; (3) Hambatan pelaksanaan HAM dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain tak juga berubah, yaitu rendahnya pemahaman dan kesadaran akan kewajiban negara terhadap HAM; (4) Kegiatan RANHAM dibuat tidak didasarkan pada persoalan HAM yang riil dihadapi; (5) Pelaksanaan HAM tidak diintegrasikan dalam program kementerian dan lembaga melainkan diisolir dalam sebuah RANHAM dan dilaksanakan dengan dana dan personil yang terbatas. Tak ada mainstreaming HAM dalam program kementerian dan lembaga; (6) Pelanggaran HAM terus terjadi dan impunity terhadap pelaku pelanggaran HAM terus berulang.
Pelanggaran HAM terjadi dalam berbagai bentuk: pembatasan kebebasan berpendapat dan bereskpresi, perampasan aset ekonomi rakyat dengan kekerasan, kriminalisasi warga yang memperjuangkan haknya terus terjadi. Kriminalisasi dan pembatasan kritik dengan menggunakan UU ITE semakin mengkhawatirkan. Tak tampak adanya keberpihakan politik pada pengungkapan kejahatan HAM masa lalu dan upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa kini dan yang akan datang. Kondisi ini diperburuk dengan bangkitnya politik identitas dan konservatisme berbasis agama yang memecah belah masyarakat, menguatnya peran militer dan polisi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan disahkannya UU MD3 yang membatasi kritik terhadap DPR. Dalam hal pelaksanaan hak ekonomi, sosial, budaya juga masih banyak persoalan dan dalam beberapa komponen hak juga mengalami kemunduran.
Ke depan pelaksanaan HAM – termasuk hak ekonomi, sosial, budaya tidak akan banyak berubah, mengingat orientasi kebijakan ekonomi dan pembangunan serta indikatornya juga tak berubah. Kebijakan ekonomi dan pembangunan serta tolok ukur untuk menilai keberhasilannya masih akan tetap berbasis pada uang dan bukan HAM. Universalitas HAM juga masih akan terus dipertanyakan. Agenda dan gerakan HAM akan terus terdesak ke pinggiran dan nilai-nilai HAM akan tetap menghadapi ancaman. Sebab pemerintah akan terus menggenjot investasi dan menarik investor tapi miskin upaya dan bahkan mengabaikan kewajiban pokoknya terhadap HAM. Lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi pelanggar HAM, maraknya korupsi dan kebijakan ekonomi yang tidak berbasis pada pelaksanaan HAM akan terus berdampak pada tingginya kasus pelanggaran HAM oleh pelaku bisnis yang didukung oleh negara.
Kondisi Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil merupakan pilar penting dalam proses demokratisasi di Indonesia. Jatuhnya Soeharto pada Mei 1998 dan berlangsungnya proses transisi demokrasi tidak terlepas dari peran masyarakat sipil, termasuk di dalamnya NGO. Dengan jatuhnya Soeharto dan terbukanya ruang politik di era reformasi, membuka peluang bagi munculnya banyak organisasi masyarakat sipil, seperti serikat buruh, kelompok-kelompok perempuan, organisasi komunitas, organisasi berbasis etnis, organisasi profesi, organisasi berbasis agama, ormas, NGO, organisasi yang berafiliasi dengan partai politik, dan lainnya. Meningkatnya jumlah NGO juga tidak terlepas dari pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi) dan pemilihan kepala daerah langsung yang sudah berlangsung tahun 2000-an. Namun tumbuhnya masyarakat sipil ini juga disertai dengan meningkatnya tantangan yang dihadapi.
Sepanjang 5-10 tahun terakhir sektor NGO mengalami banyak perubahan. Ada fenomena pergeseran peran yang terjadi pada NGO. Pada masa reformasi, pertumbuhan jumlah dan keragaman NGO membuat NGO menjadi salah satu alternatif lapangan pekerjaan bagi kaum muda. Paska reformasi, NGO menjadi lahan perekrutan kader-kader partai politik dan pintu masuk ke dalam ruang-ruang politik kekuasaan. Sektor NGO yang menjadi jantung masyarakat sipil kian bergeser menjadi ruang “abu-abu”. Di NGO orang bisa bermain di antara dua ruang: ruang masyarakat sipil/NGO dan ruang politik kekuasaan (partai dan birokrasi.
