...
Laporan Kelembagaan
Laporan Tahunan Hasil Kerja Komnas Perempuan Tahun 2023 - Menyiapkan Langkah ke Depan

DI TENGAH hiruk-pikuk persiapan penyelenggaraan Pemilu, pada tahun 2023 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 4.374 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan, jumlah yang hampir sama dengan tahun 2022 sebesar 4.371 kasus. Dengan jumlah pengaduan ini berarti rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 11 kasus per hari. Sebesar 75,5% atau 3.303 kasus di antaranya adalah kekerasan berbasis gender, dengan kasus terbanyak di ranah personal (59%, 1.944 kasus), disusul dengan kasus di ranah publik (38%, 1.271 kasus) dan selebihnya (88 kasus) terjadi di ranah negara. Dari bentuknya, kekerasan terbanyak dilaporkan adalah kekerasan psikis sebesar 41%, dan masing- masing 25% untuk kekeran fisik dan seksual, serta 9% untuk kekerasan ekonomi. Penting dipahami bahwa satu korban dapat mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan.

 

Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2023, kompilasi data pengaduan kasus ke Komnas Perempuan bersama dengan kasus yang dilaporkan ke 123 lembaga layanan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat serta ke institusi penegak hukum menunjukkan angka 289.111 kasus. Seperti juga laporan kasus ke Komnas Perempuan, data kompilasi juga menunjukkan komposisi terbesar kekerasan yang dilaporkan adalah yang terjadi di ranah personal, yang telah menjadi pola sejak UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disahkanpadatahun2004.Namun,padatahun2023 juga mulai terindikasi penggeseran penambahan yang signifikan pelaporan kasus kekerasan di ranah publik menjadi 43% dari yang sebelumnya 22% kasus yang dilaporkan ke lembaga-lembaga selain yang terdata di Badan peradilan Agama (Badilag). Juga terdapat peningkatan hampir dua kali lipat pada pelaporan kasus kekerasan di ranah negara, utamanya kasus terkait konflik sumber daya alam, tata ruang dan agraria.

 

Mengantisipasi angka pelaporan kekerasan seksual meningkat, upaya untuk mempercepat perumusan aturan pelaksana dari UU TPKS dilakukan sepanjang tahun 2023 menjadi prioritas kementerian/lembaga terkait, termasuk Komnas Perempuan. Selain itu, juga tampak geliat percepatan penyikapan kebijakan diskriminatif pasca sidang Universal Periodic Review 2022, khususnya dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak dan Kementerian Hukum dan HAM. Namun, upaya serupa belum tampak dalam hal pelindungan bagi perempuan pekerja, baik dalam pembahasan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah tertunda lebih 18 tahun dan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi untuk pelindungan pekerja rumahan. Kondisi serupa ini juga tampak dalam pembahasan payung hukum pelindungan bagi masyarakat adat, maupun dalam hal tata kelola sumber daya alam yang lebih mampu memastikan pembangunan yang berkelanjutan, partisipasi yang substantif dari warga dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

 

Upaya penyikapan kebijakan diskriminatif tidaklah gampang. Misalnya saja rekomendasi Komnas Perempuan agar Qanun Jinayat, peraturan daerah di Aceh tentang tindak pidana, untuk melakukan moratorium pada kasus pelecehan seksual dan perkosaan, serta bentuk hukuman cambuk. Hingga kini, rekomendasi tersebut masih dalam tahap pembahasan. Penerbitan kebijakan diskriminatif juga masih ada, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 yang melarang hakim melakukan pencatatan perkawinan beda agama, yang akan memiliki dampak diskriminasi langsung dan tak langsung bagi kehidupan perempuan dalam perkawinan beda agama dan/atau kepercayaan.

 

Dalam hal penyikapan pelanggaran HAM masa lalu, gagasan untuk meratifikasi Konvensi Pelindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa yang berlanjut dengan pembahasan di DPR RI sempat menghadirkan harapan bagi komunitas korban dan masyarakat sipil. Demikian pula kick off pelaksanaan program penyelesaian non judisial untuk pelanggaran berat HAM di masa lalu, meski di saat bersamaan terdapat kritik mengenai proses yang kurang partisipatif, belum efektif menyikapi kebutuhan korban dan kurang terkoordinasi antara mekanisme HAM yang ada di tingkat nasional dan daerah. Agenda pendidikan damai, termasuk model pendidikan yang memperkenalkan situs- situs ingatan, juga masih menjadi gagasan yang bersifat parsial, adhoc dan lebih banyak menjadi inisiatif masyarakat sipil dan komunitas penyintas. Sementara, di Papua dan Papua Barat, intensitas kekerasan tampak belum dapat mereda, dan bahkan dikuatirkan akan semakin meningkat pasca keputusan untuk pemekaran wilayah provinsi di sana.

 

Bagi Komnas Perempuan secara khusus, tahun 2023 dicanangkan menjadi tahun reflektif yang yang dimaksudkan untuk meneguhkan kemajuan- kemajuan dalam mewujudkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak perempuan. Refleksi yang dilakukan berkaitan dengan momentum 25 tahun Komnas Perempuan, yang menghadapkannya pada berbagai dinamika dan perkembangan situasi yang membutuhkan strategi dan pendekatan kerja yang lebih tangkas dalam menyikapi peluang maupun tantangan ke depan.

 

Dinamika dan perkembangan situasi yang dimaksud terjadi di tingkat lokal, nasional dan juga internasional. Pengalaman kondisi tidak terduga berdampak masif dan sistematis seperti dalam pandemi Covid-19, krisis iklim yang terus memburuk,perangdaninvasisertadayamekanisme internasional untuk merawat perdamaian dan memutus impunitas pelaku kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan lainnya, intensitas yang meningkat dalam kasus transnasional dan yang difasilitasi oleh teknologi, percepatan kemajuan digitalisasi yang seperti pedang bermata dua bagi perempuan secara khususnya, adalah bagian dari deret tantangan yang perlu diperhitungkan dalam refleksi tersebut.

 

Proses refleksi sepanjang tahun 2023 memberikan ruang untuk mempertajam peta jalan untuk upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan 2020-2045 yang telah disusun Komnas Perempuan. Hasil penajaman itu menjadi rujukan dalam pengembangan rencana kerja Komnas Perempuan pada periode berikutnya, yang kemudian akan disusun dalam bentuk Rencana Strategis (Renstra) Komnas Perempuan 2025- 2029. Proses refleksi Komnas Perempuan juga pas waktunya mengingat hasil penajaman peta jalan Komnas Perempuan dapat menjadi masukan pada rumusan Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional 2025-2045, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang proses perumusannya juga berlangsung sepanjang tahun 2023 dan 2024.

 

Proses refleksi Komnas Perempuan juga pas waktu dalam rangka menyongsong tahun politik Indonesia 2024 yang ditandai dengan pemilihan umum (Pemilu) kepala pemerintahan dan anggota parlemen di tingkat nasional maupun daerah. Karenanya, refleksi dan penajaman peta jalan dapat menjadi masukan bagi para calon kepala pemerintahan dan juga anggota parlemen, serta bagi warga, dalam mengembangkan agenda kebijakan dan program yang perlu dilakukan ke depan terkait upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan. Hal ini semakin penting mengingat bahwa proses persiapan pemilu kali ini juga ditandai dengan sejumlah kritik terkait komitmen atas keterwakilan perempuan dalam berbagai ruang penyelenggaraan pemilu.

 

Dalam kerangka refleksi, Komnas Perempuan melakukan tinjauan 21 tahun Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU). Sejak digagas pada tahun 2001, CATAHU mengompilasi kasus-kasus yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, berbagai lembaga layanan yang diselenggarakan oleh negara dan masyarakat, serta institusi penegak hukum. Dengan semangat kerelawanan dan gotong royong, jumlah lembaga/institusi yang terlibat dalam CATAHU bertambah, dari 25 lembaga pengada layanan yang turut mengumpulkan datanya pada tahun 2001 dan mencapai 1.821 lembaga pada sampai Catahu 2022, atau naik 73 kali lipat. Hingga kini, Catahu masih menjadi rujukan andalan data nasional yang dinanti banyak pihak.

 

Melanjutkan refleksi CATAHU 21 tahun tersebut, Komnas Perempuan mengagas pemutakhiran Peta Kekerasan terhadap perempuan yang diterbitkan Komnas Perempuan pada tahun 2022. Menampilkan isu-isu utama dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan dari aspek kompleksitas kasus dan upaya penanganannya, Peta Kekerasan menjadi wujud bangunan pengetahuan dari pengalaman perempuan korban kekerasan dan para pendamping korban serta perempuan pembela HAM lainnya. Proses pemutakhiran ini masih terus berjalan untuk difinalisasi pada tahun 2024.

 

Sebagai bagian dari proses menyiapkan langkah ke depan tersebut, pada tahun 2023 Komnas Perempuan melanjutkan upaya menyusun laporan pelaksanaan 25 tahun ratifikasi Konvensi Penyiksaan, Penghukuman dan Perlakuan lain yang Kejam atau Tidak Manusiawi (CAT). Sebagai satu-satunya lembaga nasional yang mandatnya secara khusus dilekatkan dengan UU No. 5 tahun 1998 mengenai ratifikasi CAT, dan mengingat perkembangan pemikiran global tentang Konvensi ini pada isu perempuan sebagaimana mana tergambar dalam perkembangan Rekomendasi Umum Komite CAT, serta mencermati berbagai upaya di tingkat nasional dan lokal untuk melakukan pencegahan dan penanganannya.

 

Upaya penyusunan laporan ini perlu melibatkan banyak pihak. Komnas Perempuan menempatkan upaya ini dalam kerangka Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang dibangun sejak 2018 oleh Komnas Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pada tahun 2023, Komisi Nasional Disabilitas (KND) turut menjadi anggota KuPP dan Komnas Perempuan menjadi koordinator KuPP. Penyusunan laporan ini juga melibatkan masyarakat sipil dan akademisi, dan menggunakan pendekatan Dengar Kesaksian Umum (DKU) yang memberikan ruang bagi pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat sipil dan komunitas penyintas/korban untuk memberikan informasi dan pengamatannya tentang situasi yang dihadapi dan rekomendasi untuk menyikapinya dengan lebih baik. Sebanyak 469 orang terlibat dalam proses, termasuk 37 orang korban dan keluarganya, dan 84 aparat negara, di antaranya 32 polisi, 6 jaksa, 24 wakil kementerian dan 16 wakil pemerintah daerah. Laporan akhir dari refleksi 25 tahun ini akan disampaikan pada tahun 2024.

 

Dalam aspek penanganan kasus, proses refleksi juga dikuatkan dengan pemantauan kebijakan dan praktik keadilan restoratif di 9 provinsi, 23 kota/kabupaten di Indonesia. Pemantauan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan mitra-mitra daerah yang adalah juga pendamping korban sebagai pelaksana pemantauan, mulai dari mengembangkan instrumen pemantauan, pelaksanaan wawancara dan juga analisis data. Sebanyak 449 orang menjadi narasumber dalam pemantauan ini, yang berasal dari institusi penegak hukum di semua tingkatan, lembaga layanan pemerintah dan lembaga layanan masyarakat, lembaga agama, lembaga adat, lembaga sosial lainnya serta korban.

 

Hasil pemantauan menunjukkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kebijakan penyelenggaraan keadilan restoratif dan dalam penguatan kapasitas penyelenggara sehingga dapat mencapai tujuan keadilan restoratif dalam memastikan pemulihan korban, memutus impunitas, dan mencegah keberulangan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Kebutuhan ini perlu direspon segera mengingat proses penyelenggaraan keadilan restoratif diajukan sebagai arah pembangunan hukum Indonesia terkait dengan penyelenggaraan akses keadilan dan pemulihan korban dan juga untuk mengatasi kondisi overcrowding di lembaga pemasyarakatan.


Pertanyaan / Komentar: