Buku ini ditulis sebagai kesimpulan dari sepuluh tahun pertama keberadaan dan kerja Komnas Perempuan. Bukan kebetulan bahwa sepuluh tahun ini sejalan dengan sepuluh tahun upaya pembaruan Indonesia. Lembaga ini didirikan di atas puing-puing kehancuran hidup perempuan Tionghoa yang dijadikan sasaran kekerasan pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Pembelajaran yang diperoleh Komnas Perempuan dalam menjalankan tugasnya, dengan demikian, adalah pembelajaran tentang perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia juga. Gagasan tentang arah ke depan yang ditawarkan pada akhir buku ini adalah bagian dari membayangkan Indonesia.
Kini, saat bangsa Indonesia telah melampaui batas tahun kesepuluh masa reformasi pasca Orde Baru, tiba waktunya untuk menemukan keterkaitan antar satu peristiwa kekerasan dengan peristiwa lainnya, serta menghimpun sebuah pembelajaran yang utuh sampai ke akar-akar masalahnya. Pengetahuan yang dibangun bukan sekaedar untuk mempertajam pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan, melainkan juga untuk menunjukkan jalan bagi langkah-langkah penyikapan yang tepat guna menjamin agar kekejian-kekejian semacam ini tidak akan terulang di masa depan. Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan mempunyai akar pada kesejarahan perempuan sejak Indonesia mulai dibayangkan. Melalui buku ini, kita mempertimbangkan akar-akar pengalaman terkini perempuan dengan kekerasan dalam kaitannya dengan gagasan-gagasan tentang perempuan dan keperempuanan yang pernah hidup dalam perbincangan kaum perempuan di dalam gerakan nasionalis di awal abad ke-20. Apa yang dibayangkan tentang peran dan posisi perempuan di hadapan bangsa yang sedang menjadi Indonesia?
Bagaimana gagasan-gagasan dari para pejuang perempuan bersinggungan dan bertarung dengan gagasan-gagasan ideal tentang perempuan dan keperempuanan yang hidup di masyarakat? Saat Republik Indonesia telah berdiri, kita simak bagaimana gerakan perempuan berunding dan bersitegang dengan negara untuk mendesakkan hak-hak perempuan sebagai manusia dan sebagai warga negara. Saling silang sekian bangunan pemikiran tentang keperempuanan dan kebangsaan yang pada titik-titik tertentu dalam lintas sejarah mencetuskan satu keyakinan pahit: untuk membangun kesejahteraan dan kejayaan suatu negara-bangsa diberlakukan penyeragaman paksa terhadap gerak dan pikiran setiap warga negara di bawah satu garis komando. Perempuan menjadi salah satu sasaran utama karena tubuhnya memuat daya menelurkan kehidupan baru, dan gerak serta perhatiannya secara tradisional menentukan keberlangsungan kehidupan itu sendiri.