Kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) merupakan hak dasar yang dijamin oleh norma-norma internasional Hak Asasi Manusia dan diakui secara universal oleh negara-negara beradab. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban untuk menjamin pemenuhan hak ini. Prinsip non-derogable rights menegaskan bahwa KBB bersifat mutlak dan tidak dapat ditangguhkan atau ditunda dalam situasi apa pun. Namun, kenyataannya, berbagai konflik dengan dimensi KBB masih terus terjadi di Indonesia—mulai dari konflik terbuka yang bersifat eskalatif, seperti di Ambon, Poso, dan Cikesik, hingga beragam pelanggaran KBB yang berlangsung hingga saat ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami perubahan dalam praktik keagamaan yang cenderung lebih tekstual dan eksklusif. Bentuk ekstrem dari penafsiran ini menjadi landasan ideologis bagi berkembangnya radikalisme dan intoleransi, yang kemudian melahirkan berbagai praktik yang mengancam KBB. Penafsiran agama yang rigid menciptakan satu narasi tunggal yang seragam, sehingga segala bentuk interpretasi di luar itu dianggap sesat dan menodai agama. Hal ini kemudian dijadikan legitimasi atas perilaku diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas.
Kurangnya jaminan keadilan bagi korban dalam penanganan konflik membuat kelompok minoritas harus bertindak secara sembunyi-sembunyi dalam membantu sesama korban. Akibatnya, pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya lebih diutamakan dibandingkan dengan hak sipil dan politik.
Kajian mengenai model pencegahan dan penanganan konflik kebebasan beragama serta intoleransi atas nama agama ini didasarkan pada pengalaman negara dan masyarakat sipil dalam menangani konflik serta upaya pencegahannya. Kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam merancang kebijakan pencegahan serta penanganan konflik yang cepat, tepat, efektif, dan komprehensif, serta berbasis pada prinsip hak asasi manusia.