Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)berdialog dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), AbdulMu'ti, beserta jajaran pada Selasa, (11/02/2025) di kantor KementerianPendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Jakarta.
Dalam dialogini, Komnas Perempuan mendiskusikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuandan anak perempuan, termasuk pernyataan Mendikdasmen mengenai konsep sekolahkhusus korban kekerasan seksual. Komnas Perempuan sebelumnya telah menyampaikanpernyataan sikap agar Pemerintah melalui Kemendikdasmen menimbang ulang rencanasekolah khusus korban kekerasan seksual.
Selain itu,Komnas Perempuan juga turut membahas program-program yang berkaitan denganpenghapusan kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan dasar danmenengah seperti integrasi hak asasi manusia berperspektif gender dalamkurikulum dan penguatan kapasitas guru, pendidikan damai, serta pengembangankawasan bebas dari kekerasan. Untuk itu, Komnas Perempuan mendorongKemendikdasmen untuk terus memperkuat program penghapusan kekerasan terhadapperempuan di lingkungan pendidikan dasar dan menengah, termasuk melaluipenguatan implementasi sejumlah kebijakan.
“Kementerian (Dikdasmen)juga dapat mengangkat dan memperluas praktik baik seperti edukasi pencegahanyang dilakukan di tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), atau pelibatankelompok sebaya (peer-group) dalam pencegahan perkawinan anak,” pungkasKetua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.
Terkaitkekerasan dan kebijakan diskriminatif di satuan pendidikan, Rusprita PutriUtami selaku Kepala Pusat Penguatan Karakter menyampaikan bahwa implementasiPeraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 46 Tahun2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan melaluipeningkatan kapasitas pemerintah daerah dan sekolah-sekolah yang memiliki TimPencegahan dan Penanganan Kekerasan dilakukan secara bertahap. Edukasi kepadapihak sekolah khususnya kepala sekolah, serta peran serta orang tua perludiperkuat,
“Perlu adamateri khusus yang disematkan dalam rumah pendidikan, yang juga bisa diaksesoleh publik untuk menanamkan kesadaran di masyarakat bahwa siapapun anak ituadalah anak kita semua” jelas Rusprita.
Mendikdasmenmenyampaikan bahwa rencana sekolah khusus korban kekerasan merupakan gagasanuntuk merespons masih adanya sikap masyarakat yang tidak berterima bahwa korbankekerasan seksual kembali melanjutkan sekolah, sekaligus juga memenuhikeinginan korban kekerasan untuk melanjutkan pendidikan. Abdul Mu’ti jugamenjelaskan bahwa konsep sekolah khusus korban serupa dengan sekolah rumah ataupusat kegiatan belajar masyarakat yang lebih informal, di mana korban kekerasandapat belajar bersama didampingi oleh relawan pengajar.
“Disebutsekolah karena ada standar kurikulum serta dapat memfasilitasi kejar paket.Kita perlu perkuat paradigma schooling menjadilearning, bahwa belajar tidak perludilakukan di sekolah namun tetap bisa mencapai kualifikasi keilmuan,” tambahAbdul Mu’ti.
KomisionerKomnas Perempuan, Bahrul Fuad menyampaikan bahwa pemerintah perlu mendorongpenerimaan masyarakat terhadap korban yang didapatkan dari pembelajaran di luarkurikulum, seperti dalam semangat sekolah inklusi, di mana siswanon-disabilitas juga belajar tentang disabilitas. Mendikdasmen menekankan bahwabentuk kerja partnership/kemitraan,yang tidak selalu struktural, dirasakan semakin penting saat ini, denganstrategi partisipasi semesta.
AlimatulQibtiyah, Komisioner dan Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan,mengapresiasi diimplementasikannya Permendikbudristek No. 58 Tahun 2024.
“Kebijakanini mengatur tidak dimunculkannya nama orang tua di blanko ijazah anak karenanama orang tua cukup dituliskan di akta kelahiran anak. Ketika dimunculkan yangsering ditulis hanya nama ayah, sehingga diskriminasi terhadap ibu,” tegasAlim.