Perempuan yang dilacurkan
(pedila) adalah istilah pengganti yang digunakan oleh Komnas Perempuan untuk
menyebut prostitusi perempuan atau pekerja seks perempuan di Indonesia. Komnas
Perempuan menilai bahwa istilah pekerja seks cenderung melegalisasi kekerasan
terhadap perempuan yang dilacurkan karena mereka melakukannya bukan oleh
kehendaknya, melainkan karena paksaan, intimidasi dan diskriminasi1. Penggunaan
istilah WTS cenderung berkonotasi negatif terhadap perempuan yang dimaksud
serta mengabaikan faktor-faktor struktural yang memaksa seorang perempuan masuk
ke dalam industri prostitusi. Karena itu, Komnas Perempuan dan beberapa lembaga
lain lebih memilih untuk menggunakan istilah “perempuan yang dilacurkan”
disingkat pedila.
Perempuan yang dilacurkan
banyak yang masih anak di bawah umur. Anak-anak perempuan yang dilacurkan masuk
ke dalam kelompok anak rawan (children in need of special protection) yang
teralienasi, menjadi korban eksploitasi, menderita, dirampas hak-haknya sebagai
anak perempuan dan juga bagian dari masyarakat marjinal yang tidak tidak
berdaya. Mereka terjerumus ke dalam prostitusi dilatarbelakangi bukan oleh
keinginan mereka sendiri dan merupakan faktor struktural yang menempatkan
mereka sebagai korban. Secara structural, mereka hidup dalam kemiskinan dan
memiliki akses terbatas dalam pendidikan maupun pekerjaan. Anak-anak yang
kemudian menjadi pedila juga merupakan korban penipuan, dating rape, broken
home, child abuse, hingga love affair.