...
Kabar Perempuan
Urgensi Pengesahan KILO 190 dan Rekomendasi 206 Tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Dalam rangka memeringati Hari Buruh Migran 18 desember, Komnas Perempuan menggelar “Pelucuran Kajian Awal Bekerja Degan Taruhan Nyawa Urgensi Pengesahan KILO 190 dan Rekomendasi 206 Tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” pada Senin, 20 Desember 2021, mengingat konvensi ini lahir dari prinsip yang menekankan kewajiban negara untuk menghapus diskriminasi termasuk diskriminasi sistemik terhadap perempuan pekerja di tempat kerja, acara ini menghadirkan narasumber yakni Rainy M. Hutabarat (Ketua Tim Advokasi Internasional Komnas Perempuan), Tiasri Wiandani (Ketua Tim Perempuan Pekerja Komnas Perempuan), beserta penanggap yakni Nining Elitos (Ketua Umum KASBI), serta Luluk Nur Hamidah (Anggota DPR RI), dengan dipandu oleh Satyawanti Mashudi (Komisioner Komnas Perempuan).

Acara ini diawali dengan sambutan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, yang menegaskan bahwa sepanjang dalam perjalanannya, Komnas Perempuan telah mendokumentasikan berbagai kekerasan berbasis gender, termasuk di lingkungan kerja, baik formal maupun informal. Mengingat sepanjang 2011 hingga 2019 lebih dari 900 kekerasan terhadap pekerja migran, di mana pada 2019 Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung, sekitar 62 kasus, yang berulang pada 2020, di mana Komnas Perempuan mencatat pengaduan langsung sebanyak 64, baik terkait hak maternitas, PHK sepihak perempuan hamil, kondisi kerja yang tidak layak, hingga adanya pelecehan yang tidak mendapatkan akses keadilan hukum.

Hal ini menjadi gambaran bahwa pengesahan Konvensi ILO 190 dan rekomendasinya memiliki urgensi yang besar untuk dijadikan payung hukum bagi para perempuan pekerja yang rentan terhadap diskriminasi hingga kekerasan, mengingat Indonesia yang memiliki komitmen pada penegakan HAM, termasuk dengan meratifikasi konvensi ILO 190 dan rekomendasinya, yang sejalan dengan itikad Indonesia untuk berpegang pada prinsip utama bahwa negara harus memastikan bahwa perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender. Dari hal tersebut, berdasar pada tindak lanjut dari hasil diskusi Komnas Perempuan yang menjadikan isu perempuan pekerja sebagai isu prioritas nasional, mendorong Komnas Perempuan untuk melakukan peluncuran kajian awal yang menjadi basis untuk mendorong ratifikasi KILO 190 dan rekomendasi No 206, sehingga melalui diskusi diharapkan dapat menyempurnakan kajian sebagai strategi untuk memperkuat ratifikasi dari KILO 190 dan rekomendasinya.

Rainy M. Hutabarat sebagai pemapar pertama, menyampaikan secara komprehensif terkait lingkup kajian baik dari situasi dan kondisi diskriminasi hingga mekanisme dan upaya pencegahan serta penanganan. Dalam kajian ini dijelaskan bahwa terdapat beberapa keterbatasan dalam kajian baik narasumber, waktu hingga dana yang terbatas, serta belum didalaminya dimensi hukum secara rinci terkait kekerasan berbasis gender, sehingga urgensi dari ratifikasi Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi No 206 menjadi besar dikarenakan masih banyak temuan bahwa diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja terdapat pada hampir semua sektor pekerja baik perburuhan, rumah tangga, pekerja migran, perempuan disabilitas, jurnalis hingga pekerja kreatif. Pelanggaran hak normatif juga terjadi lintas gender termasuk tereksklusinya pekerja dari jaminan sosial, upah rendah, jam kerja eksploitatif, hingga APD yang tidak memadai, yang berdampak pada menurunnya imunitas dan kesehatan secara gradual hingga turunnya produktivitas kerja, sehingga pentingnya jaminan hukum yang komprehensif sebagai wujud komitmen Indonesia dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Mengingat persoalan kekerasan dan pelecehan berbasis gender di dunia kerja masih dikecualikan dari skema perlindungan ketenagakerjaan dan perlindungan HAM perempuan.

Menyambung pembicara pertama, Tiasri Wiandani, menyampaikan bahwa pemerintah telah mengeluarkan berbagai payung hukum ketenagakerjaan, namun demikian tidak serta merta melindungi perempuan pekerja. Mengingat dari skema perlindungan ketenagakerjaan, yang paling banyak diatur adalah sektor formal meskipun minim implementasi seperti pada UU PPMI, sementara pada sektor informal lain juga minim payung hukum padahal melihat faktanya bahwa banyak perempuan pekerja di sektor informal seperti perempuan pekerja rumah tangga dengan tidak kunjung disahkannya RUU PPRT hingga ABK perempuan yang bekerja ditengah lautan dengan minim pantauan dan multi yurisdiksi. Terlebih berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dialami perempuan di dunia kerja seperti di tingkat perusahaan yang belum semua menjadikan isu kekerasan dan pelecehan sebagai poin krusial di standar Perjanjian Kerja Bersama, akibatnya tidak terjadi intervensi dan mediasi yang memadai baik dalam ketersediaan mekanisme penyelesaian maupun pemulihan hak korban. Oleh karena itu, ratifikasi KILO 190 mendesak untuk dilakukan agar skema perlindungan ketenagakerjaan dan perlindungan HAM perempuan menguat seiring meningkatnya kualitas hidup perempuan pekerja.

Sepakat dengan pemaparan narasumber sebelumnya, Nining Elitos memberikan apresiasinya terhadap Komnas Perempuan yang selalu memberikan konsentrasi terhadap upaya pemenuhan hak perempuan, khususnya perempuan pekerja, berkaca dari bagaimana kondisi objektif perempuan hari ini, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual, yang semakin mengkhawatirkan ruang aman bagi perempuan, sehingga perlu adaya keseriusan dalam upaya pencegahan dan penanganan. Mengingat tidak bisa dipungkiri, bahwa faktor patriarchy culture, maupun situasi sistematis dan struktural yang ada membuat negara masih cenderung memberi legitimasi terhadap kekerasan pada perempuan, meskipun terdapat beberapa payung hukum yang memberi perlindungan namun dalam praktik empirisnya, masih terdapat banyak persoalan ketimpangan, sehingga hal ini seharusnya dapat menjadi dasar dari adanya langkah progresif agar dapat terus melakukan keseriusan dan mendorong adanya regulasi yang melindungi kekerasan terhadap perempuan serta implementasi yang berperspektif terhadap hak-hak korban, mengingat berkaca pada kasus-kasus yang ada pada buruh migran, bahwa kekerasan maupun diskriminasi yang dialami tidak hanya pada tempat pekerjaan, namun mulai dari perekrutan hingga penampungan, banyak para perempuan pekerja migran tidak terpenuhi haknya. Termasuk juga perlindungan disabilitas, sehingga harus dilihat dari berbagai lini, mengingat masih cukup banyak terdapat keterbatasan, bukan hanya dari segi regulasi namun juga pemahaman di masyarakat.

Menanggapi pernyataan pemateri sebelumnya, Luluk Nur Hamidah sebagai penanggap pada tingkat semangat yang sama dalam upaya pemenuhan hak perempuan, turut menegaskan bahwa perlindungan terhadap para pekerja perempuan harus multidimensional, serta harus berbasis pada kesadaran untuk mendorong lingkungan yang bebas dari segala bentuk diskriminasi, mengingat kasus kekerasan seksual juga sudah pada tahap emergent, yang dapat terjadi bahkan di tempat kerja oleh pihak korporasi sekalipun. Hal inilah yang menjadi gambaran terkait urgensi dari pengesahan RUU TPKS, sehingga desakan masyarakat sipil harus terus diupayakan sebagai bagian dari strategi bersama, mengingat yang menjadi tantangan dalam ratifikasi ini seperti pihak korporasi yang memiliki resisten untuk menolak karena adanya stigma bahwa mereka akan bertanggung jawab lebih dibandingkan sebelum ratifikasi, padahal penempatan keseimbangan antara hak, kesehatan jiwa, maupun kenyamanan para pekerja di dalam dunia kerja merupakan titik objektif yang akan mempengaruhi produktivitas perusahaan, serta kondisi kesejahteraan para pekerja, akan relevan dengan misi dunia usaha, berdasar bahwa keuntungan bukan hanya dikalkukasi dalam segi ekonomis, namun juga dari segi kesehatan dan kesejahteraan dari pekerja. Terlebih dinamika politik yang ada di DPR menjadi penentu dari seberapa cepat urgensitas RUU akan menjadi RUU Inisiatif, namun dengan hadirnya para perempuan di lembaga legislatif dalam hal ini DPR khususnya Puan Maharani yang menjabat sebagai ketua DPR, diharapkan dapat meningkatkan sense of crisis untuk membangun langkah proaktif dalam upaya pemenuhan hak perempuan. Mengingat terdapat komitmen moral yang tidak bisa diabaikan, sehingga dalam kerja politik, kemaslahatan umat harus diutamakan termasuk kepada para pekerja perempuan,

Maka dari itu, melalui adanya penempatan secara utuh, yakni ratifikasi KILO 190 dan rekomendasi 206, pegesahan RUU TPKS hingga RUU PPRT menjadi wujud bahwa payung hukum yang komprehensif dan responsif gender perlu untuk terus didorong sebagai langkah proaktif dalam upaya pencegahan dan perlindungan perempuan dari segala bentuk diskriminasi, sehingga perempuan pekerja bisa mendapat perlindungan yang mumpuni dari segala lini, mengingat isu perempuan pekerja bukan hanya dihadapi dalam tatanan nasional, namun juga dihadapi secara masif pada tingkatan global.


Pertanyaan / Komentar: