...
Opini Pendapat Pakar
Refleksi Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO): Kebutuhan Mendesak atas Pemulihan yang Komprehensif
Oleh: Fadillah Adkiras (Badan Pekerja Divisi Pemantauan Komnas Perempuan)

Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) merupakan bentuk kekerasan yang terus berkembang dan semakin kompleks seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi digital. KBGO dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja, bahkan tanpa kehadiran fisik pelaku. Jenis kekerasan ini dapat menembus ruang paling privat perempuan, termasuk ketika mereka berada di tempat yang secara fisik dianggap aman. KBGO dapat dilakukan secara anonim, lintas wilayah, dan lintas negara, dengan jejak digital yang sering kali sulit dilacak.


Berdasarkan pengalaman Komnas Perempuan dalam menerima dan menganalisis laporan pengaduan, tercermin bahwa KBGO menjadi salah satu bentuk kekerasan yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 2017 sampai 2024, Komnas Perempuan telah menerima 7.815 kasus yang teridentifikasi sebagai bentuk KBGO. Laporan kasus KBGO banyak disampaikan melalui formulir online yang disediakan Komnas Perempuan, yang dapat diakses 24 jam. Menariknya, sebagian besar laporan masuk pada malam hingga dini hari. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami KBGO kerap berada dalam kondisi rentan di waktu-waktu tersebut, dan dalam situasi di mana mereka merasa tidak memiliki dukungan atau ruang aman untuk segera meminta bantuan.

Dalam upaya penanganan kasus, Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) Komnas Perempuan menghadapi keterbatasan dalam sistem rujukan layanan, terutama yang memiliki kapasitas spesifik dalam menangani kasus KBGO. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Komnas Perempuan membangun mekanisme rujukan pada sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti SAFEnet, Task Force KBGO, dan Koalisi Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), untuk memastikan korban dapat terhubung dengan layanan pendampingan dan konsultasi digital yang memadai.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, lembaga-lembaga layanan ini masih menghadapi berbagai tantangan struktural. Banyak korban berharap agar pelaku KBGO dapat segera dilacak, dicegah menyimpan atau menyebarkan konten lebih lanjut, serta agar platform digital melakukan penghapusan (take down) konten secara cepat. Harapan tersebut mencerminkan kebutuhan korban atas rasa aman, kendali atas identitas pribadi, dan penghentian kekerasan yang berulang. Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa kecepatan penyebaran konten digital sering kali melampaui kecepatan respon sistem hukum formal. Oleh karena itu, pendekatan litigasi bukanlah satu-satunya jalan penyelesaian. Alternatif penyelesaian non-litigasi seperti mediasi, somasi, dan pendekatan informal lainnya menjadi pilihan yang dipertimbangkan, terutama jika identitas pelaku diketahui. Sementara dalam kasus di mana pelaku tidak teridentifikasi, pendekatan lebih difokuskan pada penguatan keamanan digital korban untuk mencegah penyalahgunaan lebih lanjut terhadap data pribadi mereka.

Persoalan mendasar lainnya adalah minimnya pengakuan terhadap KBGO sebagai bentuk kekerasan yang serius dalam kerangka hukum yang ada. Masih banyak aparat penegak hukum yang menangani kasus KBGO melalui pendekatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Pornografi, yang tidak dirancang untuk memberikan perlindungan berperspektif korban. Padahal, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah mengakui KBGO sebagai bagian dari Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), meskipun masih terbatas pada tiga bentuk perbuatan. Praktik ini memperlihatkan adanya kesenjangan serius antara norma hukum yang tersedia dengan kebutuhan perlindungan korban.

Sebagai bagian dari pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan, korban kekerasan seksual terutama dalam konteks kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), berhak untuk meminta penghapusan konten bermuatan seksual yang menyebarkan kekerasan terhadap dirinya. Hak ini telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 70 Ayat (2) huruf L UU TPKS, yang menegaskan bahwa korban berhak memperoleh tindakan penghapusan muatan yang mengandung unsur kekerasan seksual di ruang digital. Namun dalam praktiknya, realisasi hak ini masih menghadapi tantangan struktural, sehingga diperlukan kerja sama lintas sektor. Aparat penegak hukum (APH) diharapkan mulai membangun terobosan hukum dalam bentuk putusan pengadilan yang secara eksplisit mensyaratkan penghapusan konten sebagai bagian dari sanksi dan pemulihan korban. Di sisi lain, pembangunan mekanisme pemulihan ini juga perlu didukung secara teknis oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), khususnya melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika), untuk memastikan adanya prosedur yang jelas dan responsif dalam menotifikasi platform digital agar segera menurunkan atau menghapus (take down) konten yang teridentifikasi sebagai bagian dari KBGO atau KSBE. Pendekatan kolaboratif ini menjadi sangat penting untuk menjamin perlindungan korban secara utuh, serta mencegah kekerasan berulang yang dimungkinkan oleh keberlanjutan konten bermasalah di ruang digital.

Komnas Perempuan juga mencatat bahwa dalam praktik peradilan pidana, proses persidangan yang terbuka sering kali menimbulkan reviktimisasi. Misalnya, penyebutan nama lengkap korban dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), atau pencantuman dokumen bukti dalam amar putusan yang dapat diakses publik, membuka ruang bagi kekerasan berbasis siber lanjutan dan memperpanjang trauma yang dialami korban.

Penanganan kasus KBGO merupakan tantangan yang berpacu dengan waktu. Kekerasan ini difasilitasi oleh teknologi yang terus berkembang dan bertransformasi, menjadikan ruang digital sebagai medan baru yang tidak hanya memperluas bentuk-bentuk kekerasan, tetapi juga memperluas kerentanan perempuan. KBGO tidak hanya terjadi saat seseorang sedang terhubung ke internet, melainkan hadir dalam keseharian kita yang kini tak terpisahkan dari penggunaan teknologi.

Oleh karena itu, Komnas Perempuan menekankan pentingnya pembentukan mekanisme pemulihan yang komprehensif dan adaptif, termasuk peningkatan kapasitas lembaga layanan, integrasi prinsip keamanan digital dalam sistem pendampingan korban, serta pembaruan sistem peradilan agar lebih berpihak pada perspektif korban. Lebih jauh, negara perlu mengambil langkah strategis dan sistemik untuk memastikan bahwa perempuan terlindungi dari segala bentuk kekerasan, baik di dunia nyata maupun di ruang maya.

 

Literasi Pengetahuan

Pertanyaan / Komentar: