Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja disahkan oleh DPR RI di tengah pandemi COVID-19 pada tahun 2020, meskipun mendapat kritik luas karena prosesnya yang tergesa-gesa. Salah satu isu yang tiba-tiba dimasukkan dalam UU Cipta Kerja adalah ketenagakerjaan pekerja migran, yang sebelumnya tidak ada dalam rancangan awal. UU ini mengubah dan menambah beberapa pasal dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), terutama terkait syarat dan mekanisme perizinan bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
Pengesahan UU Cipta Kerja diikuti oleh penerbitan 49 peraturan pelaksana dalam waktu tiga bulan, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2021 yang mengatur perizinan berbasis risiko. Regulasi ini berdampak signifikan terhadap tata kelola migrasi tenaga kerja, terutama dalam perizinan dan pengawasan perusahaan perekrutan pekerja migran. Hingga kini, dari 28 regulasi turunan UU PPMI yang seharusnya diterbitkan, baru sekitar 10 yang telah disahkan, mencakup PP, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Kepala BP2MI.
Komnas Perempuan melakukan kajian kritis terhadap aturan ini, terutama dalam hal perizinan dan tata kelola P3MI yang kerap menjadi aktor pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap pekerja migran. Kajian ini menyoroti sejauh mana UU Cipta Kerja dan aturan turunannya mengatur serta mengawasi perusahaan penempatan PMI. Dengan hasil kajian ini, Komnas Perempuan berharap regulasi yang ada dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja migran, khususnya perempuan, yang rentan terhadap eksploitasi dalam sistem ketenagakerjaan.