Apakah media masih menjalankan misi perusahaannya untuk menaikkan jumlah pembaca bahwa “kabar buruk adalah berita baik”? Melihat ramainya kasus yang mengangkat tema kesusilaan, tampaknya kita perlu mengecek lagi apakah pandangan ini menguntungkan masyarakat.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan media briefing (16/01/2019) dengan mengundang tiga pihak yaitu Winarto (Tenaga Ahli Dewan Pers), Livia Iskandar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/ LPSK) dan Rita Wibowo (Direktorat Tindak Pidana Cyber Bareskrim Polri). Tujuan dari media briefieng tersebut untuk menjelaskan kembali soal kode etik jurnalistik, serta kode etik penegak hukum dalam menyampaikan kasus kesusilaan kepada dan oleh media, serta perlindungan saksi dan korban.
Dalam Doktrin Jurnalisme menurut Winarto yang dimaksud “kabar buruk adalah berita baik” terdiri dari tiga persoalan yaitu conflict, crime dan sex. Dari penjelasan tersebut penulis mengamati bahwa pemberitaan tentang perempuan lebih banyak pada konflik rumah tangga dan perselingkuhan, hubungan pribadi, dan seks. Kalaupun sebuah berita kriminal, perempuan diberitakan dalam wilayah pembunuhan akibat kecemburuan, rumah tangga yang hancur oleh pihak ketiga, atau kekerasan seksual, dan prostitusi. Wilayah pemberitaan perempuan adalah wilayah yang paling pribadi atau privasi. Seringkali wilayah privasi ini menjadi berita hiburan. Berbeda cara menempatkannya dengan kasus-kasus korupsi, politik elektoral, budaya, humaniora, dan olahraga. Dalam wilayah publik perempuan jarang menjadi pemberitaan. Sedikit perempuan yang menjadi penulis dan komentator politik, budaya ataupun hukum. Kecuali komentar yang berkaitan dengan hal-hal yang pribadi berkaitan dengan politik, budaya dan hukum.
Wilayah pribadi atau privasi yang hanya berlaku pada perempuan ini tentu saja menjadi banyak kerugian ketika memenuhi pemberitaan. Katakanlah kasus kejahatan susila seperti penggrebekan hotel, pengarakan dan penelanjangan pasangan berzina, prostitusi online, kasus kekerasan seksual, konflik rumah tangga seperti perceraian dan hubungan pacaran, perkosaan berakibat pembunuhan dan penganiayaan. Apalagi pemberitaan yang membuahkan penghakiman publik kepada perempuan, atau berakibat balas dendam kepada korban perempuan yang berani melaporkan. Pasal kejahatan susila ternyata kebanyakan berlaku pada perempuan, dalam konteks budaya, pelanggaran kesusilaan disebabkan oleh perempuan, sebagai sumber pelanggaran moral karena distigma sebagai penggoda, perusak rumah tangga, penyebab perselingkuhan, dianggap banyak menuntut suami dan wajar bila dibunuh, serta aktor utama dalam perzinahan.
Winarto (Dewan Pers) kemudian bertanya tentang pemberitaan dalam wilayah pribadi ini, apakah peristiwa tersebut berkaitan dengan kepentingan umum? Apakah konflik rumah tangga, seks, dan hal-hal pribadi lainnya berhubungan langsung dengan kepentingan umum?
Pertanyaan kedua, sejauhmana publik memang benar-benar membutuhkan informasi tersebut? Winarto menjawab keduanya, “Yang terjadi adalah pengabaian terhadap prinsip kepentingan umum dan menimbulkan pelanggaran terhadap privasi narasumber atau objek berita, dan acapkali bukan kebutuhan, melainkan keinginan publik untuk tahu. Implikasi melayani ‘keinginan’ publik ini, membuat sebuah berita kadang ‘over exposed’.”
Winarto menjelaskan bahwa dalam pedoman etik wartawan, dalam UU Nomor 40/1999 pasal 5 tentang Pers Nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Kedua bahwa pers wajib melayani hak jawab serta melayani hak tolak.
Sementara dalam kode etik jurnalistik pasal 2 terdapat unsur yang mengatakan, bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik diantaranya menghormati hak privasi. Sementara dalam pasal 3 dikatakan diantaranya bahwa asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Dalam pasal 4 dikatakan bahwa wartawan Indonesia seharusnya tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Fitnah artinya membuat tuduhan tanpa dasar secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan, dan cabul berarti penggambaran perilaku erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi. Dan yang paling terpenting dalam pasal 5 adalah wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Data atau identitas korban artinya yang memudahkan orang lain untuk melacak. Winarto menegaskan bahwa seluruh perusahaan media seharusnya menerapkan Kode Perilaku dalam menjalankan tugas profesionalisme wartawannya.
Penjelasan Winarto tentang Doktrin, Kode Etik, Kode Perilaku dalam UU Pers ini sangat menyentuh langsung wilayah pemberitaan perempuan dalam kasus kejahatan susila atau kasus-kasus yang berkaitan dengan kehidupan pribadi atau privasi seseorang.
Tantangan Industri dan Online
Sementara itu beragam media menyampaikan bahwa persaingan industri media begitu ketat dan seringkali media yang melanggar kode etik yang menjadi laku keras di publik. Berjamurnya berita online yang membutuhkan kecepatan tinggi adalah diantaranya. Hal lainnya, banyak masyarakat biasa yang membuat majalah warga dalam bentuk online atau blog, video, dan mudah disebarkan secara kilat ke ruang-ruang sosial media yang cepat dibaca oleh publik, tanpa perlu menggunakan kode etik dan profesionalisme. Sementara publik sudah tidak dapat membedakan mana media professional dan media yang dibuat oleh individu bukan sebagai profesi jurnalis. Wilayah bebas aturan ini menjadi rentan dan tidak terkontrol. Publik bahkan beralih dari media formal profesional kepada media-media yang dibuat bebas secara pribadi. Di wilayah bebas tanpa aturan ini, kasus-kasus kesusilaan yang paling laku dan perempuanlah yang menjadi over expose dengan sangat buruk dan meruntuhkan nama baik mereka. Padahal perempuan-perempuan ini diantaranya memiliki orang tua, anak, saudara dan lingkungan yang akan ikut serta menjadi tercoreng nama baiknya. Tantangan lainnya adalah, ketika korban bersedia dan berani untuk menyatakan diri tentang apa yang dialaminya, malah dilaporkan dengan UU ITE. UU ITE sudah banyak memakan korban perempuan yang seharusnya dilindungi dalam hal kasus pelaporan kekerasan seksual.
Mereka yang Seharusnya Dilindungi
Livia Iskandar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan dan Saksi Korban/ LPSK) menanggapi persoalan ini dengan mengatakan bahwa jurnalis adalah pihak yang seharusnya turut melindungi kepentingan saksi dan korban dalam pemberitaan. Menurutnya jurnalis perlu menghindari pemberitaan yang menghakimi (asas praduga tak bersalah); terutama berkaitan dengan kekerasan seksual atau saksi, korban kejahatan susila. Sebagai salah satu lembaga negara setelah reformasi tahun 1998, LPSK berfungsi untuk menyelenggarakan perlindungan dan memberikan hak bagi Saksi dan/atau Korban untuk menghindarkan ancaman atau intimidasi baik hak maupun jiwanya dari si pembuat tindak pidana dan/atau para simpatisan (keluarga maupun para pengikutnya). Livia mengatakan bahwa LPSK pernah mendapatkan permohonan perlindungan dari unit Cyber Crime Bareskrim Mabes Polri yang membongkar jaringan prostitusi online, dan memberikan layanan pemenuhan hak prosedural berupa pendampingan saat proses peradilan termasuk pemberian keterangan secara video conference.
Sementara itu, Rita Wibowo (Direktorat Tindak Pidana Cyber Bareskrim Polri) menyatakan bahwa tidak sedikit dalam kasus cyber crime yang berkaitan dengan perempuan ditemukan kasus perdagangan orang, dan banyak perempuan mengalami revenge porn, atau penyebaran video pribadi yang ditujukan untuk media pornografi, atau digunakan untuk memeras dan mengancam serta intimidasi terhadap perempuan. Sebagaimana pernyataan Rita Wibowo, Komnas Perempuan memiliki data tentang kasus cyber crime berbasis gender terdapat 65 kasus yang dilaporkan di tahun 2018 dimana perempuan mengalami depresi dan percobaan bunuh diri dalam kasus revenge porn.
Penutup dari tulisan ini ingin mengatakan bahwa, pemberitaan perempuan yang kebanyakan memperbincangkan masalah pribadi, apalagi mengangkat korban kekerasan seksual seharusnya untuk tujuan perlindungan dan keadilan baik bagi korban dan saksi, serta menggunakan prinsip praduga tidak bersalah. Dewan Pers menegaskan bahwa sekalipun korban bersedia dan bersetuju melakukan siaran pers dan diwawancara, bukan berarti media kemudian mengeksploitasi sosoknya dan menjadi penghakiman baru bagi korban. Media seharusnya ikut membantu membongkar kasusnya sehingga pelaku mendapatkan efek jera dan korban mendapatkan keadilan untuk pemulihan bagi dirinya.
Mariana Amiruddin*
*Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan