Komnas Perempuan menemukan kasus perkawinan yang tidak tercatat pada tahun 2012-2015. Pada tahun 2012 perkawinan yang tidak tercatat marak dilakukan oleh pejabat public. Diantaranya dilakukan oleh Bupati Lombok Tengah NTB, HM Suhaili FT dengan BLM dan yang menajdi saksi pernikahan adalah anggota Badan Kehormatan DPRD Lombok Tengah. Perkawinan tidak tercatat lainnya dilakukan oleh Wakil Walikota Magelang Joko Prasetyo dengan SZN, menurut istri Wakil walikota SR, suaminya telah menikah siri pada tanggal 18 Oktober 2012, sejak menikah SR mengaku suami sering selingkuh beberapa kali. Selain itu perkawinan tidak tercatat dilakukan juga oleh Walikota Palembang, Eddy Santana Putra, Walikota Palembang melakukan perkawinan tidak tercatat dengan seorang perempuan bernama ESP tanpa sepengetahuan istrinya, SM. SM mengalami penderitaan psikologis karena beredar publikasi pelaku dan ESP sebagai pasangan suami istri walikota pada surat kabar, televisi, baliho maupun papan reklame resmi milik pemerintah Kota Palembang.
Ditahun yang sama, tahun 2012 media ramai diberitakan dengan perkawinan secara siri yang dilakukan oleh Aceng Fikri, seorang Bupati Garut Jawa Barat dengan gadis FO yang berusia 18 tahun pada tanggal 14 Juli 2012. FO merupakan lulusan SMA yang diajanjikan akan disekolahkan oleh Aceng. Namun perkawinan yang tidak di catatkan di kantor urusan agama itu hanya berlangsung 4 hari. Aceng menceraikan FO pada tanggal 19 Juli 2012 lewat layanan pesan singkat alias SMS dengan alasan FO bau mulut dan sudah tidak perawan lagi saat malam pertama. Ketik dimintai pertanggungjawaban, Bupati menteror dan mencaci FO melalui SMS. Menjelang pertengahan tahun 2013, seorang laki-laki berumur 67th menjadi sorotan media, kehidupannya terungkap karena sudah mengawini tidak kurang dari 25 perempuan. Hingga tahun 2013 laki-laki yang dikenal dengan Eyang Subur masih mempertahankan 8 istri yang hidup bersamanya dibawah satu atap. Perkawinan yang dilakukan Eyang Subur dilakukan secara siri.
Sepanjang tahun 2015 data perkawinan yang tidak tercatat (perkawinanan secara agama atau secara adat) yang diadukan ke Komnas Perempuan sejumlah 71 kasus. 50 diantaranya korban mengaku telah dinikah siri dan 18 kasus diantaranya dinikah siri sebagai istri kedua atau ketiga. 25 kasus suami kobran menikah lagi secara siri dan 10 kasus perempuan dicerai secara agama. Perempuan yang dinikah siri dilatar belakangi karena hamil atau karena anak, tidak mendapat izin istri pertama, suami sebagai pejabat publik, tidak mendapat persetujuan orangtua dan faktor ekonomi. Sedangkan perempuan yang dinikah siri sebagai istri kedua atau ketiga umumnya tidak mengetahui sebelumnya jika pasangannya memiliki istri atau sedang mengurus proses perceraian.
Dari 71 kasus data pernikahan tidak tercatat 42 diantaranya praktek poligami atau suami memiliki lebih dari satu istri. Beberapa diantaranya adalah pelaku pejabat public yaitu PNS, Pejabat BUMN, ketua KPU Kabupaten Yalimo Propinsi Papua, dan Wakil ketua DPD RI. Istri mengalami kesulitan bercerai dari suaminya atau diceraikan sepihak, dari 71 kasus ada 11 perempuan yang dicerai secara agama.
Perempuan yang dinikah tidak tercatat rentan mengalami kekerasan seperti kekerasan fisik yaitu dipukul, ditendang bahkan saat hamil, mendapat ancaman akan dibunuh, diceraikan, ditinggalkan, diusir dari rumah, dan dihadapkan sebagai pelaku kejahatan dalam perkawinan dengan istri pertama. Korban juga sering mendapatkan kekerasan seksual seperti pemaksaan menggugurkan kandungan, dipaksa dalam melakukan hubungan seksual karena dianggap sebagai istri yang belum dicerai atau sebagai negosiasi jika ingin mendapatkan nafkah untuk anak-anaknya.
Kesulitan bagi perempuan yang dinikah secara agama/adat adalah tidak ada pengakuan Negara sebagai istri dan anak yang sah dimata hukum ini mengakibatkan anak-anak yang lahir hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Meskipun ada terobosan hukum dari Mahkamah Konstitusi yang mengatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan laki-laki, namun praktiknya sangat sulit. Karena, tidak semua laki-laki mau melakukan tes DNA. Dan Istri juga tidak mendapat perlindungan hukum jika menjadi korban KDRT, kesulitan menuntut hak nafkah lahir batin, tunjangan nafkah pasca perceraian, dan hak waris untuk anak-anak jika suami meninggal karena perkawinannya tidak tercatat.