...
Pemetaan, Kajian, & Prosiding
Daftar Inventaris Masalah (DIM) Terpilah Tanggapan Komnas Perempuan terhadap Draf RUU Hukum Pidana 9 November 2022

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terdaftar sebagai Jangka Menengah (2020-2024) dengan Pemerintah sebagai pihak inisiator dan ditetapkan sebagai carry over oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang begitu cepat dan tuntutan akan keadilan yang semakin kuat, rumusan hukum pidana yang dimuat di dalam KUHP yang merupakan peninggalan kolonial Belanda tidak lagi mampu dijadikan dasar hukum mengatasi permasalahan kejahatan dan tuntutan keadilan. Kehadiran RUU KUHP sebagai pembaharuan hukum pidana diharapkan dapat memampukan negara untuk lebih melindungi dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pada 2019 RUU KUHP telah disepakati bersama antara pemerintah dan DPR RI dalam Pembahasan Tingkat I untuk dibahas dalam Pembahasan Tingkat II, yakni pengambilan keputusan di Rapat Paripurna. Namun, menyikapi tuntutan dari masyarakat sipil, Pemerintah Menunda Pembahasan RUU KUHP pada Pembahasan Tingkat II. 


Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia dalam salah satu mandatnya adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan perubahan hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Mandat ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 j.o Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Dalam melaksanakan mandat tersebut, Komnas Perempuan bersinergi dengan jaringan masyarakat sipil mendorong rangkaian kebijakan yang mengakomodasi hak-hak warga negara khususnya perempuan korban kekerasan, di antaranya dengan memantau pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, termasuk RUU KUHP, dan mendorong terintegrasinya hak asasi perempuan di dalamnya. 


RUU KUHP menjadi perhatian Komnas Perempuan karena mengatur sejumlah delik pidana yang berkaitan dengan isu kekerasan berbasis gender, hak perempuan korban, dan akses keadilan bagi semua. Rekomendasi Komnas Perempuan didasarkan pada pemahaman mengenai hak-hak Konstitusional dan prinsip-prinsip tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak perempuan sebagaimana dijabarkan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women/CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW. Dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 Tahun 2017 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (General Recommendation No. 35 on Gender-based Violence Against Women) disebutkan bahwa negara wajib membangun sistem hukum yang memberi ruang dan perlindungan kepada korban kekerasan berbasis gender. Kemudian Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 33 Tahun 2015 tentang Akses Perempuan terhadap Keadilan (General Recommendation No. 33 on Women’s Access to Justice) menekankan bahwa negara wajib membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan korban dalam memperoleh akses keadilan, melindungi hak mereka sebagai korban, dan menyiapkan berbagai upaya hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perempuan korban yang beragam. Sementara itu, secara jelas pada Rekomendasi dalam Kesimpulan Pengamatan (Concluding Observation) Komite CEDAW pada Oktober 2021 disebutkan bahwa Pemerintah RI perlu melakukan peninjauan ulang terhadap RUU KUHP sebagai bagian dari klaster isu kekerasan terhadap perempuan. 


Perjalanan pembahasan revisi KUHP telah berjalan lebih tiga dekade dan RKUHP pertama kali diajukan ke DPR pada tahun 2012. Pada tahun 2015, RUU KUHP ditindaklanjuti pembahasannya secara intensif selama 4 (empat) tahun. Pada September 2019, Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati RUU KUHP dalam Pembahasan Tingkat I untuk dibahas dalam Pembahasan Tingkat II, yakni pengambilan keputusan di Rapat Paripurna. Pengambilan keputusan untuk pengesahan ditunda sebagai respon atas penolakan masyarakat sipil. Rapat paripurna DPR RI pada 17 Desember 2019 memutuskan RUU KUHP terdaftar sebagai Prolegnas Jangka Menengah (2020-2024) dengan Pemerintah sebagai pihak inisiator. RUU KUHP ditetapkan sebagai carry over oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, dan dengan demikian, pembahasannya akan dilanjutkan oleh Komisi III DPR sesuai perkembangan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada periode sebelumnya. Pada 2021, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah menyelenggarakan sosialisasi draf RUU KUHP per September 2019 ke beberapa wilayah. 


Pada Juni 2021, Komnas Perempuan telah menyusun dan menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terpilah terhadap draf RUU KUHP per 18 September 2019. Dalam DIM tersebut Komnas Perempuan memberikan masukan dan usulan perubahan terhadap beberapa bab yang berkaitan dengan isu hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan. Dengan perkembangan terbaru yakni lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), maka Komnas Perempuan memperbaharui DIM terpilah terhadap draf RUU KUHP per 18 September 2019 dalam rangka harmonisasi kebijakan—sebagaimana semangat dari RUU KUHP ini. Dalam proses pembaharuan DIM, Komnas Perempuan melibatkan masyarakat sipil secara partisipatif. DIM tersebut juga yang telah disampaikan ke DPR RI dan Pemerintah pada Juni 2022. 


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur 9 delik tindak pidana kekerasan seksual yang unsur-unsurnya diuraikan jelas dalam UU TPKS (Pasal 4 ayat 1), 10 delik tindak pidana kekerasan seksual yang telah diatur dalam undang-undang lain (Pasal 4 ayat 2 huruf a hingga j), serta membuka peluang bagi pengaturan delik tindak pidana kekerasan seksual lain yang akan diatur kemudian setelah UU ini diterbitkan (Pasal 4 ayat 2 huruf k). Dengan pengaturan pada Pasal 4 ini, artinya UU TPKS ini beririsan dengan UU lain yang mengatur tentang kekerasan seksual dalam hal hukum acara dan hak-hak korbannya sebagaimana disebutkan pada Pasal 20 UU TPKS. Kehadiran Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 20 UU TPKS kemudian dikenal sebagai pasal jembatan (bridging article) agar hukum acara khusus dan hak-hak korban yang diatur dalam UU TPKS dapat diakses oleh korban tindak pidana kekerasan seksual yang pengaturan deliknya diatur dalam UU lain. 

 

Dalam perkembangannya, pada tanggal 4 Juli 2022, Pemerintah mengeluarkan draf RUU KUHP yang disebut telah disempurnakan dan diperbarui dari draf sebelumnya. Terhadap draf RUU KUHP per tanggal 4 Juli 2022, Komnas Perempuan juga telah menyusun masukan berupa DIM dan telah disampaikan kepada DPR dan Pemerintah. Merespons beberapa masukan dari masyarakat sipil, pemerintah kembali melakukan dialog publik ke 11 (sebelas) kota untuk menghimpun masukan terhadap RUU KUHP utamanya terfokus pada 14 isu krusial yang dimulai pada tanggal 23 Agustus 2022. Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Pemerintah dengan Komisi III DPR RI pada 9 November 2022, Pemerintah menjelaskan tentang draf RUU KUHP per 9 November 2022 yang kembali disampaikan kepada DPR sebagai draf hasil konsultasi dialog publik. 


Terhadap draf RUU KUHP per 9 November, Komnas Perempuan mengapresiasi telah adanya penegasan delik pidana memudahkan percabulan dan persetubuhan, percabulan, persetubuhan, dan perkosaan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Dengan penegasan Pasal 415, 416, 417, 418, 419, 420, 421, 422, 423, 424, 475 ayat (1) hingga Pasa 475 ayat (10) RKUHP Per 9 November 2022 sebagai TPKS maka korban TPKS yang delik pidananya diatur di RKUHP dapat mengakses hak-hak korban dan ditangani dengan hukum acara pidana khusus penanganan tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS. Meski demikian, Komnas Perempuan berpandangan draf RUU KUHP masih dapat disempurnakan kembali dengan memastikan pemenuhan hak-hak perempuan korban dan mengategorikan tindak pidana kekerasan seksual ke dalam Bab Tindak Pidana Terhadap Tubuh, bukan di dalam Bab Tindak Pidana Kesusilaan. Oleh karenanya, Komnas Perempuan kembali memperbarui DIM dengan memetakan rangkaian ketentuan pasal dalam RUU KUHP tertanggal 9 November 2022. 


Secara ringkas, substansi kunci dalam pembaruan DIM ini adalah (a) memastikan tindak pidana kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU KUHP harmonis dan tidak tumpang tindih, apalagi bertentangan dengan tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS; (b) menambahkan pengaturan baru mengenai pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, melarikan anak dan perempuan dengan maksud pemaksaan perkawinan serta menegaskannya sebagai tindak pidana kekerasan seksual; (c) memindahkan sejumlah pasal terkait kekerasan seksual ke Bab Tindak Pidana Terhadap Tubuh; dan (d) memasukkan daftar pasal tindak pidana yang merupakan tindak pidana kekerasan seksual dalam Ketentuan Peralihan. Di dalam DIM ini, Komnas Perempuan juga menegaskan komitmen untuk menentang hukuman mati. 


Catatan lengkap tanggapan Komnas Perempuan terkait rangkaian hal tersebut dituangkan lebih lanjut dalam DIM ini. Selain memberikan rekomendasi tunggal pada setiap pasal, Komnas Perempuan juga memberikan lebih dari satu rekomendasi yang dapat ditimbang oleh perumus kebijakan sebagai alternatif. Pada setiap rekomendasi yang diberikan, Komnas Perempuan melengkapinya dengan argumentasi akademis, rujukan peraturan perundang-undangan, instrumen hak asasi internasional, hasil pemantauan, serta contoh-contoh kasus di lapangan. Hal ini tidak lain sebagai upaya untuk memastikan pemenuhan hak perempuan korban dan akses keadilan dapat terwujud. 


Berbasis DIM yang telah diperbaharui ini, Komnas Perempuan akan mendialogkannya dengan pihak Pemerintah dan DPR RI, serta pihak-pihak relevan lainnya. Komnas Perempuan juga mendukung pemerintah dan DPR RI untuk membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas. 

 


Pertanyaan / Komentar: