Sejiwa, forum pengada layanan untuk penyandang disabilitas psikososial (biasa disebut “orang dengan gangguan jiwa”, disingkat ODGJ) yang bergerak di kota Cianjur, Jawa Barat, mengadakan diskusi dengan Komnas Perempuan tentang buruknya layanan pemerintah untuk kebutuhan pengobatan dan rehabilitasi serta pengabaian keluarga dan sikap masyarakat yang melecehkan (29/1/2020). Kendati Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 merupakan payung hukum bagi penyandang disabilitas psikososial, namun banyak Rumah Sakit Jiwa (RSJ) belum menerapkannya dalam layanannya karena belum ada peraturan pelaksananya.
Siapakah penyandang disabilitas psikososial? Menurut UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna serta menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.
Sebutan Orang Gila, Keluarga Malu
Dari percakapan pemetaan masalah, persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas psikososial di Cianjur terentang dari hulu ke hilir. Keluarga tak memahami apakah disabilitas psikososial atau umum disebut gangguan jiwa itu? Umumnya keluarga merasa malu jika salah seorang anggotanya menjadi penyandang disabilitas psikososial. Ada yang dipasung dan ada yang mobilitasnya dibatasi seputar rumah saja. Bahkan ada yang menuduh gangguan jiwa itu sendiri sebagai akibat kurang beriman, kurang beribadah. Masyarakat pun menstigma penyandang disabilitas psikososial dengan panggilan orang gila.
Karena keluarga merasa malu, disabilitas psikososial dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) meski yang bersangkutan menolak keras. Padahal, untuk masuk panti rehabilitasi atau RSJ, persetujuan penyandang disabilitas psikososial merupakan haknya, bukan paksaan. Sementara layanan terhadap disabilitas psikosial di RSJ dan panti rehabilitasi, tidak manusiawi. Petugas kesehatan di Cianjur banyak yang tidak paham tentang kesehatan jiwa. Mereka sering memberikan diagnosa yang sama, misalnya, skizofrenia. Padahal disabillitas psikosial itu ada ragam tingkatannya. Kondisi buruk lain yang harus dihadapi disabilitas psikososial adalah, banyaknya oknum penjual obat di RSJ dan mereka menjualnya dengan harga mahal.
Hak Atas Pengobatan, Kebutuhan Standar Layanan di RSJ dan Panti Rehabilitasi
Akses kesehatan dan obat-obatan sangat buruk. BPJS sudah naik iurannya, namun kenaikan tidak dibarengi dengan kelancaran akses untuk obat-obatan. Harga obat tak hanya mahal, tetapi juga langka. BPJS tidak mengakomodir kepentingan disabilitas psikososial. Di Cianjur, masalah kesehatan jiwa sangat banyak. Dua puluh butir obat hanya bisa diakses oleh disabilitas psikososial, tetapi di Cianjur hanya tersedia 7 butir saja untuk sebulan. Untuk pengambilan sisa obat, misalnya tiga butir, hanya dua butir ditanggung BPJS dan sisa satu butir harus dibeli sendiri.
Akses ke rumah sakit juga sulit karena harus ke kabupaten dengan antrian yang panjang. Kuota per hari hanya untuk 80 orang, jadi kalau tidak datang pagi-pagi, tidak bisa berobat. Selain langkanya obat untuk kesehatan jiwa, yang ada juga merek lama. Dari berbagai kasus di lapangan diketahui, obat tidak cocok dengan pasien tetapi tetap dipaksakan untuk diminum sehingga memperparah kesehatan jiwa si penyandang. Belum lagi oknum obat banyak dan menjualnya dengan harga mahal. Padahal, obat baru satu soal untuk penyembuhan disabilitas psikososial. Tanpa meminum obat, gangguan jiwa semakin parah. Soal lain adalah, perlakuan keluarga dan masyarakat yang juga penting untuk mendukung pemulihan penyandang disabilitas psikososial.
Selain faktor kelangkaan dan buruknya layanan, faktor geografis juga memperburuk kondisi disbilitas psikososial. Jarak antar desa ke desa lain sekitar 10 kilometer sehingga banyak yang tidak terpapar informasi. Ada disabilitas psikososial mengalami penelantaran, tidak diberi makan layak dan dirantai. Pengetahuan rumah sakit soal pemasungan pun minim. Ada pula yang percaya pengobatan non medis ketimbang medis, mereka pergi ke dukun untuk berobat jiwa. Disabilitas psikososial dianggap kena santet atau guna-guna karena itu perlu dirukiyah.
Hak Atas Pendataan, Hak Pengobatan, Hak Pemulihan serta Hak Pekerjaan
Korban kekerasan biasanya dialami anak perempuan dan sayangnya negara tidak menjamin hak pemulihan. Misalnya, korban perkosaan, tidak dipulihkan jiwanya secara signifikan. Si pelaku dipenjara dan mendapat fasilitas dari negara sedangkan korban perkosaan tidak mendapat layanan pemulihan.
Terkait hak atas pekerjaan, tidak mendapat jaminan dari pemerintah bahwa disabilitas psikosial mendapatkan pekerjaan yang layak. Kuota tidak tersedia untuk disabilitas psikososial, hanya untuk disabilitas fisik.
Hingga hari ini tidak tersedia data lokal dan nasional tentang disabilitas psikososial. Perlu diadvokasi untuk memetakan sebaran disabilitas psikosial, RSJ dan panti sosial untuk rehabilitasi. Perlu pula disusun standar layanan di RSJ dan panti rehabilitasi yang berlaku di seluruh Tanah Air. Layanan BPJS yang memerdulikan disabilitas psikosial juga perlu diadvokasi.
Komnas Prempuan telah membantu menyediakan tempat dan memfasilitasi pembentukan koalisi. Sejiwa telah melakukan pameran karya seni dari penyandang disabilitas psikosial. Penting untuk membuat kegiatan lain selain rapat dan pameran.
Edukasi Vertikal- Horisontal
Sejiwa sendiri memandang perlu psiko edukasi dalam dua bentukan secara vertikal dan horisontal. Keluarga perlu diperlengkapi dengan pemahaman disabilitas psikososial, bagaimana menyikapi serta proses terapinya. Juga psiko-edukasi terhadap para penyandang disabilitas psikososial, pejabat dan pemegang kebijakan. Harus ada anggaran untuk kegiatan ini yang secara jelas menyebut program kesehatan mental. Seringkali pemda juga ‘membuang’ disabilitas psikososial dari daerahnya ke daerah lain untuk mengurangi jumlah. Misalnya, ‘dibuang’ dari Jakarta ke Cianjur, atau, dari Cianjur ke kabupaten lain.
Merespons kebutuhan Sejiwa untuk perlindungan, pemenuhan hak-hak disabilitas psikososial, Komnas Perempuan melihat ada dua bidang yang dapat dilakukan secara sinergis, pertama, pendidikan publik dan, kedua, advokasi kebijakan.
Para birokrat tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran serta perspektif tentang disabilitas psikososial.
Kerjasama untuk pendidikan publik bisa berupa kampanye, pameran karya seni, pembuatan film, drama, Instagram tentang pendidikan dan kesehatan jiwa. Penting bagi Komnas Perempuan untuk menyusun kertas kebijakan tentang disabilitas psikososial, kesehatan jiwa dan fasilitasnya. Di sisi lain, Sejiwa perlu memberdayakan secara ekonomi, misalnya melalui batik ‘ciprat’ karena mereka tidak bisa menggambar.
Disabilitas psikososial juga rentan terhadap kekerasan seksual yang disebabkan rendahnya pengetahuan mereka terkait dengan hak kesehatan reproduksi. Oleh karena itu perlu dilakukan pendidikan kesehatan reproduksi yang menyeluruh kepada disabilitas psikososial. Kegiatan pendidikan ini dapat dilakukan secara kolaboratif antara lembaga kesehatan, LSM, dan dengan melibatkan secara aktif peran orang tua atau care giver. (RH, BF)