Komnas Perempuan menjadi narasumber dalam acara “Peringatan Genosida 25 Agustus Terhadap Warga Rohingya - Myanmar” di Jakarta, Kamis, (25/8/2022). Tujuan acara ini adalah untuk membangun pengetahuan secara partisipatoris publik secara luas tentang transitional justice bersama generasi muda dan perempuan pengungsi Rohingya. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menarik dukungan solidaritas masyarakat Indonesia dalam upaya penyelesaian krisis demokrasi dan krisis kemanusiaan di Myanmar. Kegiatan ini juga diharapkan dapat menghimpun kerjasama yang berbasis pada prinsip-prinsip HAM dari berbagai pihak untuk dapat mendorong proses pengungkapan kebenaran, mengakhiri impunitas, dan memulihkan korban.
Direktur Asia Justuce and Rights (AJAR) Galuh Wandita dalam sambutannya mengajak masyarakat untuk mengingat penderitaan masyarakat Rohingya, baik yang berada di daerah konflik maupun yang kini sedang berada di pengungsian. Galuh mengatakan, walaupun menghadapi konflik yang besar mereka masih memiliki mimpi dan harapan yang juga besar untuk dapat hidup normal sebagaimana masyarakat dunia lainnya, termasuk mendapatkan akses pendidikan yang layak. Harapan-harapan mereka terekam jelas pada karya berupa gambar dari sulaman benang yang terpajang di belakang panggung.
Ketua Perkumpulan Suaka, Atika Yuanita menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara ketiga yang menampung pengungsi Rohingya terbanyak setelah Afganistan dan Somalia. Namun, pemenuhan HAM bagi para pengungsi masih banyak yang belum terpenuhi. Padahal Indonesia memiliki landasan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia yang mengamanatkan untuk turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Belum ada aturan untuk pemenuhan HAM pada pengungsi, seperti hak untuk menikah, pendidikan, dan pekerjaan masih terbatas. Suaka masih terus berupaya mendorong Pemerintah Indonesia untuk memenuhi HAM pengungsi,” tutur Anita.
Pemenuhan hak-hak pengungsi masih belum terpenuhi, menurut Anita karena Pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1951 tetang pengungsi. Indonesia belum bisa menentukan status warga negara pengungsi, memberikan hak pekerjaan, dan pendidikan formal.
Koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan Soraya Ramli melaporkan hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap pengungsi Rohingya di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota Langsa Provinsi Aceh pada akhir 2017 terdapat sejumlah temuan adanya kekerasan seksual terhadap perempuan pengingsi rohingya selama di lokasi pengungsian tersebut.
Hasil laporan pemantauan Komnas Perempuan mencatat, Pengungsi Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless), mengalami konflik sosial berkepanjangan dan diskriminasi berdasarkan etnis dan agama. Keputusan mereka melarikan diri dari Myanmar adalah karena kondisi konflik, mengalami diskriminasi dan kekerasan serta karena dijanjikan oleh sindikat perdagangan manusia yang akan membawa mereka ke Malaysia menemui keluarga[Office1] . Sebagian dari mereka sudah punya tujuan untuk menemui keluarga yang terlebih dahulu tiba di Malaysia, tapi sebagian lainnya tidak punya tujuan, selain meninggalkan Myanmar untuk menyelamatkan diri.
Menurut Soraya, perempuan menjadi kelompok paling rentan dalam setiap konflik yang terjadi sehingga membutuhkan perhatian serius, baik terkait dampak langsung peristiwa, maupun dampak dari penanganan pengungsi yang kerap tidak/kurang sensitif pada kebutuhan spesifik perempuan.
“Komnas Perempuan sebagai salah satu lembaga HAM nasional juga menaruh perhatian serius terhadap kasus genosida yang terjadi di Myanmar. Kita harus memikirkan bagaimana penanganan, bagaimana upaya pemulihan harus dilihat secara spesifik. Jangan sampai malah terjadi pelanggaran/kekerasan baru,” tutur Soraya.
Soraya menambahkan, apa yang terjadi di Rohingya merupakan gambaran kasus-kasus konflik yang juga pernah terjadi di beberapa wilayah Indonesia, dan saat ini sebagian masih berlangsung. Apa yang masyarakat Rohingya alami, segala pengorbanan mereka menjadi pelajaran berharga bagi kemajuan kemanusiaan dunia.
Mantan Ketua Misi Pencari Fakta Misi PBB untuk Myanmar (UN Fact Finding Mission on Myanmar) Marzuki Darusman menyampaikan catatan-catatan khusus mengenai proses advokasi penyelesaian konflik Rohingya, termasuk diusulkannya pembentukan pengadilan HAM secara ad hoc untuk mengadili tindakan-tindakan yang bersifat genosida.
“30 tahun Myanmar menjadi persoalan di PBB. Masalahnya adalah sampai hari ini keadilan bagi Rohingya belum diperoleh sementara hal yang serupa yang terjadi pada Rohingya ini sekarang juga sedang dialami oleh kelompok-kelompok etnis lainnya di Myanmar,” jelas Marzuki.
Marzuki melaporkan bahwa tentara Myanmar yang dikenal dengan nama Tatmadaw menjadi sumber kekerasan serta pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi selama puluhan tahun dan dilakukan semata-semata karena hasrat untuk menjadi penguasa abadi tunggal di Myanmar. Menurutnya, apa yang terjadi di Myanmar juga bisa menimpa di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Oleh karena itu ia mengajak masyarakat Indonesia untuk mendorong Pemerintah Republik Indonesia secara politis mengakui National Unity Government (NUG) Myanmar sebagai pemerintahan yang sah di Myanmar karena berasal dari hasil pemilihan yang demokratis di tahun 2020.
“Kalau Myanmar terus menjalani kondisi yang otoriter seperti saat ini, maka Indonesia sebagai negara yang paling terbuka dan demokratis di ASEAN, terancam dengan negara-negara yang sistem pemerintahannya otoriter. Maka kita harus membantu Myanmar menuju ke arah demokrasi,” terangnya.
Marzuki menyoroti adanya beberapa negara di ASEAN yang mulai kembali ke sistem pemerintahan otoriter dan melakukan kejahatan genosida kepada rakyatnya. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan sehingga perlu diberikan perhatian khusus.[EF]