Pada tahun 2022, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan oleh Pemerintah sebagai payung hukum nasional yang memberikan terobosan dalam perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Namun, di Aceh, penanganan kasus pelecehan seksual dan perkosaan masih menggunakan Qanun Hukum Jinayat. Hal ini disebabkan oleh status Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus yang telah memberlakukan Qanun Hukum Jinayat sejak tahun 2015, yang mencakup pengaturan mengenai tindak pidana pelecehan seksual dan perkosaan.
Kompleksitas dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Aceh masih menjadi tantangan, karena Qanun Jinayat lebih berfokus pada pelaku atau terdakwa daripada hak-hak korban. Beberapa permasalahan yang masih ditemukan antara lain redaksi aturan yang multitafsir, kurangnya pengaturan hak korban yang komprehensif, serta mekanisme restitusi (dalam Qanun Hukum Acara disebut Kompensasi) yang hampir tidak pernah diterapkan karena ketiadaan aturan teknis pelaksanaannya.
Komnas Perempuan menilai penting untuk memahami kondisi perempuan di Aceh setelah diberlakukannya UU TPKS. Oleh karena itu, bersama sembilan perwakilan organisasi masyarakat sipil dalam Jaringan Pemantau 231 yang tersebar di lima kabupaten—Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Utara, dan Bener Meriah—Komnas Perempuan melakukan pemantauan. Hasil pemantauan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai penanganan kekerasan seksual di Aceh pasca satu tahun berlakunya UU TPKS.