RUU Masyarakat Adat telah diusulkan sejak tahun 2003. Namun, hingga akhir sidang DPR tahun 2024, rancangan undang-undang ini belum juga disahkan. Sejumlah faktor menjadi penghambat, baik dari aspek substantif maupun politik, termasuk kekhawatiran korporasi terhadap dampaknya.
Secara substantif, beberapa isu masih menjadi perdebatan. Salah satunya adalah pengakuan terhadap entitas masyarakat adat. Konflik agraria antara masyarakat adat, pemerintah, dan investor juga menjadi faktor yang memperlambat proses pengesahan RUU ini. Selain itu, perdebatan mengenai nomenklatur—apakah menggunakan istilah Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat—masih berlangsung. Penggunaan frasa Masyarakat Hukum Adat dikhawatirkan dapat merugikan masyarakat adat yang tidak memiliki hukum tertulis, sehingga mereka tidak diakui secara hukum. Padahal, masyarakat adat pada umumnya memiliki hubungan multidimensi dengan tanah dan wilayahnya, serta kaidah-kaidah hukum yang diwariskan secara turun-temurun meskipun tidak terdokumentasikan secara formal.
Buku ini menjelaskan pandangan Komnas Perempuan mengenai keberadaan perempuan adat dalam RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA). Selain itu, buku ini juga memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengambil langkah tindakan khusus sementara (affirmative action), sebagaimana diamanatkan dalam CEDAW, guna mempercepat pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, terutama perempuan adat.