...
Opini Pendapat Pakar
Refleksi Hari Kartini: Asa Kepemimpinan Perempuan Pandemial
Oleh: Andy Yentriyani

Selain masih berhadapan dengan persoalan kultural, kepemimpinan perempuan kini juga ditantang oleh dampak pandemi Covid-19 yang memperbesar kesenjangan di dalam masyarakat. Pandemi Covid-19 bagai serangan mendadak pada tatanan kehidupan manusia. Ia menghadirkan krisis yang menuntut perubahan fundamental, multi dimensi, sistemik, dan berkelanjutan. 

Persebaran Covid-19 yang tidak terduga juga menuntut percepatan respon pada yang telah terjadi dan sekaligus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tidak terduga lainnya. Kepekaan pada masalah, kegigihan, daya adaptasi, dan resiliensi perempuan menjadi modalitas penting kepemimpinan perempuan. Dalam menghadapi tantangan ke depan, kapasitas kepemimpinan perempuan perlu ditopang dengan menguatkan pengetahuan, mengasah kreativitas, dan meningkatkan ketrampilan digital. 

Pandemi dan Kepemimpinan Perempuan

Di dalam situasi krisis serupa ini, perempuan memiliki kemampuan untuk menghadapinya dengan lebih baik dibandingkan laki-laki. Saat ini, dari 241 negara di dunia, 21 di antaranya dipimpin oleh perempuan. Dari sejumlah kajian, selain para pemimpin negara, para pemimpin perempuan di berbagai lapis pemerintahan menunjukkan kapasitas kepemimpinan efektif dalam memastikan langkah menyikapi pandemi. Selain mampu “mendatarkan” kurva persebaran virus, mereka juga cakap berkomunikasi dengan lebih transparan dan empatik berbasis fakta mengenai kondisi kesehatan masyarakat.  

Model kepemimpinan perempuan yang lebih merangkul, bekerja bersama dalam menyikapi tantangan berkontribusi pada efektivitas penyikapan situasi krisis. Keberhasilan kepemimpinan perempuan ini mematahkan banyak mitos yang menghalangi pengakuan dan dukungan pada kepemimpinan perempuan. 

Hal yang sama juga dapat kita lihat di Indonesia. Perempuan segera bergerak untuk menyikapi dampak pandemi. Mereka bergotong-royong membuat masker kain dan sebagian dibagikan gratis. Ada pula yang membangun dapur umum, menggalang dana publik, dan menyalurkannya kepada pihak-pihak yang membutuhkan. 

Perempuan juga berkreasi mencari tambahan untuk menopang ekonomi keluarga yang terdampak pandemi. Misalnya berjualan makanan secara daring. Sebagian besar sambil merawat anggota keluarga yang sakit, menemani anak belajar dan melayani suami yang bekerja dari rumah. 

Usaha perempuan dalam skala kecil, mikro dan menengah (UMKM) memiliki peran besar untuk menopang perekonomian Indonesia. UMKM menyumbang 60 persen dari total ekonomi nasional dan 97 persen dari sisi penciptaan dan penyerapan tenaga kerja. Saat ini, 57 persen dari 63,9 juta pelaku usaha mikro dan 34 persen dari 44,7 pelaku usaha menengah adalah perempuan dan 56 persen dari 193 ribu usaha kecil  dimiliki oleh perempuan. 

Tantangan Pandemials 

Berbagai kajian global menunjukkan bahwa kesenjangan dunia menjadi semakin tajam akibat pandemi Covid-19. Bank Dunia (2021) mencatat ada lebih 100 juta jiwa yang menjadi miskin di tahun awal pandemi Covid-19 dan sekitar 689 juta jiwa hidup dalam kemiskinan yang berat, yaitu dengan penghasilan kurang dari USD 1,9 per hari (Rp. 27.000/hari).  Setengah dari kelompok ini adalah anak. Juga, pada setiap negara dan usia, perempuan adalah yang terbanyak dari kelompok miskin itu. Jurang kemiskinan diperburuk dengan hirarki sosial lainnya di dalam masyarakat, seperti ras, etnis , agama, dan kasta. 

Meski termasuk salah satu negara yang masih mampu bertahan dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi 3,9% (BPS, 2021), pemiskinan akibat pandemi juga dirasakan di Indonesia.  Pada akhir 2021, proporsi masyarakat dalam kondisi kemiskinan ekstrem mencapai 4 persen, terbesar sejak 2015. Kajian badan PBB untuk Pembangunan (UNDP, 2021) tentang kemiskinan ekstrem yang bersifat multidimensi, Indonesia berada di peringkat 28 dari 43 negara yang dikaji. 

Perempuan jelas lebih rentan menghadapi kemiskinan ekstrem. Pandemi meningkatkan kerentanan perempuan menghadapi pemutusan hubungan kerja dan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru. Organisasi perburuhan dunia (ILO, 2022) menyebutkan bahwa perempuan muda 2 kali lebih rentan hadapi PHK dibandingkan lak-laki dan pada negara-negara menegah ke bawah, ruang kerja bagi perempuan berkurang 15,8%. Lebih 4 juta perempuan yang kehilangan pekerjaan di masa pandemi tidak pernah bisa memperoleh pekerjaan lagi. Persepsi perempuan sebagai pencari nafkah tambahan adalah salah satu alasan yang memperburuk kerentanan perempuan pada PHK dan kesulitan mendapatkan pekerjaan baru. Persepsi ini juga yang menjadi faktor perbedaan penghasilan antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama, dengan disparitas pada tahun 2021 masih sebesar 26,5%. 

Selain persoalan krisis ekonomi, perempuan pandemials harus juga menghadapi kesulitan untuk menyikapi tantangan masa depan terkait model pendidikan diyakini sudah ketinggalan jaman. Kondisi serupa ini juga hadir di Indonesia. Sistem pendidikan kita masih berorientasi pada hafalan, membatasi cara pikir kritis, dan minim ruang kreativitas. Apalagi terkait penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang semakin tampak di masa pandemi ini ketika ruang belajar berpindah digital.

Kondisi pendidikan akan sangat mempengaruhi kapasitas kepemimpinan perempuan. Saat ini, rata-rata lama sekolah di Indonesia masih sangat rendah, yaitu 8,9 tahun dimana rata-rata lama sekolah anak perempuan lebih pendek 0,6 tahun daripada laki-laki. Akses pendidikan anak perempuan juga dipengaruhi oleh usia perkawinannya. Pada tahun 2021. Berdasarkan data Pengadilan Agama, pada tahun 2021 ada 59,709 permohonan dispensasi perkawinan anak yang dikabulkan, turun 7% dari tahun sebelumnya. Dengan data ini diperkirakan ada 53 ribu anak perempuan yang menikah dan berpotensi untuk berhenti bersekolah. 

Belum lagi persoalan kekerasan berbasis gender yang harus dihadapi perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat lonjakan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan semasa pandemi. Pada tahun 2021, kasus yang dilaporkan langsung meningkat 80%, dan dari 3.838 kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, 66% adalah kekerasan yang terjadi di ruang personal, termasuk kekerasan di dalam rumah tangga terhadap istri dan anak perempuan. Komnas Perempuan juga mencatat kenaikan 72% kasus kekerasan seksual, yang mengakibatkan perempuan korban terpuruk, bahkan ada yang sampai memutuskan untuk menghilangkan nyawanya sendiri. 

Arah Penguatan 

Mengubah cara pandang masyarakat pada kepemimpinan perempuan dan memastikan akses dan manfaat dari penggunaan akses pendidikan dan upaya pemberdayaan bagi perempuan menjadi basis utama menguatkan kepemimpinan perempuan. Langkah afirmasi untuk pemenuhan hak maternitas perempuan pekerja dan menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan juga kunci bagi penguatan kepemimpinan perempuan. Tentunya langkah afirmasi juga diperlukan untuk mendorong lebih banyak perempuan menempati posisi pengambil keputusan. Koreksi terkait sistem pendidikan dan kebijakan ekonomi juga perlu menjadi bagian integral dalam menyiapkan kapasitas kepemimpinan perempuan pandemials.  

Tulisan ini telah ditayangkan dalam Surat Kabar Jawa Pos edisi 21 April 2022.

 

 

 

Literasi Pengetahuan

Pertanyaan / Komentar: