Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia yang bekerja secara independen, berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005. Salah satu mandat Komnas Perempuan adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan perubahan hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.
Dalam upaya untuk melaksanakan mandat tersebut, Komnas Perempuan sebagai Lembaga Nasional HAM bersama jaringan masyarakat sipil bersinergi untuk mendorong rangkaian kebijakan yang mengakomodasi hak-hak warga negara khususnya perempuan korban kekerasan, diantaranya dengan memantau pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan dan mendorong terintegrasinya muatan pencegahan kasus kekerasan, serta penanganan dan pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan. Salah satu rancangan undang-undang yang menjadi sorotan Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil dalam masa bakti DPR RI periode 2014-2019 dan 2020-2024 ialah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Kebutuhan akan kehadiran payung hukum komprehensif untuk penghapusan kekerasan seksual tidak dapat dilepaskan dari tinggi, beragam dan kompleksnya kasus kekerasan seksual. Hal ini nampak dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang memperlihatkan bahwa sepanjang tahun 2011 hingga 2019, terdapat pengaduan 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah rumah tangga/personal dan ranah publik. Tingginya kekerasan terhadap perempuan tampak pula dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Hasil survei menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Himpunan data ini merupakan fenomena gunung es dari situasi yang sebenarnya. Peningkatan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan masih minimnya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan.
Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus-menerus. Fakta menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius dan traumatik serta mungkin berlangsung seumur hidup. Korban kekerasan seksual, kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak, mengalami dampak langsung di antaranya terhadap: (1) Kesehatan fisik atau psikis; (2) Pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan relasi sosial, dan (3) Ekonomi, terutama dalam hal pemiskinan korban/keluarga. Dengan demikian, kekerasan seksual juga tidak hanya berdampak terhadap individu, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan negara, khususnya pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) suatu negara.
Pemantauan Komnas Perempuan mencatat bahwa sampai saat ini, korban kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapatkan keadilan, perlindungan dan pemulihan dari negara. Berdasarkan pengalaman penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, terdapat beberapa isu krusial yaitu: (1) Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang semakin beragam, dan kompleks yang belum diatur oleh undang-undang; (2) Jumlah Aparatur Penegak Hukum (APH) masih terbatas dan belum seluruhnya berperspektif perempuan dan korban, termasuk korban dari penyandang disabilitas; (3) Penanganan hukum yang tidak terintegrasi dengan sistem pemulihan korban; dan (4) budaya kekerasan yang menempatkan korban dipersalahkan atas kekerasan seksual yang menimpanya.
Pada 14 Januari 2021, Badan Legislasi DPR RI bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI melangsungkan Rapat Kerja dalam rangka penyusunan Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2021 dan perubahan Program Legislasi Nasional RUU Tahun 2020-2024. Pada rapat tersebut, RUU TPKS masuk sebagai salah satu RUU dalam daftar Prolegnas Prioritas tahun 2021 dengan nomor urut 17 dari total 33 RUU. Begitu halnya dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI pada tanggal 9 Maret 2021 (dalam rangka Penyempurnaan Prolegnas Prioritas tahun 2021 dan perubahan Prolegnas RUU Tahun 2020-2024), RUU TPKS masih terdaftar di Prolegnas Prioritas tahun 2021 dengan nomor urut 16 dari total 33 RUU. Kemudian pada 23 Maret 2021, Rapat Paripurna DPR RI resmi mengesahkan Prolegnas Prioritas tahun 2021 dimana RUU TPKS terdaftar di dalamnya dengan nomor urut 16 dari total 33 RUU sebagaimana disampaikan oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI dalam Laporan Badan Legislasi.
Pada Maret 2021, Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil menghadiri RDPU RUU TPKS yang diselenggarakan oleh Badan Legislasi DPR RI tanggal 29 Maret 2021 dalam rangka mendukung kerja DPR RI sebagai lembaga yang berwenang menjadi inisiator RUU. Pada saat itu Komnas Perempuan menyerahkan dokumen usulan Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) tentang Draft Naskah Akademis dan Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual per September 2020 secara simbolis kepada Baleg DPR RI.
Sepanjang tahun 2021, Baleg DPR RI telah menyelenggarakan rangkaian RDPU dan konsultasi dengan mengundang pemangku kepentingan dari berbagai unsur masyarakat diantaranya akademisi, lembaga pendamping korban, jaringan masyarakat sipil, jaringan keagamaan, dan psikolog. Baleg DPR RI kemudian merampungkan Naskah Akademik dan Naskah resmi RUU DPR RI pada 8 Desember 2021.
Perkembangan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa pada 18 Januari 2022 Rapat Paripurna DPR RI menyepakati RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. Selain itu, Naskah RUU hasil harmonisasi Baleg DPR RI per 8 Desember 2021 juga menjadi Naskah Resmi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menjadi rujukan semua pihak dalam penyusunan tanggapan. Seraya menunggu Surat Presiden yang menunjuk Kementerian/ Lembaga pembahas RUU TPKS bersama DPR RI, tahapan selanjutnya yang perlu dikawal bersama adalah tahap Pembahasan DIM antara Pemerintah dan DPR. Pada bulan Januari- Februari 2022 Pemerintah melalui Satgas RUU TPKS telah mengadakan konsultasi draf DIM RUU TPKS yang nantinya akan disampaikan kepada DPR dan dibahas bersama DPR.
Dalam mendukung proses pembahasan draf RUU TPKS antara DPR RI dan Pemerintah, Komnas Perempuan kemudian menyusun DIM Tanggapan terhadap Naskah RUU TPKS per 8 Desember 2021 DPR RI. Hal ini untuk mengawal pengadopsian secara konsisten kebutuhan korban akan keadilan melalui enam elemen kunci RUU TPKS.
Komnas Perempuan berpandangan bahwa Naskah RUU TPKS per 8 Desember 2021 secara umum telah mengakomodasi sebagian dari 6 elemen kunci RUU TPKS yang direkomendasikan oleh Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil, diantaranya: (1) lima dari sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, (2) hukum acara pidana khusus yang meliputi penanganan kasus kekerasan seksual sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, (3) jaminan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan, (4) pemidanaan terhadap pelaku dan (5) Pencegahan.
Catatan lengkap tanggapan Komnas Perempuan terkait rangkaian hal tersebut dituangkan lebih lanjut dalam DIM ini. Sebagai dokumen sejarah, DIM ini sudah KP sampaikan kepada seluruh Fraksi DPR RI, jajaran Kementerian PPPA, dan Anggota Baleg selama pembahasan DIM yang berlangsung pada tahun 2021 hingga Mei 2022.