Desentralisasi adalah prasyarat mutlak bagi proses demokratisasi yang tengah bergulir di Indonesia sejak dimulainya era reformasi pada tahun 1998. Dalam praktiknya, desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah tidak hanya menciptakan ruang-ruang baru demokratisasi, tetapi juga memunculkan kebijakan-kebijakan daerah yang diskriminatif yang menjauhkan negara dari tanggungjawabnya memenuhai hak-hak konstitusional warga negara, khususnya perempuan.
Menanggapi situasi ini, Komnas Perempuan memprakarsai sebuah pemantauan untuk memahami kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam proses demokratisasi di Indonesia dan menemukan titik-titik rentan dalam sistem otonomi daerah yang berakar pada ketidaksempurnaan sistem nasional, dan bukan sekedar persoalan lokal yang spesifik pada daerah-daerah tertentu. Kebijakan yang diskriminatif lahir dari praktik pengutamaan demokrasi prosedural. Praktik ini mengandung unsur eksploitasi ketidaksempurnaan mekanisme partisipasi dan akuntabilitas publik dan pembiaran tirani “kehendak mayoritas” lokal, yang berjalan selaras dengan politik pencitraan, kevakuman perlindungan substantif, serta pengerdilan kemandirian masyarakat akibat intervensi negara yang berlebihan dalam hal agama/moralitas. Pengutamaan demokrasi prosedural ini menyebabkan defisit kualitas demokrasi dan mengarahkan Indonesia ke kondisi kritis karena mempertaruhkan bangunan negara-bangsa Indonesia.
Sebanyak 154 kebijakan daerah yang diterbitkan di tingkat provinsi (19 kebijakan),
tingkat kabupaten/kota (134 kebijakan) dan di tingkat desa (1 kebijakan) antara 1999
dan 2009 menjadi sarana pelembagaan diskriminasi, baik dari tujuan maupun sebagai
dampaknya. Kebijakan daerah tersebut diterbitkan di 69 kabupaten/kota di 21 provinsi
dan lebih dari setengah kebijakan daerah yang diskriminatif itu (80 kebijakan) diterbitkan
nyaris serentak, yaitu antara 2003 dan 2005. Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur adalah 6 provinsi yang
kabupatennya paling gemar menerbitkan kebijakan daerah yang diskriminatif. Hanya
ada 39 kebijakan daerah di tingkat provinsi (14 kebijakan), kabupaten/kota (22 kebijakan)
dan desa (3 kebijakan) yang bertujuan memenuhi hak korban atas pemulihan.