...
Kertas Posisi
Kertas Kebijakan Urgensi Pengaturan Mekanisme Penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) di Kepolisian Republik Indonesia

Sejak awal pendiriannya Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil telah menyusun konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP). Kekerasan yang dimaksud, meliputi setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat pada kerugian fisik, seksual, atau psikologis, atau penderitaan pada perempuan, termasuk ancaman perbuatan demikian, pemaksaan, atau penghilangan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah negara, publik maupun dalam kehidupan pribadi seorang perempuan. Pemosisian Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) sebagai subjek dalam SPPT-PKKTP diharapkan sudah dilakukan sejak adanya pelaporan dan dalam semua tahapan sistem peradilan pidana, dengan diiringi proses pemulihan melalui pendampingan dan penanganan PBH, baik secara medis, psikologis, dan sosial.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menempati peran strategis sebagai alat negara dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Untuk penegakan hukum Polri menjadi salah satu sub sistem peradilan pidana yang menjadi pintu pertama dalam proses penegakan hukum pidana. Peran kepolisian dalam penerimaan laporan, penyelidikan dan penyidikan akan menentukan proses penuntutan oleh penuntut umum dan pemeriksaan di persidangan. Hal ini berkontribusi pada pemenuhan hak perempuan atas keadilan, kebenaran dan pemulihan. Di setiap lahirnya undang-undang, seperti UU Nomor 23 tahun 2004  tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), memandatkan tugas pada fungsi penyelidikan dan penyidikan. Demikian Halnya lahirnya UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mempengaruhi pelaksanaan tugas dan peran Polri dalam menerima pelaporan/pengaduan, penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Ketentuan dari undang-undang diatas adalah pengejewantahan konsep SPPT PKKTP, dimana Sistem Peradilan Pidana (SPP) bekerja secara terpadu dengan Sistem Layanan Pemulihan Korban, seperti pendampingan hukum, psikologis, kesehatan, dan sistem pelindungan korban.

Kepolisian telah memiliki sumber daya kebijakan internal dan pelaksana penanganan PBH. Polri telah memiliki panduan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,  yaitu melalui : (a) Perkap No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana; (b) Perkap No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif; dan (c) Perkap No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana. Ketiga peraturan tersebut memandu dan menjadi standar kerja bagi anggota kepolisian untuk memberikan layanan penegakan hukum termasuk pada perempuan dan anak korban kekerasan. Namun dengan perkembangan peraturan perundang-undangan, maka ketiganya memerlukan pembaruan agar sinkron dan harmonis dengan peraturan terbaru. Sementara untuk pelaksana, Polri telah membentuk desk khusus yaitu Unit PPA, pelayanan ditangani di Ruang Pemeriksaan Khusus (RPK) yang didirikan sejak 1999. Dengan peningkatan jumlah dan perkembangan kasus KBG terhadap perempuan yang semakin kompleks dan beragam, maka Unit PPA memerlukan peningkatan status, SDM, sarana dan prasarana agar mampu memenuhi mandat undang-undang dan harapan publik, khususnya perempuan dan anak.

Penyusunan kertas kebijakan ini, dilakukan melalui rangkaian dialog pemetaan kebutuhan dengan jajaran Penyidik Unit PPA di Unit PPA Polda Metro Jaya, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan Papua, lembaga pendamping dan ahli hukum. Juga melakukan kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait dengan hak-hak perempuan yang berhadapan dengan hukum. Mudah-mudahan upaya ini berkontribusi terhadap perubahan hukum dan kebijakan yang mengedepankan pemenuhan hak kelompok rentan, khususnya perempuan.



Pertanyaan / Komentar: