...
Kabar Perempuan
Mempersiapkan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2017

Mempersiapkan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2017

 

  • Tema Kampanye tahun 2017

Tema besar untuk tahun 2015-2019 adalah “Kekerasan Seksual adalah Kedzaliman terhadap martabat Kemanusiaan”. Tahun 2017, tema kampanye dikerucutkan menjadi “Perlindungan Korban Melalui Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Tema ini dipilih untuk memperkuat dukungan dalam upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan, serta perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual. Dukungan tersebut juga bermakna bagi proses advokasi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini dimandatkan oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI untuk dibahas di Panja komisi VIII DPR RI. Dorongan yang besar perlu dilakukan agar di tahun ini pula, pembahasan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual mengakomodasi kepentingan korban dan mengatasi berbagai hambatan yang selama ini dialami korban dalam Sistem Peradilan Pidana, sehingga kelak disahkan adalah materi muatan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang berkualitas.

 

  • Target Khalayak

Tiap-tiap organisasi yang menggerakan K16HAKTP tentu memiliki target khalayak sendiri-sendiri. Untuk menyukseskan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, diharapkan setidaknya 3 target khalayak ini disasar dalam K16HAKTP, yakni :

Sasaran

Pesan

Negara

Ajak serta unsur negara dalam tiap kampanye, misal Anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik di tingkat daerah maupun nasional, Aparat Penegak Hukum, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kemeneterian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dll.

Masyarakat

Libatkan pula tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat dalam tiap kampanye

Media Massa

Ingat untuk selalu mengajak serta media massa, apa pun jenis dan cakupannya dalam setiap kampanye

 

  • Pesan, Tagline, dan Tagar

Pesan kunci yang digunakan untuk mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah:

#GerakBersama: Sahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang Berpihak pada korban”

  • Kenapa sih Penghapusan Kekerasan Seksual penting? ‘Karena siapa saja bisa menjadi korban! Mungkin kemarin orang lain, tapi bisa saja besok aku, bisa kamu, bisa keluarga mu bisa siapa saja orang yang ada di sekitar mu’

  • Lalu mengapa perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan? ‘sebab sudah banyak korban berjatuhan bahkan nyawa melayang, tapi Negara masih saja belum optimal melindungi korban. Bahkan tak jarang korban ikut disalahkan lalu dipenjara. Itu mengapa penting mendorong Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

  • Kan sudah ada KUHP? Kenapa harus ada UU khusus? ‘Karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya dapat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga RUU Pengha- pusan Kekerasan Seksual adalah ketentuan khusus (lex specialist) dari KUHP. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga merumuskan jenis-jenis pemidanaan sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan yang selaras dengan sejumlah kontekstualisasi konsep dan nomenklatur.

  • Memang apa contohnya yang belum diatur di KUHP? ‘KUHP hanya mengakomodasi sedikit saja jenis kekerasan seksual, dan masih memberatkan posisi korban. Contoh, dalam RKUHP digunakan kata ‘persetubuhan’ yang dalam praktiknya didefinisikan sebagai perkosaan bila ada penetrasi penis ke dalam vagina secara paksa, padahal bukan cuma itu yang dimaksud dengan perkosaan’.

  • Mengapa Lex Specialis? Akan membuka peluang untuk memiliki penanganan khusus baik pemulihan korban maupun acara peradilan pidana sehingga dapat mengatasi berbagai hambatan substantif yang tidak tertuang dalam KUHAP, juga akan lebih luas mengatur upaya pencegahan kekerasan seksual

Pesan

Sahkan UU Kekerasan Seksual

Tagline

#GerakBersama

Turunan pesan kunci

  1. Pencegahan

  2. Perlindungan

  3. Pemulihan

  4. Pemidanaan

  5. Penanganan

Isu-isu turunan

  1. Hormati tubuh dan seksualitas perempuan

  2. Hapus stigma pada korban kekerasan seksual

  3. Pastikan korban mendapatkan keadilan

  4. Komunikasi tidak eksklusif menyasar perempuan

  5. Pemaksaan adalah kejahatan

  6. Partisipasi masyarakat penting

  7. Pastikan peradilan yang ramah untuk disabilitas

  8. Sanksi pidana maksimal untuk pemidanaan pelaku

  9. 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual

  10. Kekerasan oleh aparat

  11. Pastikan keberlanjutan lembaga layanan berbasis komunitas

  12. Jaminan pemulihan dan restitusi untuk korban

 

  • Saluran

Saluran komunikasi merupakan medium yang digunakan untuk menyampaikan pesan ke target khalayak. Ada beberapa saluran komunikasi yang dapat dipilih, antara lain:

  1. Media Sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, Youtube, Path)

  2. Kesenian dan kearifan lokal (seni dan budaya)

  3. Media massa (surat kabar, tv, radio, media online)

  4. Aksi massa

  5. Institusi pendidikan

  6. Komunitas

  7. Media cetak (koran, majalah, pamphlet, brosur)

  8. SMS Gateway

  9. Platform Change.org

Mengapa Kampanye Anti Kekerasan Seksual?

Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil.

Di dalam ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan, perempuan diposisikan sebagai marka atau penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya seringkali kita mendengar pembahasan tentang moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya, apakah perempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam ekspresi seksualitasnya dalam keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang merasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap “tidak suci” atau “tidak bermoral”. Sikap korban membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat sekitarnya.

Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual, khususnya perkosaan dan penyiksaan seksual, dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi.

Kekerasan seksual merupakan bentuk kontrol dan wujud kuasa terhadap perempuan, sebagai objek dan simbol kesucian, dan pemerkosaan adalah upaya penundukan. Perempuan korban kekerasan seksual kehilangan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Secara khusus, tindak kekerasan seksual merampas hak perempuan sebagai warga negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1). Karena lahir dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, pembiaran terhadap terus berlanjutnya kekerasan seksual terhadap perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal 28I(2)). Akibat dari kekerasan seksual itu, perempuan korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup (Pasal 28A). Banyak pula perempuan korban yang kehilangan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan.

Hasil kajian Komnas Perempuan menemukan, sepanjang tahun 2002 s.d 2012 (10 tahun) sedikitnya 35 perempuan Indonesia (termasuk anak perempuan) menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Artinya, setiap 2 jam ada 3 perempuan Indonesia (termasuk anak perempuan) yang menjadi korban kekerasan seksual (sumber: Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan). CATAHU adalah kompilasi data nasional dari jumlah kasus yang ditangani oleh lembaga pengada layanan bagi perempuan korban, baik yang diselenggarakan oleh negara maupun masyarakat sipil. CATAHU mulai digagas Komnas Perempuan pada tahun 2001 terhadap data kasus tahun 2000.

Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan ada 15 jenis kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di Indonesia, yaitu (1) perkosaan, (2) intimidasi/ serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, (3) pelecehan seksual, (4) eksploitasi seksual, (5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, (6) prostitusi paksa, (7) perbudakan seksual, (8) pemaksaan perkawinan, (9) pemaksaan kehamilan, (10) pemaksaan aborsi, (11) kontrasepsi/sterilisasi paksa, (12) penyiksaan seksual, (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan (15) kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Di saat yang bersamaan, payung hukum yang ada belum sepenuhnya melindungi korban. Penguatan payung hukum menjadi kebutuhan mendesak karena hanya sebagian kekerasan seksual terhadap perempuan yang dikenali dalam sistem hukum nasional dan beberapa di antaranya juga diatur dengan terbatas, a.l.:

  1. Hukum pidana Indonesia mengenal perkosaan, namun terbatas pada penetrasi penis ke vagina, dan prosedur pembuktiannya, sebagaimana diatur di Kitab Hukum Acara Pidana, masih membebani korban;

  2. Pelecehan seksual tidak dikenali. Kasus diusut dengan pasal tentang perlakuan tidak menyenangkan. Dengan Putusan MK, pasal ini dinyatakan tidak diberlakukan lagi;

  3. Eksploitasi seksual diatur dengan keliru dalam UU Pornografi. Dalam penjelasan tidak ada informasi lebih lanjut tentang apa yang dimaksudkan dengan eksploitasi seksual. Pada Pasal 4, eksploitasi seksual direkatkan dengan memamerkan aktivitas seksual. Pemaknaan serupa tampak pada Pasal 8 dan Pasal 10. Akibatnya, UU Pornografi tidak lagi menempatkan pornografi sebagai bentuk kejahatan eksploitasi seksual melainkan lebih pada kerangka moralitas yang berujung pada kontrol seksual perempuan;

  4. Penyiksaan dan perbudakan seksual tidak dikenal dalam hukum pidana umum, melainkan hanya dalam hukum pidana khusus dalam konteks genosida dan kejahatan kemanusiaan sesuai dengan UU Pengadilan HAM. Akibatnya, penyiksaan seksual yang berulang kali terjadi, misalnya perkosaan terhadap tahanan perempuan, tidak ditangani dengan serius dan sistematik;

  5. Sejumlah daerah mengatur tentang larangan prostitusi yang justru mengkriminalkan perempuan korban eksploitasi seksual dan perdagangan orang. Sejumlah peraturan daerah juga memuat hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan bernuansa seksual. Aturan yang diskriminatif serupa ini belum ada yang dibatalkan;

  6. UU Hukum Pidana maupun UU Kesehatan menekankan pada larangan aborsi tanpa melihat konteks pemaksaan aborsi. Akibatnya, dalam tindak aborsi, serta-merta perempuan menjadi pihak yang dipidanakan;

  7. Sejumlah regulasi yang bersifat khusus yang telah ada saat ini, seperti UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak dan UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, mengatur tentang kekerasan seksual lebih luas dari KUHP. Namun tidak bisa digunakan untuk melindungi korban kekerasan seksual di luar ruang lingkup yang dimaksud oleh ketiga UU yang bersifat khusus tersebut.

 

Mengapa kampanye 16 hari anti kekerasan seksual ?

  • Sejarah Lahirnya Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia di Indonesia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Keterlibatan Komnas Perempuan dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (K16HAKTP) telah dimulai sejak tahun 2001. Dalam kampanye K16HAKTP ini, Komnas Perempuan selain menjadi inisiator juga sebagai fasilitator pelaksanaan kampanye di wilayah-wilayah yang menjadi mitra Komnas Perempuan. Hal ini sejalan dengan prinsip kerja dan mandat Komnas Perempuan yakni untuk bermitra dengan pihak masyarakat serta berperan memfasilitasi upaya terkait pencegahan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

 

  • Mengapa 16 Hari ?

Penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, Pemerintah (termasuk parlemen, dan yudikatif), maupun masyarakat secara umum. Dalam rentang 16 hari, para aktivis HAM perempuan mempunyai waktu yang cukup guna membangun strategi pengorganisiran agenda bersama yakni untuk:

  • menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM;

  • mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para survivor (korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan);

  • mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Strategi yang diterapkan dalam kegiatan kampanye ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh temuan tim kampanye di masing-masing daerah atas kondisi ekonomi, sosial, dan budaya, serta situasi politik setempat. Apapun strategi kegiatan, yang pasti strategis ini diarahkan untuk:

  • meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan berbasis jender sebagai isu Hak Asasi Manusia di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional;

  • memperkuat kerja-kerja di tingkat lokal dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan;

  • membangun kerjasama yang lebih solid untuk mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal dan internasional;

  • mengembangkan metode-metode yang efektif dalam upaya peningkatan pemahaman publik sebagai strategi perlawanan dalam gerakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;

  • menunjukkan solidaritas kelompok perempuan sedunia dalam melakukan upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;

  • membangun gerakan anti kekerasan terhadap perempuan untuk memperkuat tekanan terhadap pemerintah agar melaksanakan dan mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

  • Apa Yang terjadi dalam Rentan Waktu 25 November – 10 Desember ?

25 November : Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva & Maria Teresa) pada tanggal yang sama di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan pengusasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut. Tanggal ini sekaligus juga menandai ada dan diakuinya kekerasan berbasis jender. Tanggal ini dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.

1 Desember : Hari AIDS Sedunia Hari AIDS Sedunia pertama kali dicanangkan dalam konferensi internasional tingkat menteri kesehatan seluruh dunia pada tahun 1988. Hari ini menandai dimulainya kampanye tahunan dalam upaya menggalang dukungan publik serta mengembangkan suatu program yang mencakup kegiatan pencegahan penyebaran HIV/AIDS, dan juga pendidikan dan penyadaran akan isu-isu seputar permasalahan AIDS.

2 Desember : Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan Hari ini merupakan hari diadopsinya Konvensi PBB mengenai Penindasan terhadap Orang-orang yang diperdagangkan dan eksploitasi terhadap orang lain (UN Convention for the Suppression of the traffic in persons and the Exploitation of other) dalam resolusi Majelis Umum PBB No 317(IV) pada tahun 1949. Konvensi ini merupakan salah satu tonggak perjalanan dalam upaya memberikan perlindungan bagi korban, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, atas kejahatan perdagangan manusia.

3 Desember : Hari Internasional bagi Penyandang Cacat Hari ini merupakan peringatan lahirnya Program Aksi Sedunia bagi Penyandang Cacat (the World Programme of Action concerning Disabled Persons). Program aksi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1982 untuk meningkatkan pemahaman publik akan isu mengenai penyandang cacat dan juga mambangkitkan kesadaran akan manfaat yang dapat diperoleh, baik oleh masyarakat maupun penyandang cacat, dengan mengintegrasikan keberadaan mereka dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

5 Desember : Hari Internasional bagi Sukarelawan Pada tahun 1985 PBB menetapkan tanggal 5 Desember sebagai Hari Internasional bagi Sukarelawan. Pada hari ini, PBB mengajak organisasi-organisasi dan negara-negara di dunia untuk menyelenggarakan aktivitas bersama sebagai wujud rasa terima kasih dan sekaligus penghargaan kepada orang-orang yang telah memberikan kontribusi amat berarti bagi masyarakat dengan cara mengabdikan hidupnya sebagai sukarelawan.

6 Desember : Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan Pada hari ini di tahun 1989, terjadi pembunuhan massal di Universitas Montreal Kanada yang menewaskan 14 mahasiswi dan melukai 13 lainnya (13 diantaranya perempuan) dengan menggunakan senapan semi otomatis kaliber 223. Pelaku melakukan tindakan tersebut karena percaya bahwa kehadiran para mahasiswi itulah yang menyebabkan dirinya tidak diterima di universitas tersebut. Sebelum pada akhirnya bunuh diri, lelaki ini meninggalkan sepucuk surat yang berisikan kemarahan amat sangat pada para feminis dan juga daftar 19 perempuan terkemuka yang sangat dibencinya.

10 Desember : Hari HAM Internasional Hari HAM Internasional bagi organisasi-organisasi di dunia merupakan perayaan akan ditetapkannya dokumen bersejarah, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB di tahun 1948, dan sekaligus merupakan momen untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip HAM yang secara detil terkandung di dalam deklarasi tersebut. 

 


Pertanyaan / Komentar: