...
Opini Pendapat Pakar
Jejak Mekanisme HAM Internasional dalam Mendorong Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Oleh: Sondang Frishka Simanjuntak

Jejak Mekanisme HAM Internasional dalam Mendorong Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Sondang Frishka Simanjuntak 

(Badan Pekerja Tim Advokasi HAM Internasional)

 

 

Pada tanggal 12 April 2022 Sidang Paripurna DPR RI mengesahkan sebuah Undang Undang baru yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang kemudian diumumkan oleh Sekretariat Negara sebagai Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)Pengesahan UU TPKS telah menempuh perjalanan panjang sejak 2015 hingga 2019 ketika pertama kali naskah akademis mulai didiskusikan dan kemudian sempat megalami keluar masuk dalam prioritas pembahasan di DPR RI. 

Selama proses perjalanan panjang dari 2015 hingga ke tahun 2022 di parlemen dan berbagai pembahasan di tingkat masyarakat sipil, ada satu proses yang juga berjalan untuk mendorong pengadopsian UU ini yaitu melalui pengimplementasian sistem HAM PBB. Secara sederhana yang dimaksudkan dengan implementasi sistem HAM PBBadalah proses advokasi pengadopsian UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual melalui penggunaan mekanisme hak asasi manusia yang berlaku kepada negara Indonesia. 

Indonesia sebagai negara anggota PBB memiliki kewajiban untuk melakukan review terhadap kemajuan pemenuhan HAM di Indonesia secara berkala yaitu 4-5 tahun sekali. Mekanisme review ini dinamakan dengan Universal Periodic Review (UPR) atau Tinjauan Berkala Universal, dimana kondisi HAM suatu negara ditinjau secara peer review oleh negara-negara anggota PBB lainnya untuk kemudian mendapatkan sejumlah rekomendasi. 

Sejauh ini Indonesia sudah mengalami 3 (tiga) kali siklus UPR yaitu pada tahun 2008, 2012 dan 2017 dan yang ke-4 segera akan dilakukan pada bulan November tahun ini. Pada UPR siklus ke-3 (2017), Indonesia mendapat 225 rekomendasi dari 110 delegasi negara, dan akhirnya mengadopsi 167 dari 225 rekomendasi yang diterima. Bila suatu negara menyatakan mengadopsi suatu rekomendasi, maka artinya negara tersebut berkomitmen untuk menjalankan rekomendasi yang diadopsi tersebut. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan ( Seri Dokumen Kunci 12,  Laporan dan Proses Advokasi Komnas Perempuan dalam Mekanisme HAM PBB bagai Pemajuan HAM Perempuan Indonesia, 2018), isu HAM perempuan termasuk yang terbanyak yang direkomendasikan oleh berbagai negara dalam sidang UPR tahun 2017. Setidaknya ada 74 rekomendasi yang terkait langsung dengan pemenuhan HAM perempuan, diantaranya adalah rekomendasi untuk menghapuskan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan termasuk menguatkan sistem hukum untuk kriminalisasi segala bentuk tindakan kekerasan seksual. Sejumlah negara juga merekomendasikan agar korban kekerasan mendapatkan pemulihan dan mendapatkan jaminan tidak terjadi impunitas terhadap pelaku kekerasan.

Selain kewajiban mengikuti mekanisme UPR, dimana kewajiban tersebut timbul karena Indonesia adalah negara anggota PBB, kewajiban HAM lainnya timbul karena Indonesia sudah menjadi negara pihak pada 8 dari 9 konvensi internasional pokok yang ada. Sampai saat ini Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi pada perempuan (1984), Konvensi Hak Anak (1990), Konvensi Menentang Penyiksaan (1998), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (1999), Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (2006), Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (2011) dan yang paling terakhir Konvensi Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya ( 2012). Masing-masing Konvensi memiliki komite yang bertugas untuk memeriksa laporan negara pihak secara periodic mengenai implementasi konvensi tersebut di negaranya. Pada satu decade terakhir , 2012 hingga 2022, Indonesia setidaknya telah memberikan pelaporan pada Komite Hak-hak Sipil dan Politik dan pada Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya keduanya pada tahun yang sama yaitu pada tahun 2012 dan dua kali pelaporan periodic kepada Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW), dimana masing-masing sidangnya sudah dilakukan pada tahun 2012 dan 2021.  

Mencermati hasil amatan akhir berbagai komite tersebut terhadap implementasi masing-masing konvensi, terlihat bahwa rekomendasi terkait isu kekerasan seksual bukan hanya dimunculkan oleh Komite CEDAW, tetapi juga oleh Komite Hak-hak Sipil dan Politik dan Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam dokumen amatan akhirnya (Concluding Observation 2013), Komite Hak-hak Sipil dan Politik (Komite HAM) menyampaikan keprihatinan terkait masih adanya praktek-praktek berbahaya bagi perempuan seperti P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan) dan perkawinan anak. Komite HAM juga memberi perhatian khusus terhadap pemidanaan tindak perkosaan dalam hukum Indonesia yang sangat tidak memadai dan menghambat pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual. Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ( Komite CESCR) juga mengangkat isu tentang kekerasan seksual dalam dokumen amatan akhirnya (Concluding Observation 2014) terhadap laporan awal pemerintah Indonesia atas implementasi konvensi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam pembahasan tentang Hak atas Pekerjaan, Komite mempertanyakan perlindungan atas pelecehan seksual di tempat kerja dan kekerasan seksual terhadap para pekerja rumah tangga. Secara khusus Komite CESCR merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia memperkuat legislasi untuk tindakan kekerasan terhadap perempuan, termasuk mengkriminalisasi segala jenis tindak kekerasan seksual. 

Komite CEDAW yang merupakan pengampu Konvensi CEDAW, konvensi utama untuk pemenuhan HAM perempuan, selalu mengangkat tentang isu kekerasan seksual dalam 2 (dua) dokumen amatan akhirnya (Concluding Observation 2012 dan 2021). Komite CEDAW memasukan isu kekerasan seksual dalam beberapa isu tematik , diantaranya mengenai pelecehan seksual di tempat kerja dalam isu pekerjaan, mengenai eksploitasi seksual dalam isu pekerja migran dan mengenai hak Kesehatan reproduksi dalam isu Kesehatan. Komite CEDAW secara khusus memberikan catatan terhadap minimnya kasus kekerasan seksual yang diproses hingga ke tingkat pengadilan, dimana hal tersebut ditenggarai salah satunya disebabkan oleh minimnya perangkat hukum yang memadai untuk menjerat pelaku kekerasan seksual termasuk tindak pidana perkosaan yang masih diatur melalui KUHP. Selain itu secara khusus Komite CEDAW juga menyoroti impunitas kasus-kasus kekerasan seksual di wilayah konflik, kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dengan diskriminasi berlapis (perempuan etnis dan agama minoritas) dan berbagai bentuk penyiksaan seksual yang terjadi di tempat tahanan dan serupa tahanan.  

Pada dokumen amatan akhir tahun 2021, Komite CEDAW kembali mengulang rekomendasi pada tahun 2012 terkait isu kekerasan seksual, kali ini secara lebih kongkrit yaitu rekomendasi agar pemerintah Pemerintah Indonesia mempercepat proses pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Selain mekanisme review UPR dan pelaporan periodik sebagai negara pihak pada berbagai konvensi, mekanisme HAM lainnya yang juga mengikat Pemerintah Indonesia adalah mekanisme Prosedur Khusus. Prosedur Khusus terdiri dari para ahli HAM independent yang memiliki mandate untuk melakukan pelaporan atas isu-isu HAM spesifik. Pada tahun 2017, Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kesehatan, Mr. Danius Puras, agar secara resmi melakukan kunjungan ke Indonesia. Dalam kunjungan tersebut, Mr. Dainius Puras seorang profesor dan psikiatri dari Lithuania,melakukan serangkaian pertemuan dengan berbagai pihak di beberapa wilayah untuk mendapatkan gambaran mengenai situasi pemenuhan hak atas Kesehatan di Indonesia. Pasca kunjungan,  Pelapor Khusus mengeluarkan laporan resmi yang dipresentasikan pada sesi dengan Dewan HAM di tahun 2018. Dalam laporan tersebut, Pelapor Khusus PBB Hak atas Kesehatan menyoroti mengenai kasus-kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas dan mengenai pemenuhan hak kesehatan reproduksi terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Sebagai tambahan informasi bahwa Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kesehatan menyambut baik pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang pada tahun 2017 sudah masuk dalam daftar prioritas prolegnas di DPR RI dan memberi dukungan agar RUU tersebut segera mendapat prioritas untuk disahkan.

Bila kita mundur sedikit ke periode sebelum 2012-2021, Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan, Ms Rhadika Coomaraswami, juga telah melakukan kunjungan resmi ke Indonesia pada akhir tahun 1998Dalam laporan akhirnya, Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan menyampaikan sejumlah hal penting yang kemudian menjadi salah satu arah advokasi penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Temuan utama yang disampaikan oleh Ms. Rhadika yang berkebangsaan Srilanka ini diantaranya mengenai sulitnya pengungkapan kasus kekerasan seksual di Indonesia karena masih digunakannya budaya patriarki yang mendiksriminasi perempuan sebagai tameng untuk pengungkapan kasus. Hal ini juga diikuti dengan masih lemahnya perangkat hukum yang sesuai standard HAM universal untuk pengungkapan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, seperti ketiadaan perlindungan saksi dan korban, ketiadaan legislasi mengenai tindak pidana kekerasan seksual dan lemahnya definisi perkosaan dalam KUHP yang masih digunakan oleh Indonesia.

Pada tahun 2021, Pelapor Khusus PBB Kekerasan terhadap Perempuan Ms Dubrovka Simonovic, pemegang mandat pada tahun 2015-2021 mengeluarkan laporan mengenai Perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Laporan yg merupakan hasil kajian global yang mendapatkan input dari berbagai pihak dari berbagai negara ini (termasuk mendapatkan input dari Indonesia) menyampaikan rekomendasi agar setiap negara merevisi hukum nasionalnya mengenai pemidanaan terhadap tindak pemerkosaan agar sesuai dengan standar HAM universal. Standard yang dimaksud adalah pendefinisian tindak pidana pemerkosaan yang mendefinisikan pemerkosaan terhadap semua orang ( tidak hanya terhadap perempuan sebagaimana yang berlaku pada KUHP), termasuk perkosaan dalam perkawinan  dan segala bentuk penetrasi berdimensi seksual. Lebih lanjut definisi pemerkosaan harus  secara eksplisit memastikan ketiadaan persetujuan sebagai salah satu unsur tindak pidananya. Laporan pelapor khusus juga menghasilkan sebuah dokumen yang diberi nama “Model Rape Law” sebagai rujukan bagi negara-negara untuk mengharmonisasi ketentuan hukumnya dalam pemidanaan dan penuntutan kasus-kasus pemerkosaan.

Saat ini Indonesia sedang dalam proses menghasilkan hukum pidana baru untuk menggantikan KUHP peninggalan jaman kolonial yang sudah sangat tidak relevan. Adalah merupakan kesempatan baik bagi para pembuat kebijakan untuk merujuk kepada standard HAM Internasional yang sudah disampaikan oleh berbagai mekanisme HAM untuk memastikan pemenuhan seutuhnya hak-hak korban kekerasan .  Pada tahun 2022 ini, Indonesia akan menghadapi 2 (dua) sidang penting dalam mekanisme HAM internasional, yaitu sesi sidang dengan Komite Hak-hak Penyandang Disabilitas pada bulan Agustus, dan sesi sidang UPR siklus 4 pada bulan November. Indonesia tentu bisa dengan leluasa memberikan tanggapan bahwa salah satu rekomendasi mekanisme HAM internasional yang sejak satu dekade terakhir direkomendasikan dan sudah dilaksanakan melalui pengesahan UU TPKS. Sementara itu pekerjaan rumah yang tersisa adalah memastikan implementasi UU TPKS yang tentu akan menjadi agenda pembahasan dalam berbagai sidang mekanisme HAM internasional di waktu-waktu mendatang.[]

 

 

 


Pertanyaan / Komentar: