...
Kabar Perempuan
Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan di dalam Konteks Konflik di Indonesia 2025-2045

Pada Rabu, 15 Desember 2021, Komnas Perempuan menggelar “Peluncuran Instrumen Tinjau Ulang/Revisit Wilayah Pasca Konflik dan Kerangka Peta Jalan” dengan menghadirkan narasumber yakni Samsidar (Pangampu Tinjau Ulang Instrumen Berbasis Wilayah dan Tematik), Azriana (Pengampu Tinjau Ulang Komnas Perempuan 2016-2019), Celestinus Eigya Munthe (Kementerian Kesehatan RI), Siti Ruhaini Dzuhayatin (Kantor Staf Presiden RI), Mahmud Syaltout Syahidulhaq (Tenaga Ahli Menteri Agama) hingga Ema Rahmawati (Bareskrim Polri) dengan Siti Nurwati Hodijah (Komnas Perempuan) sebagai moderator.

Andy Yentriyani, dalam sambutannya menyampaikan terkait peluncuran instrumen tinjau ulang rumusan kertas kerja pemenuhan hak konstitusional perempuan di mana upaya membangun peta kerja berangkat pada tahun pada 2014, menjelang 20 tahun reformasi, Komnas Perempuan berdasarkan pengaduan mengenali situasi bahwa situasi konflik belum berakhir, mengingat banyak aduan masuk terkait konflik intoleransi berbasis agama minoritas. Laporan lain yang diterima Komnas Perempuan yakni situasi konflik terkait persoalan SDA, studi yang disponsori oleh Asia foundation pada 2014, menemukan bahwa banyak negara di kawasan Asia, terjadi konflik berbasis SDA. Komnas Perempuan memandang situasi ini perlu ditelaah kembali terkait sumber konflik dan bagaimana menyikapinya untuk membangun negara yang aman serta berkontribusi pada perdamaian dunia mengingat Indonesia menempati posisi geopolitik yang sangat penting, sehingga keamanan Indonesia juga mempengaruhi dinamika keamanan global. Dalam upaya melakukan telaah, Komnas Perempuan memiliki instrumen tinjau ulang terkait pemenuhan hak konstitusional, di mana memilah beberapa situasi wilayah konflik, akar masalah serta rekomendasi baik kepada PEMDA hingga internasional, dimana wilayah penting pada tinjau ulang ini yakni konflik bersenjata di Aceh maupun Papua, konflik etnis di Kalimantan, hingga konflik SDA maupun agama di NTB. Dimana menjelang 100 tahun Indonesia, menjadi waktu yang tepat untuk memberikan perhatian khusus terkait upaya pencegahan dan penanganan konflik dengan memberikan perhatian pada kerentanan yang dialami oleh berbagai kelompok terutama perempuan dengan berbagai lintasan identitasnya.

Samsidar, sebagai pemapar pertama, menyampaikan terkait instrumen tinjau ulang (revisit) untuk mengidentifikasi kemajuan dan gap dalam upaya penyikapan konflik agar bisa menyusun usulan perbaikan yang mengarah pada penyelesaian yang tuntas dan mengakar termasuk dalam upaya pemajuan hak perempuan, mengingat yang menjadi urgensi yakni konflik yang terus bermunculan yang menimbulkan ancaman meskipun pada wilayah pasca konflik, sehingga meski jumlah insiden kekerasan dan korban jiwa berkurang, namun tingkat pertumbuhan tindak kekerasan yang berakibat korban jiwa tetap mengkhawatirkan, instrumen ini menggunakan pendekatan yang partisipatif, holistik, kompleks, kritis, emergent, maupun realistik, dengan enam kerangka pemikiran, seperti melawan impunitas, ekstrimisme, ujaran kebencian, perlindungan kemanusiaan, pembangunan berkelanjutan, hingga menghapus diskriminasi yang saling bersinergi dan berdasar pada instrumen hukum normatif yang ada, dimana menguji dengan 5 isu krusial seperti kerentanan baru dan pencegahan konflik, budaya dan demokrasi, hingga resiliensi masyarakat dan agensi, kemudian 5 pilar penyikapan, seperti perlindungan pertanggungjawaban hukum, pemulihan korban, pencegahan hingga partisipasi.

Azriana menyampaikan terkait refleksi terhadap Penyikapan Konflik Dalam 2 Dekade Reformasi, yang dilakukan dengan melakukan kajian terhadap peraturan per-UU-an yang berkaitan dengan penanganan konflik yang telah diterbitkan dalam 2 dekade reformasi, serta melakukan pemantauan ke wilayah pasca konflik. Dengan hasil kajian kebijakan tercatat bahwa selama 2 dekade reformasi, kebijakan penyikapan konflik telah berkembang dari segi jumlah maupun cakupannya, dimana pada setiap konteks konflik, ada kebijakan yang dapat dirujuk oleh negara untuk menyikapinya, namun kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran, yang justru menghalangi negara untuk dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk untuk memulihkan hak korban. Misalnya terkait konflik bersenjata yang didalamnya dipastikan sejumlah pelanggaran HAM terjadi, meskipun negara telah menerbitkan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, namun dari sisi subtansi maupun hukum acaranya belum bisa digunakan secara maksimal. Dalam beberapa temuan, terdapat banyak hambatan dalam pelaksaan 5 pilar penyikapan, seperti dalam konteks perlindungan, tercatat seperti tidak adanya kebijakan tentang penanganan pengungsian yang bisa dijadikan acuan terutama saat terjadi konflik bersenjata, dalam konteks penanganan konflik sosial, seperti penempatan aparat keamanan seringkali menimbulkan persoalan baru, dalam konteks pertanggungjawaban hukum, seperti tidak kunjung adanya reformasi terhadap sistem hukum pidana, dalam pemulihan, seperti penyikapan pemulihan yang sering tidak berperspektif gender kemudian dalam pencegahan seperti rata-rata penyelesaian yang tidak menyasar pada akar persoalan.

Andy Yentriyani melanjutkan terkait isu krusial, seperti adanya kesenjangan baik di aspek kebijakan maupun implementasi, yang disebabkan oleh adanya defisit demokrasi, sehingga dalam 23 tahun belum benar-benar berhasil dalam menyelesaikan potensi konflik dikarenakan efektivitas penanganan hukum yang minim, seperti dikarenakan adanya hambatan struktural termasuk di daerah dengan infrastruktur dan anggaran terbatas, serta terkait kepemimpinan perempuan dimana bukan hanya terkait partisipasi namun juga substansi dalam memajukan kesetaraan gender, mengingat kebijakan afirmasi tidak secara utuh diadopsi. Bergerak dari isu krusial ini, terdapat 6 arah rekomendasi dari Komnas Perempuan, yakni terkait perkuat kerangka kerja seperti mendorong peran aktif PEMDA, mengembangkan cara kerja yang komprehensif, perlindungan dan pertanggungjawaban hukum seperti perbaikan payung hukum diskriminatif, pemulihan dan pembangunan inklusif seperti pentingnya inisiatif reparasi mendesak, visibilitas kepemimpinan perempuan dengan memastikan mekanisme khusus perempuan, hingga mengembangkan ketahanan sosial dengan memperkuat dukungan inisiatif damai.

Celestinus Eigya dalam tanggapannya memaparkan bahwa di Kemenkes sejak tahun 2010 telah mengupayakan berbagai pendekatan untuk menghapus trauma dari konflik, juga telah mengupayakan dengan pembentukan tim psikososial di tahun 2018 yang berhubungan dengan masalah kebencanaan juga konflik, kerja sama dengan lintas organisasi serta kementerian untuk mengupayakan terkait pemulihan, kedepannya akan mendorong upaya pembentukan tim pembinaan Keswa masyarakat, sehingga penguatan psikososial dapat berkelanjutan.

Mahmud Syaltout sebagai penanggap kedua, menegaskan bahwa dari Kementerian Agama memiliki program prioritas seperti religiousity index, sebagai early warning dan monitoring system, untuk mengukur bahwa agama benar dijalankan di daerah, mengingat agama sebagai inspirasi terhadap 4 hal, yakni untuk menjaga kelestarian lingkungan, menjaga jiwa, menjaga komitmen terhadap kebangsaan, menjaga persaudaraan antar umat. Dimana dalam pemetaan 1 tahun terakhir, terdapat 1754 kasus terkait isu lingkungan mulai dari longsor hingga pelanggaran hutan adat, 574 kasus terkait pelanggaran HAM termasuk hak pribadi, 1433 terkait konflik keagamaan seperti penolakan tempat ibadah agama lain, dimana 987 kasus terkait intra agama.

Siti Ruhaini dalam tanggapannya menegaskan bahwa masalah pemenuhan HAM menjadi perhatian utama, di mana presiden mendorong untuk pengusut tuntasan pelanggaran HAM dengan 2 skema yakni mengajukan kembali RUU KKR dan Keppres hingga menjembatani komunikasi kebijakan antara pusat dengan daerah. Lebih lanjut, Ema Rahmawati dalam tanggapannya menegaskan bahwa kepolisian telah memiliki Perkep No.8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip HAM Dalam Tugas Kepolisian, di mana dalam penanganan konflik/bencana di bawah komando asisten polri, terkait standarisasi pelaksanaan tugas tetap mengutamakan HAM dalam penanganan konflik dan kebencanaan yang berkolaborasi dengan pemerintah pusat daerah. 


Pertanyaan / Komentar: