Mempertimbangkan pesatnya
perkembangan teknologi penyiaran dengan munculnya platform digital,
streaming, dan media sosial, juga adanya pergeseran
cara orang mengakses informasi, Komnas Perempuan mendukung adanya perubahan
kebijakan penyiaran untuk mengatur dan memfasilitasi
penggunaan teknologi baru ini, memastikan bahwa konten yang disiarkan sesuai
dengan standar kualitas dan regulasi yang relevan.
Perubahan kebijakan harus
mendukung akses yang lebih luas dan inklusif, dapat menjawab tantangan dalam
pengelolaan konten yang makin beragam, yakni harus menyeimbangkan antara
kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap konten yang tidak pantas,
hoaks, atau yang merugikan publik, memastikan keberagaman dan keberlangsungan
budaya lokal, juga perlu mencakup inisiatif untuk
pendidikan media, membantu masyarakat memahami dan menilai informasi yang
mereka terima, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi konten yang
tidak akurat atau bias.
Menurut
pantauan Komnas Perempuan, setelah 2020 diusulkan RUU ini tidak ada
perkembangan hingga muncul kembali pada 2024. Prosesnya baru pada tahap
penyusunan di Baleg DPR RI dan belum menjadi usul inisiatif DPR RI. Karenanya
Komnas Perempuan berharap proses pembentukan RUU Penyiaran ini tidak melanggar
setiap tahapan pengesahan kebijakan yang sesuai konstitusi, serta dilakukan
dengan membuka partisipasi publik, termasuk mempertimbangkan kepentingan
perempuan dan kelompok rentan lainnya serta mengacu pada Undang-Undang
No. 13 tahun 2022 perubahan kedua atas UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Oleh karena
itu Komnas Perempuan sangat penting untuk memberikan penyikapan dan masukan terhadap substansi RUU
Penyiaran. Komnas
Perempuan menyusun kertas kebijakan (Policy
Brief) yang berisi kajian dan rekomendasi terhadap RUU Penyiaran khususnya
memastikan RUU Penyiaran tidak mengandung muatan diskriminasi terhadap
perempuan, disabilitas dan kelompok rentan lainnya, termasuk menjamin kebebasan
berpendapat dan berekspresi sebagaimana mandat Konstitusi RI. Juga membuka
ruang partisipasi publik secara bermakna dan luas dengan membuka dialog,
mempertimbangkan masukan-masukan Kementerian/Lembaga negara termasuk lembaga
negara hak asasi manusia, media massa , organisasi masyarakat sipil, dan
masyarakat.