Paska reformasi ada perubahan signifikan terhadap kondisi NGO, di antaranya adalah (1) Pergeseran relasi NGO dengan pemerintah; (2) Pergeseran visi dan pilihan politik di kalangan NGO, di mana NGO tak lagi mempersoalkan sumberdana dan pendekatan yang dulu dikritiknya; (3) Menguatnya pendekatan berbasis proyek; (4) Menguatnya fragmentasi, melemahnya kerja jaringan dan konsolidasi NGO untuk kepentingan jangka panjang; (5) lemahnya regenerasi; (6) Lemahnya inovasi; (7) Lemahnya kerja berbasis data; (8) Pendanaan yang makin terbatas; (9) Lemahnya kapasitas NGO dalam menjawab tantangan yang semakin kompleks dan; (10) Berkurangnya relasi NGO dengan komunitas akar rumput, yang berarti juga melemahnya kerja-kerja pemberdayaan dan pengorganisasian komunitas akar rumput. Perubahan tersebut berbeda antara NGO di Jawa dan di luar Jawa. Di Jawa, semakin berkurang NGO yang bergerak di komunitas akar rumput untuk kerja-kerja pemberdayaan dan pengorganisasian, sementara di luar Jawa semakin berkurang NGO yang melakukan kerja advokasi kebijakan publik. Kondisi secara umum, NGO mengalami pelemahan.
Pelemahan tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal NGO. Kondisi internal, di antaranya adalah kapasitas SDM (termasuk kapasitas dalam membangun jaringan dan dalam pengelolaan pengetahuan serta kemampuan berinovasi), sumber pendanaan, visi dan pilihan politik NGO. Sementara kondisi eksternal adalah kebijakan lembaga donor dan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dan lembaga donor berdampak pada terbatasnya sumber pendanaan, terbatasnya peluang kemandirian NGO, terbatasnya visi, pilihan politik, pilihan program dan pendekatan, terbatasnya kerja-kerja dalam kerangka jangka panjang, dan hilangnya ruang refleksi dan konsolidasi untuk agenda strategis dan jangka panjang. Ke depan penting bagi NGO untuk mewujudkan ruang refleksi dan konsolidasi bersama, meredefinisi posisi NGO di hadapan pemerintah dan korporasi, dan penguatan kapasitas SDM dan organisasi ke arah kemandirian.
Peran dan Pengaruh Lembaga Donor Bagi Gerakan Sosial di Indonesia
Iswanti
Pengantar
Pertanyaan pertama yang diajukan kepada saya adalah, “Apakah ada peran lembaga donor dalam gerakan sosial? Apa perannya?” Pertanyaan lain yang diajukan adalah, apakah pengaruh lembaga donor dalam kerja-kerja organisasi masyarakat sipil kita? Apa tantangan ke depan bagi masyarakat sipil terkait persoalan donor?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sebenarnya bukan baru bagi beberapa kawan yang bekerja di gerakan sosial atau di lingkaran organisasi masyarakat sipil. Pertanyaan sekaligus bentuk kegelisahan itu selalu membayangi gerak, terkait peran lembaga donor yang “menentukan hidup dan mati’-nya dapur organisasi masyarakat sipil. Walaupun, “hidup-mati-nya organisasi organisasi masyarakat sipil tidak berarti hidup matinya gerakan sosial.
Lembaga donor telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari dinamika gerakan sosial di banyak negara, bukan hanya di Indonesia. Dulu, yang disebut sebagai “negara-negara dunia ketiga” atau “negara-negara miskin”, atau kemudian disebut sebagai negara-negara dengan ukuran “belum atau sedang berkembang”, dan kebanyakannya di Asia dan Afrika, yang menjadi langganan dari hadirnya lembaga-lembaga donor internasional. Program kegiatan yang didanai bisa dari membagi biscuit, selimut, membangun fasilitas kesehatan atau pendidikan, memberikan modal usaha kecil, pelatihan-pelatihan, beasiswa, hingga riset-riset.
Jumlah lembaga donor internasional yang ada di Indonesia jumlahnya bergerak ada pasang surutnya. Kementerian Luar Negri, yang selama ini menjadi pintu masuk hubungan kerjasama asing mencatat misalnya terdapat 129 INGO’s di tahun 2011, dan 66 INGO’s di data terbaru (2019 – website). Itu belum yang masuk lewat pintu Sekneg, Kemendagri, atau Bappenas. Selain pergerakan jumlah, juga terdapat pergeseran tema atau isu yang didukung oleh lembaga donor tersebut. Pergerakan isu atau sektor itu sendiri juga banyak dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri Indonesia. Bagaimana perbandingannya dengan jumlah LSM di Indonesia?
Organisasi Masyarakat Sipil dan Lembaga Donor Sebelum Reformasi 1998
Lembaga donor sebelum reformasi, khususnya pada zaman Orde Baru, tentu saja sangat dipengaruhi oleh kondisi politik yang diterapkan Soeharto. Masa Soeharto yang sering disebut sebagai masa pembangunan, lembaga donor internasional pun bergerak tidak jauh-jauh dari tema besar pembangunan itu. Bantuan atau hibah pembangunan mengalir dari berbagai lembaga donor, baik berupa pembangunan infrastruktur, fasilitas, atau layanan seperti pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan dan sebagainya. Bersamaan dengan bantuan, biasanya juga tawaran hutang. Selain bantuan multilateral seperti dari World Bank, ADB, lembaga UN, juga banyak bantuan kerjasama bilateral yang masa itu didominasi dari Amerika Serikat, baik dari Pemerintah Amerika Serikat langsung atau yang bukan pemerintah seperti USAID, The Ford Foundation, The Asia Foundation dsb. Kentara sekali bahwa bantuan-bantuan dari Amerika Serikat tersebut, sarat dengan muatan politis dalam wujud berbagai program untuk mendukung pembangunan, yang berkiblat kepada (kepentingan) Amerika.
Sementara itu, organisasi masyarakat sipil saat itu, orang mengenalnya dengan ormas atau belakangan mengenalinya juga dengan LSM, juga memiliki fokus pada pembangunan, yaitu pengembangan, pendampingan dan penguatan masyarakat di tingkat bawah (Bina Desa 1975, Bina Swadaya 1967, KSPPM Medan 1985), melalui pengembangan ekonomi – CU, koperasi dll). Di samping harus bertahan menghadapi politik Orba yang otoriter, lembaga-lembaga ini masih bersiasat untuk melakukan pendidikan kritis - untuk ‘mengritisi’ dampak model pembangunan dari rejim Orde Baru misalnya isu tanah, penggusuran dll. Mereka juga melakukan penguatan demokrasi/musyawarah di kalangan masyarakat, kaderisasi terhadap aktivis-aktivis penggerak masyarakat. Banyak lembaga donor dari Eropa yang memberi perhatian pada isu ini, dan memberikan hibah pada lembaga-lembaga ini, berasal dari lembaga donor yang agak berbasis tradisional agama misalnya Misserior atau lembaga dana sosial non-religius seperti HIVOS.
Pada pertengahan 80-an hingga tumbangnya Orde Baru, banyak organisasi masyarakat sipil yang lahir mengarah pada tuntutan pro-demokrasi dan HAM, bahkan mulai terbentuk jaringan-jaringan (INFID 1985) yang menandai gerakan berjejaring ornop yang bekerja untuk penguatan organisasi masyarakat sipil, pro-demokrasi dan HAM, transparansi. LBH dan YLBHI yang telah lahir sejak 70-an juga menjadi kekuatan besar sebagai lokomotif demokrasi melahirkan organisasi-organisasi semacam dengan spesifikasi tertentu. Banyak gerakan perempuan juga melahirkan organisasi perempuan yang beririsan dengan isu pro-demokrasi dan HAM dan bahkan lebih banyak lagi. Di balik semua kerja-kerja yang dilakukan organisasi masyarakat sipil itu, ada sumbangan besar dari para lembaga donor. Pendidikan kritis masyarakat melalui literasi, riset/kajian dll, dilakukan dengan banyak proyek bantuan cetak buku, penerjemahan, pembiayaan penelitian social dll. Pendirian LP3ES dan jurnal Prisma (1971) atas bantuan Friederich Nauman Stiftung; Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS 1977) yang didanai Ford Foundation.
Mulai masuknya isu gender/perempuan dalam pembangunan. Mendukung perkembangan dan implementasi isu-isu internasional – global terkait mandat PBB tentang perempuan. Misalnya: CEDAW (1979) – yang ditindaklanjuti Pemerintah Indonesia dengan ratifikasi CEDAW melalui UU No 27 tahun 1984, 24 Juli 1984, Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Setelah CEDAW, diikuti dengan konferensi besar tentang kependudukan (1994) dan Konferensi Perempuan Beijing 1995. Seiring dengan itu, kementrian peranan wanita (1978) – bersama Kemendagri – focus pada PKK, Posyandu, KB dan segala organisasi wanita. Pada awal 90-an mulai berdiri crisis centre untuk perempuan korban kekerasan (Rifka Annisa – 1993, Mitra Perempuan – 1995, LBH APIK 1995). Pada masa ini, di antara lembaga donor besar yang memainkan peran antara lain: UNDP, Ford Foundation, HIVOS, World Bank, AusAid, USAID, the Global Fund for Women, Unifem, Arrow, Asia Foundation, dsb. Munculnya gerakan perempuan – semangat feminis – dalam irisan dengan isu perempuan, demokrasi dan HAM – dengan pendidikan kritis dan pengorganisasian, seperti Kalyanamitra 1985, Solidaritas Perempuan 1990. Sumber lembaga donor: HIVOS, Ford Foundation, FES.
Pasca Reformasi 1998
Lembaga donor masih memiliki peranan cukup penting dan signifikan hingga beberapa waktu sesudah reformasi. Pemberlakuan Otonomi Daerah melalui UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah membuka lembaran baru bagi sistem pemerintahan di Indonesia, yang sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi, yang kemudian digantikan dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Perubahan ini juga membutuhkan perubahan di banyak bidang. Kesempatan ini menjadi perempuan untuk lebih masuk dalam ranah pembuatan kebijakan publik melalui politik di parlemen. Kuota 30% melalui UU No 31 tahun 2002- perempuan parlemen menjadi upaya perempuan masuk parlemen, mempengaruhi regulasi dan kebijakan dst. Untuk mendukung kuota 30% itu, pendidikan politik terhadap perempuan dan berbagai dukungan lainnya diberikan secara besar-besaran oleh banyak lembaga dana, termasuk juga lembaga-lembaga multilateral seperti UNDP, World Bank, dan berbagai lembaga UN lainnya.
Tsunami Aceh 2004, Gempa Yogya 2006 dan berbagai bencana alam berturut sesudahnya menjadikan Indonesia kembali menjadi perhatian internasional. Sebanyak 463 organisasi (dana) internasional dari berbagai level, dengan berbagai macam bantuan, dari masa tanggap darurat hingga rekonstruksi – pembangunan kembali. Dalam catatan, selain korban meninggal lebih dari 150 ribu, 700 ribu orang kehilangan tempat tinggal, total kerugian diperkirakan US$4.45 billion (Rp 41.4 trillion). Berbagai negara dan lembaga dana internasional memberikan bantuan untuk rekonstruksi dan pembangunan sebesar total US$7.7 billion.1 Pasca Tsunami Aceh dan berbagai bencana alam lainnya menggeser tema global, yang juga menggeser agenda lembaga donor, yaitu perubahan iklim dan lingkungan hidup.
Ketika lembaga donor mulai berkurang, dan agenda persoalan juga bergerak, beberapa isu baru yang cukup kuat muncul dan cukup mendapatkan perhatian cukup besar dan serius adalah isu tentang trafficking, pekerja migran, HIV-AIDS, LGBT, dan yang belakangan adalah tentang terorisme. Setidaknya isu-isu inilah, yang saat ini mendapat porsi besar di antara isu lainnya. CSO’s yang bergerak di luar isu-isu itu, geraknya mulai terbatas.
Peran dan Pengaruh Lembaga Donor Bagi Gerakan Sosial di Indonesia
Pertama, organisasi masyarakat sipil atau LSM telah menjadi tulang punggung dalam proses demokratisasi di Indonesia. Dalam dua kali masa pemerintahan Orla dan Orba – lebih dari 50 tahun – hampir tidak ada ruang-ruang demokrasi. Represi-represi itu melahirkan perlawanan serta kritik dengan berbagai cara. Dari sinilah banyak organisasi masyarakat sipil lahir. Jadi, bukan lembaga donor yang melahirkan organisasi masyarakat sipil. Bahwa tidak dipungkiri banyak lembaga donor yang kemudian menawarkan bantuan untuk membantu organisasi-organisasi masyarakat sipil tersebut. Bahkan, termasuk lembaga donor yang selama itu juga banyak memberikan bantuan dan dukungan pada rejim yang otoriter tersebut. Lembaga donor yang sama, yang tutup mata terhadap korupsi dan pelanggaran HAM, karena mau cari aman untuk kepentingannya. Lembaga donor, untuk membela kepentingannya, kakinya bisa berada di mana-mana, walau tidak semua lembaga donor demikian. Namun demikian, memang tidak bisa dipungkiri besar sumbangan bagi bertumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakat sipil di Indonesia, khususnya dasawarsa sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Organisasi masyarakat sipil hampir tidak ada yang tidak berelasi dengan lembaga donor.
Kedua, agenda lembaga donor juga sangat mempengaruhi pendekatan-pendekatan yang dilakukan organisasi masyarakat sipil dalam kegiatannya. Pada dasawarsa sebelum dan sesudah reformasi, jumlah lembaga donor dan dana masih besar sekali, sehingga CSO’s masih bisa menggunakan banyak pendekatan dari penyedialayanan dasar, pendidikan/pelatihan, pengorganisasian, advokasi dsb. Ketika posisi Indonesia meningkat masuk menjadi bagian “emerging countries”, anggota G-20. Posisi ini mengubah Indonesia sebagai negara penerima donor berubah menjadi negara donor. Demikian juga, lembaga donor langsung mengubah agenda di Indonesia: menarik diri menjadi lembaga donor di Indonesia, mengurangi donor, dsb. Ditambah lagi isu global lainnya yang membuat Indonesia sudah tidak relevan lagi untuk mendapatkan banyak donor. Lembaga donor yang bertahan di Indonesia pun semakin ketat memberikan syarat dalam pendanaannya, dan sangat terbatas, jangka waktu yang makin pendek, tidak ada biaya manajemen (hanya membiayai program kegiatan), menghilangkan kegiatan dengan pendekatan pengorganisasian dan advokasi dsb.
Ketiga, satu catatan penting tentang pengaruh besar dan positif lembaga donor ini adalah bagi kemajuan perempuan. Isu ini tampaknya dianggap isu ‘aman’ dan ‘tidak membahayakan’ negara, jadi penggarapan isu ‘lumayan’ laju aman dari penolakan pemerintah. Selama lebih dari 30 tahun, banyak dana dikucurkan oleh berbagai lembaga donor dari berbagai level dana ataupun proyek yang digunakan untuk membuat program-program memajukan perempuan. Selain CEDAW, bergulir isu lainnya seperti perempuan dan politik, perempuan dalam bencana/perubahan iklim, perempuan dalam MDGs/SDGs. Tema-tema ini susul menyusul, melintasi beberapa rejim pemerintah. Ini adalah capaian yang tidak kecil.
Keempat, sebagai otokritik terhadap relasi organisasi masyarakat sipil – lembaga donor, adalah dampak pudarnya semangat dan nilai-nilai sosial sebagai akibat perubahan dari “gerakan” menjadi “institusi sosial” dengan tuntutan manajemen tertentu dari lembaga donor, misalnya soal gotong royong, swadaya dll. Otokritik yang lain adalah, sebagai lanjutan dari melemahnya nilai-nilai tersebut, ketika pertanyaan tentang “sustainability” diajukan, ketika para buruh diajak membayar iuran bulanan untuk organisasi yang mungkin seharga semangkok bakso, menjadi kesulitan, atau ketika masyarakat dampingan diajak membayar jimpitan untuk usaha bersama, maka jelas ini adalah kegagalan CSO’s karena menciptakan ketergantungan dan gagal dalam pendidikan kesadaran kritis masyarakat. Juga, CSOs tidak bisa kritis terhadap lembaga donornya.
Tantangan Organisasi Masyarakat Sipil ke Depan “Dengan atau Tanpa” Lembaga Donor
Catatan pertama, Jika hidup matinya organisasi masyarakat sipil tergantung dari lembaga donor, bisa celakalah kita. Red alarm bagi negara kita, jika organisasi masyarakat sipil sekarat, karena bisa jadi negara hadir tanpa kritik dari masyarakat, yang selama ini nyaris hanya dipegang (walau tidak semua) organisasi masyarakat sipil. Jadi pertanyaan penting akhir yang enggan untuk dijawab adalah: “Mungkinkah organisasi masyarakat sipil bergerak tanpa dana?”
Kedua, ada pergeseran besar dalam dinamika organisasi masyarakat sipil di Indonesia, ada perubahan dalam pendekatan dll. Hal ini memerlukan penyikapan yang berbeda dalam mengembangkan sistem pendanaan atau fundraising yang lebih variatif misalnya (crowdfunding, social entrepreneurship, akses CSR).
Catatan ketiga, kekuatan yang perlu disikapi secara kritis juga adalah kecenderungan menguatnya peran lembaga berbasis agama dalam “menggeser” peran-peran yang selama ini dimainkan oleh organisasi masyarakat sipil, pun dalam hal pendanaannya yang kemungkinan mereka lebih leluasa.
Link unduh dokumen :
Makalah Peringatan 21 Tahun Mei 98 Komnas Perempuan (16 Mei 2019, Gedung Juang)
https://drive.google.com/file/d/1r-06KDBLEIDnNS0-1PFxGsqAwhWCIDbT/view?usp=sharing