Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi hingga tahun 2021, penegakan hukum terhadap regulasi ini telah menghasilkan 1.313 putusan pengadilan. Namun, ironisnya, tidak satu pun industri pornografi atau pemilik akun pornografi yang dijerat menggunakan undang-undang ini. Padahal, salah satu tujuan utama Undang-Undang Pornografi adalah memberikan kepastian hukum serta perlindungan bagi warga negara dari dampak pornografi, terutama bagi anak-anak dan perempuan, serta mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Alih-alih memberikan perlindungan, keberadaan Undang-Undang Pornografi justru meningkatkan risiko bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan. Secara de facto, undang-undang ini lebih berfungsi sebagai legitimasi negara untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam melindungi warga dari dampak buruk pornografi, tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Tujuan utama undang-undang ini, yaitu melindungi perempuan dan anak, belum tercapai. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan korban kekerasan justru dikriminalisasi melalui UU Pornografi tanpa mendapatkan perlindungan yang seharusnya mereka terima.
Putusan pengadilan menunjukkan bahwa berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan—termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tindak pidana perdagangan orang (TPPO), kekerasan seksual, dan bentuk eksploitasi lainnya—dialami oleh terdakwa perempuan tanpa adanya upaya pemulihan bagi mereka. Akibatnya, diskriminasi yang mereka hadapi semakin berlanjut.
Buku ini, berjudul Kajian Terhadap Kerentanan Pelanggaran Hak Asasi Perempuan dalam Pelaksanaan Undang-Undang Pornografi, mengkaji pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi berdasarkan putusan pengadilan dalam rentang waktu sejak undang-undang ini disahkan pada tahun 2008 hingga tahun 2021.