...
Kabar Perempuan
Mengenali Muatan Resolusi PBB A/HRC/RES/53/1 tentang Menentang Kebencian Berbasis Agama, serta Relevansinya Dengan Konteks di Indonesia



Jumat, 29 September 2023, Komnas Perempuan menyelenggarakan diskusi publik untuk mengenali muatan Resolusi PBB A/HRC/RES/53/1 tentang Menentang Kebencian Berbasis Agama, serta relevansinya dengan konteks di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan para narasumber ahli dari berbagai bidang, di antaranya Febrian A. Ruddyard  (Perutusan Tetap RI Geneva), Ismail Hasani (Direktur SETARA Institute), Dewi Kanti (Komisioner Komnas Perempuan), Siti Ruhaini Dzuhayatin (Ketua Purnabakti Independent Permanent Human High Commission of Organization of Islamic Cooperation), serta Usman Hamid (Amnesty International)


Andy Yentriyani, membuka rangkaian acara dengan menyampaikan tentang kepemimpinan Indonesia dalam pergaulan global. Indonesia sangat dihargai dan ditopang oleh mandat konstitusi untuk menjalankan peran bebas aktif dalam mendorong ketertiban dunia, termasuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Namun seringkali publik Indonesia tidak mengenali peran Indonesia dikancah global. Sehingga, meskipun pemerintah Indonesia turut mendorong pengesahan dalam berbagai bentuk ratifikasi konvensi internasional, produk hukum nasional kerap dituduh sebagai produk barat yang ingin melakukan intervensi pada kedaulatan Indonesia. Tentu saja, hal ini merugikan Indonesia dalam upayanya untuk menghapus berbagai bentuk kekerasan.


Andy Yentriyani juga menjelaskan diskusi yang diselenggarakan daring ini, merupakan salah satu upaya strategis untuk meningkatkan pemahaman publik mengenai dinamika yang terjadi di di tingkat lokal nasional maupun internasional.


Pada sesi diskusi, Febrian A. Ruddyard mengawali dengan menyampaikan resolusi ini diadopsi oleh Dewan HAM sebagai respon atas berbagai insiden pembakaran kitab suci yang terjadi di sejumlah negara Eropa. Terdapat 3 Mandat dalam Resolusi 53/1 yakni salah satunya mengutuk dan menolak keras advokasi dan manifestasi kebencian agama, termasuk pembakaran Quran di depan publik, dan menekankan pentingnya para pelaku diproses hukum. Selain itu, juga untuk menyerukan kepada negara-negara untuk mengadopsi aturan hukum dan kebijakan untuk atasi, mencegah, dan mengadili aksi kebencian agama yang memicu diskriminasi dan kekerasan.


"Kebebasan berekspresi tidak boleh disalahgunakan untuk mendiskriminasi dan melukai orang lain," tutur Febriyan Ruddyard.


Semantara itu, menurut Ismail Hasani adanya resolusi ini memberikan penegasan bahwa terdapat proses yang akuntabel dalam konteks penegakan sebuah resolusi ini. Peran pemerintah sangat penting dalam memastikan resolusi ini agar segera diadopsi. Terdapat beberapa produk hukum yang sejalan dengan resolusi 53, namun dalam banyak diskusi tentang HAM, aturan ini lebih regresif karena banyak produk hukum yang dianggap sejalan dengan resolusi. 


"Banyak produk hukum yang dianggap sudah sejalan’ dengan Resolusi, yakni UU 1/1965 PNPS, UU 13/1999 Pers, UU 17/2013 Ormas, UU 19/2016 ITE dan UU 1/2023 KUHP. Dimana berkebalikannya dari kata progresif, apabila resolusi ini dijalankan dengan tidak atau kurang akuntabel, maka praktiknya malah menjadi ancaman kebebasan," ujar Ismail Hasani sambil memaparkan data dan fenomena kondisi kebebasan beragama di Indonesia. 


Selanjutnya, disampaikan oleh Dewi Kanti yang menerangkan Catatan Kerentanan Pengaturan Penodaan Agama, yang berhadapan Keragaman Pendapat terutama perlindungan pada Kelompok Minoritas. Salah satunya yakni Instrumen HAM yang membedakan antara perlindungan hak-hak orang atas dasar agama atau keyakinan, Hak atas kebebasan berpikir, beragama atau berkeyakinan, yang tidak melindungi agama atau kepercayaan. 


Komnas Perempuan juga merumuskan rekomendasi, bahwa resolusi ini penting didalami, agar  secara jelas dapat dipahami persoalan kebencian terhadap agama yang memuat hasutan untuk diskriminasi dan kekerasan. Rekomendasi juga menyorot tentang jaminan hak-hak konstitusional warga agar terpenuhi dan berperspektif keadilan gender untuk mengakhiri hasutan diskriminasi serta kekerasan berbasis agama/keyakinan.


Siti Ruhaini Dzuhayatin, memaparkan bahwa Kebebasan Agama sejatinya semakin diperluas melalui revisi KUHP maupun advokasi masyarakat Sipil dan akademisi. Namun dalam kebebasan berekspresi seharusnya tidak dimaksudkan sebagai serangan terhadap suatu agama. Oleh karena itu, diperlukan komitmen negara dalam menguatkan kebebasan agama serta diperlukan adanya sinergitas masyarakat dengan pemerintah dalam mengawal implementasi KUHP yang telah direvisi.


Dalam sesi paparan akhir, Usman Hamid menjelaskan  adanya dukungan dari banyak negara mengenai resolusi ini sebagai salah satu wujud yang baik untuk mencegah ketegangan agama berlanjut serta kekerasan ataupun hasutan untuk mendiskriminasi berbasis agama. 


Sikap Amnesty Internasional terkait kasus pembakaran kitab suci adalah contoh nyata intoleransi dalam umat beragama yang mengalami rasisme sistemik. Sikap Pemerintah diperlukan dalam memastikan adanya penghapusan rasisme sistemik dengan menghukum individu atas tindakan hasutan maupun kebencian terhadap suatu agama, yang dapat memunculkan pelanggaran serius dalam umat beragama. Selain itu, diperlukan adanya larangan tentang kebencian untuk melakukan diskriminasi dalam seluruh peraturan perundang-undangan.


Diskusi ini selengkapnya dapat disimak di Youtube Komnas Perempuan

https://www.youtube.com/live/-HAXWh4NyP8?si=-BiA5CnEVvhOkC-b



Pertanyaan / Komentar: