Peran lembaga dan komunitas agama dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban – secara jangka pendek dan jangka panjang – hanya bisa tercapai jika dilandaskan pada sebuah teologi yang dikembangkan secara kokoh dari pengharapan dan perjuangan korban. Atas dasar keyakinan inilah maka Komnas Perempuan memulai engagement dengan komunitas agama melalui para teolognya. Harapannya, dengan bangunan teologi ini dan melalui bahasa yang lahir darinya, Komnas Perempuan bisa memfasilitasi sebuah dialog yang konstruktif dan berkesinambungan antara perempuan korban dan komunitas serta pemuka agamanya, demi kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Para teolog dari empat komunitas agama yang
berproses bersama Komnas Perempuan dalam penyusunan
buku ini merupakan anugerah tersendiri. Kesungguhan dan keterbukaan setiap individu menyambut
ajakan Komnas Perempuan untuk melakukan pergumulan
bersama ini begitu memukau dan menyentuh hati.
Pencerahan yang dicapai bersama melalui dialog lintas
agama ini lahir dari ketulusan setiap perjalanan yang
dilakukan untuk menyelami sanubari korban. Alhasil, kita
kini mempunyai sebuah pijakan berteologi yang mengangkat keadilan sebagai moralitas publik (Respon
Muhammadiyah), memperlakukan teologi sebagai
kesaksian hidup (Respon Protestan), membangun teologi
yang membebaskan tentang ketubuhan (Respon Katolik),
dan menegaskan independensi perempuan di hadapan
Allah (Respon NU). Tulisan-tulisan dalam buku ini bisa
dibaca sendiri-sendiri maupun sebagai satu kesatuan
sebagai buah hasil pencarian bersama. Dibaca sebagai satu
kesatuan, respon dari keempat komunitas agama ini
menunjukkan sebuah rajutan yang satu dalam esensi nilainilai universalnya, yakni tentang kemanusiaan, kesetaraan
dan keadilan.