Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melakukan dialog kebijakan terkait diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 (Permendikbudristek 55/2024) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT), yang menggantikan Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Dialog ini dilaksanakan di Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, pada Senin, 17 Februari 2025.
Mendiktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menyampaikan akan memastikan perubahan Satgas PPKS menjadi PPKPT di perguruan tinggi, memastikan adanya penghargaan untuk tim Satgas kampus, dan upaya integrasi pendidikan damai. Selain itu, beliau juga menegaskan akan mendukung langkah-langkah Komnas Perempuan, dan berharap kerja sama yang ada melalui perguruan tinggi dapat berdampak kepada seluruh masyarakat.
Komnas Perempuan mengapresiasi beberapa perluasan cakupan yang diatur dalam Permendikbudristek 55/2024 dan memandang pembentukan Satgas PPKS sebagai upaya sistemis dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual merupakan praktik baik yang perlu dilanjutkan oleh Satgas PPKPT dalam mencegah dan menangani bentuk-bentuk kekerasan lainnya, ujar Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan saat membuka dialog tersebut.
Andy kemudian menambahkan harapan ke depan terkait upaya zona integritas. “Selama ini di Kementerian/Lembaga kerap menyuarakan zona integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), bagaimana jika kedepannya juga diupayakan zona integritas menuju Kawasan Bebas dari Kekerasan (KBK) menjadi komitmen semua pejabat.”
Sri Hartati Dewi Reksodiputro, Staf Khusus Bidang Ekosistem Sains dan Teknologi menyampaikan bahwa temuan di lapangan masih banyak perguruan tinggi yang menutupi kasus kekerasan yang terjadi demi nama baik kampusnya, terlebih jika pelaku adalah dosen. Hal ini dinilai sebagai upaya kampus melindungi pelaku dan menambah ketidakberanian korban untuk melakukan pengaduan dan pelaporan.
Dalam tanggapannya, Alimatul Qibtiyah, komisioner Komnas Perempuan menyampaikan bahwa mindset demi nama baik kampus sudah sebaiknya diubah. Kampus yang keren bukan yang mampu menutupi kasus-kasus kekerasan yang terjadi, melainkan kampus yang berani melakukan pencegahan, penanganan, dan pemulihan bagi korban kekerasan di kampusnya. Bahkan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pencegahan dan penanganan kasus, dalam Pasal 29 e Permendikbudristek 55/2024, Satgas memiliki wewenang memfasilitasi korban dan/atau pelapor kepada aparat penegak hukum apabila diperlukan.
Wakil Menteri, Fauzan, membagikan praktik baik dari perguruan tinggi di Malang. Upaya pencegahan kekerasan dapat dilakukan melalui Dosen Pembimbing Akademik, melakukan kolaborasi dengan program studi, unit terkait serta lembaga konseling. Pelaku kekerasan seksual sama halnya dengan pelaku kriminal, dan tindakan asusila, dengan sanksi yaitu pemanggilan orang tua, pemulangan, bahkan pemberhentian aktivitas perkuliahan.
Sementara itu, Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan, “Layanan terpadu yang bisa diakses dengan mudah adalah hal yang krusial dan harapan bagi korban. Perhatian khusus perlu difokuskan pada wilayah-wilayah yang masih perlu perhatian, yang secara sumber daya manusia dan infrastruktur belum memadai. Dalam upaya membangun sinergi dalam penanganan perkara kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan telah membangun konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP).”
Selain
pembahasan pengawalan PPKPT, Komnas Perempuan juga menyampaikan pentingnya isu
terkait konsep pendidikan damai atau Center
of Peace (CoP). Konsep ini
penting untuk diintegrasikan dalam kurikulum di perguruan tinggi, walaupun
tidak harus dalam bentuk mata kuliah. Hal ini sebagai upaya untuk memastikan
tidak adanya keberulangan konflik sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Maria
Ulfah Anshor Komisioner Komnas Perempuan menambahkan, “CoP ini adalah sebuah
konsep untuk membangun peradaban, tidak hanya sekedar simbol-simbol perdamaian,
upaya toleransi tidak hanya sekedar kognitif, namun perlu untuk
diimplementasikan.”