Pemilihan Umum (PEMILU) sebagai mekanisme demokrasi pertama kali diselenggarakan di Indonesia pada 1955 untuk pemilihan anggota DPR. Jalan panjang perjalanan pelaksanaan mekanisme demokrasi ini pada tahun-tahun berikutnya. Perubahan dan penyesuaian terjadi baik proses, waktu, hingga substansi pemilihannya. Namun satu hal yang menjadi jangkar dinamika pelaksanaan Pemilu adalah jaminan hukum kesempatan yang sama dalam pemerintahan seperti yang tertuang dalam pasal 28D ayat 3 UUD 1945. Hak konstitusional ini diatur secara detail dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menguatkan jaminan kebebasan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Lebih lanjut ditekankan bahwa ada persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jaminan hukum yang sudah dipaparkan sebelumnya berlaku tanpa membedakan perempuan atau lelaki. Namun, sejarah 12 kali pelaksanaan Pemilu di Indonesia masih menyisakan catatan diskriminasi terhadap kontestan perempuan. Beberapa di antaranya, Komnas Perempuan mencatat adanya pemecatan calon legislatif perempuan untuk digantikan calon legislatif laki-laki di Sulawesi Selatan (2019), hingga pelecehan verbal terhadap calon Wakil Walikota Makassar (2020). Komnas Perempuan merespons situasi ini dengan mengembangkan pedoman pemantauan penyelenggaraan pemilihan umum. Pedoman ini diharapkan dapat memperkuat peran dan pemajuan hak politik perempuan Indonesia.