...
Kabar Perempuan
Peluncuran Kajian Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 3 Tahun 2017

Komnas Perempuan dengan dukungan mitra melakukan kajian mengenai sejauh mana Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 3 Tahun 2017. Dalam webinar “Peluncuran Kajian Penerapan Peraturan MA RI No 3 Tahun 2017” yang diselenggarakan pada Rabu, 15 Desember 2021 menghadirkan pemapar Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan), Tiasri Wiandani (Komisioner Komnas Perempuan), Maria Ulfah Anshor (Komisioner Komnas Perempuan), Arsa Ilmi Budiarti (Peneliti IJRS) hingga Sondang Irene Erisandy (peneliti) dengan Nirwana (Pokja perempuan dan anak MA RI), Sukma Violetta (Komisi Yudisial), Dewo Broto Joko (Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas) sebagai penanggap.

Olivia Chadidjah Salampessy (Wakil ketua Komnas perempuan) dalam sambutannya menyampaikan bahwa berdasarkan CATAHU Komnas perempuan tahun 2021, terdapat lebih dari 299 ribu kasus kekerasan tehadap perempuan sepanjang tahun 2020. Jumlah kasus ini berkurang secara signifikan jika dibandingkan dengan CATAHU tahun 2020 yang sebanyak 431 ribu. Menurunnya kasus dalam CATAHU ini merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2021. Mengingat korban kekerasan seringkali mengalami kendala dalam mengakses sistem peradilan pidana dikarenakan belum adanya jaminan dan perlindungan. Ditengah tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan MA RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum. Seluruh langkah MA disambut baik oleh Komnas Perempuan sebagai bentuk percepatan pengintegrasian SPPT PKKtP dalam hukum acara peradilan pidana untuk memastikan tidak adanya diskriminasi gender dalam praktik peradilan pidana di Indonesia. Terbitnya PERMA 3/2017 menjadi titik terang bagi korban ditengah stagnannya upaya pembaruan hukum acara pidana dalam pemenuhan hak perempuan yang berhadapan dengan hukum. Sehingga Komnas Perempuan memandang penting untuk melakukan kajian sejauh mana penerapan PERMA 3/2017 ini dalam pemenuhan hak para korban agar dapat mengakses keadilan.

Siti Aminah Tardi dalam pemaparan materinya menyampaikan terkait hasil kajian terhadap penerapan PERMA ini di 5 mitra wilayah SPPT PKKtP yakni di Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, DKI Jakarta, Jawa tengah dan Maluku. Penelitian ini menghasilkan 5 buah buku dan 1 kertas kebijakan. Harapannya melalui hasil temuan ini dapat berguna dalam mendukung kerja-kerja MA dalam merumuskan rencana kerja dan menilai sosialisasi serta efektivitas PERMA 3/2017. Komnas Perempuan mengalami berbagai kendala salah satunya keterbatasan pelaksanaan wawancara karena pandemi Covid-19, berbagai faktor yang mempengaruhi penerapan PERMA 3/2017 seperti minimnya sosialisasi dan peningkatan kapasitas hakim serta minimnya pemahaman hak perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Arsa Ilmi Budiarti menyampaikan terkait temuan implementasi PERMA 3/2017. Di mana hakim mengetahui adanya PERMA ini namun belum dipahami secara menyeluruh dan mendalam dikalangan para hakim. Namun faktor pendukung dalam pemahaman hakim terhadap PERMA 3/2017 adalah adanya dorongan dari ketua pengadilan untuk menerapkan prinsip perlindungan perempuan dan anak serta sikap empati dan kepedulian dari masing-masing hakim tentang penanganan PBH. Meskipun dalam praktiknya terdapat hambatan seperti kehadiran pendamping belum diatur secara rinci. Sehingga peran pendamping pun hanya cukup terbatas menemani PBH. Adapun rekomendasi dari IJRS yakni perlu adanya pelatihan dan sosialisasi terkait substansi dan teknis PERMA 3/2017 kepada hakim di seluruh lingkup peradilan, perlu dikaji lebih mendalam mengenai dampak dan sertifikasi bagi hakim untuk menangani PBH. Serta adanya kerjasama dengan BPHN untuk memastikan pendamping dan lembaga bantuan hukum dapat berpartisipasi dalam mendukung implementasi PERMA 3/2017.

Tiasri Wiandani dalam pemaparannya menegaskan bahwa dari hasil kajian Komnas Perempuan tercatat IPG di Jawa Tengah masih di atas angka rata-rata IPG nasional yakni 91,89%. Namun masih terjadi ketimpangan dampak pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Hasil temuan Komnas Perempuan yakni hakim PN Semarang serta hakim Pengadilan Tinggi Semarang mengetahui adanya PERMA 3/2017 namun belum pernah mendapat pelatihan khusus ataupun masih kesulitan memahami konsep tentang kesetaraan gender relasi kuasa, serta praktiknya dalam persidangan dan penyusunan putusan. Beberapa pendamping PBH telah mengetahui PERMA 3/2017 dari masyarakat yaitu LRC-KJHAM dan LBH apik Semarang. Mengenai pemahaman pendamping terkait muatan atau substansi PERMA, para pendamping memahami muatan PERMA 3/2017 terkait azas pertimbangan hakim, larangan bagi hakim, akses pendampingan di persidangan.

Adapun hakim belum cermat mempertimbangkan dampak psikis relasi kuasa dan riwayat kekerasan terhadap PBH sebagai terdakwa. Selain itu hakim PN Semarang bahkan mengaku belum pernah menggali kebutuhan restitusi dan kompensasi kepada PBH karena beranggapan jaksa akan kebingungan dalam melaksanakan putusan tersebut. Meskipun hakim tidak pernah menolak permintaan pendamping dalam memberikan pendampingan kepada PBH di persidangan. Adapun rekomendasi yang diberikan yaitu Mahkamah agung, Pengadilan Tinggi Semarang dan PN Semarang perlu melakukan pelatihan khusus bagi hakim dan calon hakim mengenai PERMA 3/2017. Serta MA perlu membagikan petunjuk teknis implementasi PERMA 3/2017 dalam praktik persidangan dan putusan kepada seluruh hakim.

Maria Ulfah Anshor menyampaikan temuan kajian PERMA 3/2017 di provinsi Kalimantan Tengah, tercatat bahwa seluruh informan hakim tidak memahami CEDAW dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW. Sehingga dalam menggali pertanyaan tentang ketidaksetaraan status sosial, diskriminasi dan relasi kuasa, riwayat kesehatan dan kondisi tidak berdaya harus menggunakan beberapa contoh kasus, kecuali Hakim P1 PN Palangka Raya yang mengetahui tentang adanya MoU Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan. Sebagian pendamping bahkan belum mengetahui sama sekali tentang PERMA 3/2017 beserta isinya. Terkait dengan sosialisasi PERMA 3/2017, PN dan PT Palangka Raya tidak melakukan sosialisasi, sedangkan Lembaga layanan PERADI Palangka Raya dan Solidanitas Perempuan Kalimantan Tengah sudah melakukan diskus? internal mereka untuk memahami PERMA 3/2017. Temuan lain yakni hakim memiliki keterbatasan untuk memahami PERMA 3/2017 karena belum pernah ada sosialisasi dan pelatihan. Sehingga MA perlu melakukan sosialisasi secara merata dan membuat pelatihan gender dan HAM bagi hakim untuk mendukung hakim memiliki perspektif gender dalam penerapan PERMA 3/2017.

Sepakat dengan pemapar sebelumnya, Sondang Irene Erisandy menyampaikan di wilayah Maluku, para hakim PT & PN belum pernah mengikuti pelatihan HAM-Gender, belum ada sosialisasi formal di PT dan PN Ambon.  Pengawasan dan evaluasi dan PT ke PN tidak pernah khusus membahas PERMA (sehingga PT Ambon memandang bahwa penerapan PERMA ini berjalan tanpa masalah). Sosialisasi PERMA masih bertitik berat ke PBH korban dibanding PBH pelaku, fasilitas dan anggaran yang belum memadai, hingga hakim lebih fokus ke teknik prosedur persidangan daripada substansi penerapan PERMA 3/2017. Sedangkan menurut pengalaman pendamping PBH hakim selama proses persidangan hampir tidak terlihat berperspektif gender yang baik. Serta tidak terpenuhinya kebutuhan ahli dan penerjemah karena dilimpahkan ke pendamping. Bahkan pendamping di persidangan belum memiliki daya cukup besar untuk mencegah hakim melakukan pelanggaran. Sehingga pendamping perlu diberi kewenangan lebih besar untuk menyatakan keberatan bila menemukan pelanggaran. Rekomendasi terhadap Mahkamah Agung RI agar melaksanakan kegiatan sosialisasi PERMA 3/2017 di seluruh jajaran peradilan pidana, hingga melaksanakan kegiatan pengawasan & evaluasi khusus tentang penerapan PERMA 3/2017. Serta mengadakan adaptasi sistem pendataan PBH korban & PBH pelaku yang mudah diakses.

Dalam hal ini, Nirwana menanggapi memang masih kurangnya sosialisasi PERMA 3/2017 ini kepada hakim di 5 provinsi karena terbatasnya anggaran MA terkait sosialisasi. Namun dengan adanya calon hakim tahun 2018-2019 yang berjumlah 1500 lebih setidaknya sudah disosialisasikan PERMA 3/2017. Ini tentu menjadi masukan bagi MA agar melakukan sosialisasi PERMA 3/2017 terutama ke Pengadilan Tinggi agar nantinya Pengadilan Tinggi dapat melakukan sosialisasi ke pengadilan-pengadilan dibawahnya. Selain itu perlu adanya kesepahaman bahwa peran pendamping berbeda dengan penasehat hukum sebagaimana telah diatur dalam PERMA 3/2017 bagaimana peran pendamping. Kemudian hakim tidak diijinkan untuk menggali terkait riwayat seksual PBH namun diharapkan dapat menggali fakta seluas-luasnya.

Sukma Violetta memberikan pandangannya bahwa Komisi Yudisial selaku pengawas para hakim akan melihat para hakim dalam melaksanakan tugasnya melakukan pelanggaran-pelanggaran kode etik hakim dan selama ini Komisi Yudisial telah melakukan ini dengan beberapa cara yakni Komisi Yudisial menerima pelaporan dari masyarakat seluas-luasnya. Komisi Yudisial juga melaksanakan pemantauan persidangan apabila diminta oleh pemohon. Namun sampai saat ini laporan masyarakat terkait penanganan perempuan yg berhadapan dengan hukum masih minim. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama Komisi Yudisial dengan Komnas Perempuan agar dapat memberikan laporan jika terdapat pelanggaran hakim.

Penanggap terakhir, Dewo Broto Joko memberikan tanggapan bahwa peran Komnas Perempuan menjadi strategis dalam membantu PEMDA untuk melaksanakan SPPT PKKtP. Namun dalam draft kajian belum terlihat upaya Komnas Perempuan mengefektifkan pelaksanaan SPPT PKKtP di 5 daerah kajian implementasi PERMA 3/2017 mengingat SPPT PKKtP merupakan output PN yang diampu oleh Komnas Perempuan sejak 2018. Kedepannya juga diharapkan adanya penguatan regulasi melalui internalisasi PERMA 3/2017 kedalam RUU KUHAP, RUU PKS serta RUU bantuan hukum.


Pertanyaan / Komentar: